sumber http://id.berita.yahoo.com/think-like-an-entrepreneur.html
Salah satu pengusaha muda paling kaya di Indonesia Sandiaga Salahuddin Uno
bercerita soal jatuh bangun membangun usaha dan pendapatnya mengenai peluang
usaha yang masih terbuka di Indonesia. Ditemui Yahoo! Indonesia di kantornya
di Jakarta Selatan, Sandiaga mengaku sempat mendapatkan cobaan yang
membuatnya berpikir untuk menyerah.
*T: Apa kesibukan Anda sekarang?*
J: Aku fokus di Kadin, tapi tahun ini lebih banyak ke pengembangan bisnis.
Banyak waktuku habis di Saratoga tapi di Recapital juga masih menduduki
jabatan. Juga sebagai komisaris di beberapa anak usaha, ikut membantu tapi
nggak *day to day*, hanya *big picture* dan *strategy*, dan memantau sebagai
pemegang saham.
*T: Anda kan terpilih sebagai salah satu orang terkaya dan termuda di
Indonesia versi majalah Forbes, bagaimana sih kisah suksesnya?*
J: Memulai usaha itu, hampir semua orang termasuk saya tak pernah terpikir
bahwa 10 atau 14 tahun ke depan akan mencapai pencapaian seperti ini. Bagi
saya bisnis itu adalah *survival mode*. Betul-betul terpaksa karena di-PHK.
Ada krisis tahun 1997-1998 yang memaksa banyak perusahaan melakukan PHK dan
saya salah satunya. Tapi itu ternyata membuka satu peluang di tengah-tengah
krisis tersebut. Kalau dilihat potretnya sekarang memang sukses tapi ketika
dilihat sejarahnya, banyak jatuh bangun. Ini yang saya alami, kesulitan
membangun usaha sangat terasa dalam tahun-tahun pertama sampai tiga tahun
pertama.
*T: Apa perubahan yang terbesar dari karyawan menjadi pengusaha?*
J: Sebagai pengusaha, kita harus mengubah paradigma dari seorang karyawan
yang biasanya-- walaupun memberi yang terbaik-- pada akhir bulan sudah
dijamin dengan segala tunjangan dan gaji yang bakal ada di rekening koran.
Itu membentuk sifat karyawan yang tidak suka mengambil risiko. Seorang
pengusaha jatuh bangun karena bisnis penuh risiko. Kami melihat bagaimana
tanggung jawab membesarkan perusahaan dan menciptakan lapangan kerja itu
tidak mudah. (Baca juga: Rahasia Sikap Mental Pengusaha)
Pada tahun-tahun pertama itu --Recapital maupun Saratoga-- saya mengalami
susahnya menjalin usaha. Sulitnya mendapatkan kepercayaan dari klien dan
investor. Ada suatu periode yang cukup lama, enam bulan kami sama sekali
tidak mendapat *order*. Sampai terpikir apakah benar langkah kami menjadi
pengusaha? Apakah memang mental kami lebih cocok jadi karyawan?
Tapi dengan kerja keras dan pantang menyerah, alhamdulillah. Itu nasihat
orang tua selalu, ketika kita kerja keras tanpa pamrih dan ikhlas, rejeki
yang akan menghampiri. Itu yang kami percaya terus.
Walaupun awalnya kami susah, jatuh bangun, hampir beberapa kali tak bisa
bayar gaji pegawai. Kami jalani terus dan alhamdulillah sekarang sudah bisa
membiayai 2 grup, Recapital dan Saratoga. Kami sekarang punya pondasi yang
kuat dan bisa memberikan pekerjaan kepada 20 ribu karyawan.
*T: Apa titik balik dari saat jatuh bangun tersebut menjadi usaha yang
pondasinya kuat?*
J: Titik baliknya saya rasa sekitar 4-5 tahun setelah mulai menapak jadi
pengusaha. Saya melihat bahwa ternyata kalau kita berikan 100 persen dan *full
comitment *terhadap usaha hasilnya akan baik. Para pelanggan, klien, nasabah
maupun investor yang mempercayai kami untuk mengelola dana maupun perusahaan
yang kami beri *advice* untuk melakukan restrukturisasi bisa memberikan
kepercayaan.
