Written by Tonny Trimarsanto
Film Gie, karya Riri Riza menjadi satu film yang mampu memberikan warna baru, dalam dunia hiburan saat ini. Film yang mengangkat sepenggal kehidupan tokoh gerakan mahasiswa tahun 1966 tersebut menandai babakan baru dunia perfilman di tanah air. Jelas, kemunculan Gie memberikan tawaran baru bagi banyak sineas untuk bisa mengangkat sederet tokoh yang mempunyai kontribusi dalam panggung sejarah, di tanah air.
Film yang dikemas dalam realitas gerakan tahun 1960-an tersebut, secara langsung akan menciptakan energi penciptaan baru. Mungkin tahun ini hanya Gie, karya Riri. Dan melihat peluang suksesnya film biografi, sineas Garin Nugroho pun sudah bersiap-siap dengan film biografi Koes Plus tahun depan. Setidaknya bentuk film biografi, mulai menciptakan satu kecenderungan untuk diproduksi. Yang pasti, tahun lalu ada dua film biografi yang`diperbincangkan banyak orang. Film tentang musisi jazz Ray Charles, yang dibintangi oleh Jamie Foxx, berjudul Ray. Dan film tentang seorang dokter yang konsisten mengampanyekan keterbukaan dalam masyarakat untuk berbicara tentang seks, berjudul Kinsey.
Sukses yang diraih oleh film Gie karya Riri Riza, ataupun musikal Ray karya sutradara Taylor Hackford, nampaknya kian membuktikan bahwa film biografi memang mempunyai kekuatan untuk meraih pasar. Sejarah film biografi senantiasa mampu mencatat prestasi yang gemilang. Ia tidak saja mampu memenangi opini para kritikus, tetapi juga mempunyai peluang meraih keuntungan komersial yang tinggi. Ini berarti, sangat masuk akal jika investor film nasional mempunyai keberanian, untuk memproduksi film biografi.
Ketika sebuah film biografi diproduksi, sebenarnya masih tersimpan banyak pertanyaan. Kenapa? Sebagian kalangan meyakini, bahwa film biografi adalah bagian dari genre film dokumenter, sehingga menjadi tidak sah manakala ada unsur dramaturginya. Sementara, bagi pelaku film fiksi, sama sekali tidak menginginkan jika film biografi masuk dalam kategori dokumenter, lantaran, ketiadaan berimprovisasi penciptaan di dalamnya. Ketika film biografi dikemas dalam fiksi, jelas akan memberikan kemudahan dalam melakukan improvisasi.
***
Film biografi, sering kali disebut sebagai biopic (biographical pictures). Produksi film biografi dimulai sejak tahun 1900-an. Banyak teori sinema menyebutkan bahwa film biografi adalah sub-genre dari genre film yang lebih besar yakni: drama dan epik. Kombinasi antara biografi dan film inilah yang menjadi awal dari penciptaan film-film biografi. Dan jenis-nya pun beragam. Mulai dari biografi seseorang, kelompok tertentu, yang lantas direlasikan dengan banyak isu yang melingkupi sosok yang difilmkan. Baik itu menyangkut kehidupan sosok atau kelompok masa lampau, atau bisa juga pada saat sekarang.
Pada akhirnya, kemunculan film biografi dalam tradisi industri Hollywood sendiri, senantiasa berelasi dengan banyak jenis genre. Ada yang lantas berelasi dengan dunia musik, politik, religius, gerakan masyarakat, scientist, dokter, petualang, presiden, atau bahkan seniman sekalipun.
Adalah seorang pembuat film Prancis, Georges Milies, yang awalnya menawarkan sebuah film biografi. Sekalipun masih dengan film bisu, sutradara jenius ini memproduksi film biografi berjudul Joan D’Arc (1898). Film keduanya yang masih biografi adalah mengangkat sosok aktivis perempuan Prancis Joan C. Demille, yang diperankan oleh aktris opera Gerraldine Farrar, berjudul Joan The Woman (1916).
Sejarah pernah mencatat, bahwa pada tahun 1900-an awal beragam jenis film biografi, mencoba meraih animo penonton. Lantas sosok terkenal dibuat film. Mulai dari, Abraham Lincoln, Vladimir Ilich Lenin, Hitler, Ratu Victoria, Henry VIII, Ratu Elisabeth I, hingga tokoh dalam legenda koboi seperti Billy The Kid, Wyatt Earp, dan yang lain.
Banyak aktris dan aktor juga meraih penghargaan manakala mereka membintangi film biografi. Untuk pertama kalinya, film biografi meraih kemenangan Oscar dari film Yankee Doodle Dandy (1942). Sebuah film tentang tokoh mafia paling berpengaruh, Geore M Cohan (yang diperankan oleh George C Scott), karya sutradara Michael Curtis.