Melihat sosok pengusaha muda, rupanya mereka tidak serta merta menilai
pengusaha muda minim pengalaman. Ternyata mereka akan memberikan kepercayaan
kalau pengusaha mudanya bisa menyerap begitu banyak pengalaman, bisa
menghasilkan solusi dari permasalahan keuangan dan bisnis yang mereka
hadapi.
*T: Apakah Anda sempat berpikir untuk menyerah?*
J: Tahun ketiga itu memang sempat terpikir untuk meneruskan atau mundur.
Waktu itu sedang susah-susahnya melihat ada klien yang tak bayar tagihan,
susah memotivasi karyawan. Ada seribu pertanyaan di kepala kami, teruskan
atau mundur.
Di situlah keteguhan dan loyalitas entrepreneur diuji. Apakah dia loyal
terhadap tujuan menjadi entrepreneur. Tujuan saya waktu itu adalah sukses
dan memberi manfaat yang lebih untuk sekitar dengan menciptakan lapangan
kerja. Kalau kita fokus dan loyal di tujuan kita, insya allah kita akan
mendapatkan titik balik di tujuan tersebut.
*T: Saat Anda dipecat tahun 1997, apa ketakutan terbesar saat itu?**
*
J: Waktu itu saya baru punya keluarga. Saya berpikir bagaimana kasih makan
anak saya. Anak saya waktu itu baru berumur beberapa bulan. Saya sudah
dibiasakan selama 8 tahun bekerja dan menerima *income* rutin dan nggak
pusing terhadap uang belanjaan. Tiba-tiba saya mendapati kenyataan ini.
Dunia betul betul gelap, pekat. Seperti nggak ada solusi.Akhirnya saya
putuskan, *survival insting* saja, kembali ke Indonesia. Saya kembali ke
rumah orang tua, karena rumah saya ludes. Harta saya habis dijaminkan ke
bank untuk investasi di pasar saham. Waktu itu semua saham kan jebol.
Saya putus asa, tak percaya diri, teman-teman saya memandang saya lain. Di
kultur kita kegagalan dianggap sebagai akhir dari segalanya. Padahal di
dunia entrepreneur, kegagalan adalah akhir dari suatu *chapter* yang baru. *
Chapter* yang akan dimulai adalah dimana seseorang bisa belajar dari
kegagalan dan menjadikannya sebagai anak tangga menuju kesuksesan.
*T: Siapa yang paling berjasa dalam momen kebangkitan Anda?*
J: Keluarga pastinya. Momen kebangkitan ini kalau saya nggak punya istri
dan orang tua yang memberi kesempatan dan memberi dukungan, doa. Saya
beruntung ketemu teman SMA saya Rosan (Rosan Perkasa Roeslani, Direktur
Utama PT Recapital Advisors) dan kami memulai Recapital. Saya juga beruntung
dipertemukan lagi dengan pak Edwin Suryajaya yang sudah saya kenal 5 tahun
sebelumnya. Kami mulai menata bisnis apa yang menurut saya akan bisa
berkembang. Bisnis yang bukan hanya survival tapi juga usaha yang akan
memberi penghidupan pada orang banyak. Saya selain berhutang budi kepada ibu
saya juga pada pak William Suryajaya yang memberikan mentorship selama 2
tahun intensif, tentang bagaimana pengusaha tidak hanya mencari keuntungan
tapi juga menjadi aset bangsa, saya belajar banyak soal itu.
*T: Apakah peluang industri ekstraktif di Indonesia masih terbuka?**
*
J: Masih terbuka luas, lihat saja kita nomor satu pengekspor batubara
thermal di dunia, emas mungkin nomor dua. Kakao kita nomor dua, kelapa sawit
nomor satu, tembaga juga sangat potensial. Semua sumber mineral penting yang
akan dipakai oleh produk industri dapat ditemui di Indonesia, semua itu
belum digarap. Jadi peluangnya masih terbuka lebar. Tapi saya ingin mengajak
pengusaha yang bergerak di bidang sumber daya alam untuk melihat bagaimana
meng-*capture* nilai tambahnya di Indonesia. Selain memberikan pajak lebih
besar, tapi juga memberi yang lebih besar kepada rakyat.
*T: Kemiskinan di Indonesia masih tinggi, bagaimana cara mengatasinya?*
J: Kemiskinan hanya bisa disolusikan dengan memberdayakan rakyat yang masih
*on the bottom of the pyramids*, mereka dengan pendapatan di bawah 2 dolar
sehari. Bagaimana memberdayakan mereka? Dengan memberikan peluang. Bagaimana
berikan peluang? Menurut saya masalah kelompok *bottom of the
pyramids*adalah peluang. Kita harus bisa menghadirkan peluang dalam
bentuk akses pada
*microfinance*. Tiba-tiba teman-teman di *bottom of the pyramids* ini punya
alat untuk menangkap peluang tersebut.
Makanya kita sebut sekarang lebih dari 42 juta unit usaha mikro kecil
menegah yang telah lahir di Indonesia. 60 persen pendapatan domestik bruto
disumbang UMKM, yang disebut *bottom* itu. Nah dengan memberi
*microfinance*maka tiba-tiba hadir semua peluang pada mereka. Di situ
adalah cikal bakal
mereka melahirkan suatu usaha yang bisa mengangkat harkat martabat mereka
dan menaikkan derajat mereka dari *bottom of the pyramids* ke kelas
menengah.
*T: Kuncinya wiraswasta?*
J: Kuncinya entrepreneurship. dan ini saya sudah bicara di kampus, SMA-SMA.
*Think like an entrepreneur.* memang nggak semua orang harus jadi
entrepreneur, tapi berpikirlah sebagai seorang wirausaha untuk mengatasi
berbagai masalah dalam keseharian kita. Bagaimana kita melihat peluang yang
terus ada di balik setiap krisis. Bagaimana kita menghadapi hidup dengan
penuh komitmen dan tak mudah putus asa. itu kan sifat-sifat dari seorang
pengusaha.
Kalau punya kemampuan hadirkan pola pikir itu kepada akademisi, birokrat,
pegawai pemerintah, pegawai swasta, maka akan terbentuk* culture
*kewirausahaan,
maka inovasi bangsa akan meningkat dan perekonomian pada ujungnya akan
menghasilkan nilai* growth rate *yang lebih tinggi untuk bangsa tersebut.
Indonesia hanya punya 0,18 persen populasi yang menjadi enterpreneur, kalau
tak salah kurang dari 500 ribu. Tugas kita untuk pada 2020 mencetak
setidaknya 5 juta entrepreneur yang sanggup mengisi pembangunan dan
menciptakan lapangan kerja.
*T: Jika masyarakat sudah menjadi entrepreneur dan sejahtera, lalu di mana
peran pemerintah?*
J: Pemerintah posisinya tak seperti zaman sebelum krisis, di mana ada
keterbatasan sumber daya, keterbatasan dana. Tugas pemerintah adalah
menghadirkan iklim dunia usaha yang paling kondusif di mana perizinan
dipermudah, anak-anak muda yang punya ide dalam hitungan 3 hari dapat
meregistrasi ide tersebut dan memulai usahanya atau mendirikan
perusahaannya. Kalau mendirikan perusahaan sudah dibuat begitu mudah, juga
bagaimana memberikan akses permodalan yang paling baik terhadap
perusahaan-perusahaan ini.
Terakhir kemampuan pengusaha untuk berinovasi, bagaimana *human
capacity*pengusaha ini. Kalau tiga aspek ini bisa diberikan,
pemerintah tak perlu
terlalu repot memberi budget besar pada setiap sektor usaha. Cukup diberi
insentif, cukup diberi iklim yang sangat ramah terhadap kegiatan dunia
usaha, akan tumbuh dengan sendirinya.
*T: Apa masalah terbesar pemerintah dalam memberi iklim yang kondusif buat
dunia usaha?*
J: Pemerintah juga harus menyelesaikan masalah infrastruktur yang dihadapi
karena indonesia adalah negara yang infrastrukturnya sangat lemah. Mengirim
barang dari Surabaya ke Jakarta lebih mahal daripada dari Surabaya ke
Hongkong, padahal jaraknya sangat berbeda. Tapi karena infrastruktur lemah
ini menggerus daya saing dunia usaha. Saya yakin kalau pengusaha bahu
membahu dan pemerintah maka ekonomi kita bisa tumbuh 8-10 persen dan
indonesia bisa menjadi bukan hanya Macan Asia tapi juara dunia dan ada
beberapa pandangan bahwa Indonesia akan jadi ekonomi terbesar di Asia tahun
2050
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.