Setelah itu sukses film biografi disusul dengan kemenangan Katharine Hepburn dalam The Lion in Winter(1968), yang mengangkat kisah permaisuri dari Raja Henry II. Aktor kharismatik Ben Kingley sukses dengan Oscar dari film Gandhi (1989) karya sutradara Richard Attenborough, aktor Daniel Day Lewis berperan sebagai penulis dan pelukis cacat dalam My Left Foot (1989). Spielberg tampil jenius dengan film Schindler List (catatan pembantaian dari Oscar Schindler), juga peraih Oscar lainnya yakni film Beautifil Mind.
Sejarah industri film nasional nampaknya juga telah menangkap peluang. Film perjuangan Tjut Nyak Dien (Eros Djarot), Wali Songo, dan beberapa sosok pahlawan pejuang tanah air pernah kita konsumsi. Tidak menutup kemungkinannya, peluangnya akan semakin besar, manakala melihat peluang ekonomis yang bisa diperoleh.
Jika kita melihat perkembangan film biografi, setidaknya ada beberapa kategorisasi yang bisa dilihat. Pertama, film sosok presiden adalah satu segmen yang paling banyak diangkat dalam film biografi. Kita bisa melihat bahwa sosok presiden Amerika Abraham Lincoln, ternyata telah ditafsir oleh sineas dalam banyak versi. Misalnya Abraham Lincoln (1930) karya sutradara DW Griffith, The Young Mr. Lincoln (karya John Ford, dengan aktor Jane Fonda), Abe Lilcoln in Illionis (1940) karya Raymond Massey.
Masih relevan dengan isu politik, ternyata ada banyak film yang mengisahkan sosok presiden yang lain. Misalnya, film Wilson (1940) yang juga mengangkat sosok presiden Amerika Wodrow Wilson, sutradara Oliver Stone sukses mengerjakan JFK (Kevin Costner, 1991) dan Nixon (Antony Hopkins, 1995). Dan kita mengetahui pula, bahwa JFK dalam tradisi Hollywood sudah pernah dibuat yakni, ketika Patrick Dempsey berperan sebagai JFK muda sebelum menuju ke White House dalam JFK: The Reckless Youth, karya sutradara Harry Winer. Sosok ibu negara Evita Peron juga pernah difilmkan, dengan menampilkan aktris penyanyi Madonna.
Kedua, tokoh-tokoh gerakan masyarakat, seringkali difilmkan. Pada sisi ini kita bisa menemukan Spike Lee dengan film Malcom X, tokoh gerakan kulit hitam Amerika yang tewas dibunuh, peraih nobel John Nash yang mengalami scisofrenia dalam A Beautiful Mind (2001),
Ketiga, dunia selebritas dan musisi adalah ilham pula bagi penciptaan film biografi. Tercatat, film kolosan Amadeus (1989), karya Miloz Forman adalah menarik, sebab, orang bisa mengenal legenda komposer Mozart pada saat muda. Sutradara Woody Allen pernah menggarap kehidupan gitaris Emmeth Ray dalam Sweet and Lowdown (1984), Oliver Stone menggarap kisah kelompok musik The Doors (1991). Dunia seni rupa juga pernah dikerjakan. Yakni lewat film Frida (Salma Hayek, 2002) tentang perempuan perupa asal Meksiko, Pollock (Ed Harris, 2000) tentang kehidupan perupa surealisme Jackson Pollock, ataupun perupa muda yang meninggal Basquiat.
Dari begitu banyaknya film biografi yang telah diproduksi, nampaknya sangat banyak peluang enonomi yang telah didapat. Artinya, industri film dunia memang senantiasa meraih keuntungan sekalipun hanya mengangkat kehidupan satu sosok. Dari sekian banyak film biografi yang telah dibuat, nampaknya penonton bukan hanya bisa melihat satu kehidupan tokoh. Yang seringkali terjadi adalah grafik dramaturgi yang cenderung menjadi daya tariknya. Alhasil, ketika menyimak film-film biografi, tak jarang terlontar segudang kontroversi dan kritik. Kritik yang secara langsung mempertanyakan persoalan intensitas keakuratan fakta, yang didramaturgi-kan oleh Hollywood.
Memang tidak salah untuk meramu sebuah alur dramaturgi sebuah sosok dan tokoh. Se-linear apa pun kehidupan seseorang, ketika dikemas menjadi sebuah produk filmis, pastilah akan mengalami desain dramaturgi. Sangat wajar dan masuk akal. Terlebih, manakala kita menyadari, bahwa film adalah produk yang ditonton dan harus mengandungi unsur hiburan. Yang harus dicatat adalah, bahwa mayoritas film biografi produksi Hollywood lebih menitikberatkan pada sosok atau tokoh yang memang sudah dikenal publik. Alasannya adalah, lebih mudah mengemas biografi sosok yang terkenal daripada yang belum.
Film biografi, senantiasa mempunyai segmen yang fanatik. Artinya, ide yang acapkali ditawarkan, mayoritas memang sudah dikenal oleh publik. Diakrabi oleh publik, lewat literatur pustaka, ataupun kisah sejarah. Tidak heran, kondisi ini akan mendorong munculnya penonton yang fanatik dan spesifik. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.