Oleh: Chairul Akhmad (http://chairulakhmad.wordpress.com/2007/09/06/sinetron-mengepung-kita/#comment-279)
Beragam sinetron bertema anak dan remaja membanjiri layar kaca televisi kita. Tema-temanya, tentang cinta, kekayaan, kekerasan. Itu-itu aja. Saatnya berkata tidak pada sinetron kacangan.
…pada suatu kesempatan, Farel nembak Rachel. Sayang, Rachel menolak cinta monyet Farel. Ia lebih senang apabila mereka berteman saja. Apalagi mereka masih terlalu kecil untuk pacaran. Meskipun kecewa, Farel akhirnya menghargai dan mau menerima jawaban tersebut. Farel tidak pernah tahu, kalau Rachel sebenarnya ingin menjadi pacarnya….
Bagi kamu-kamu yang doyan nonton sinetron di televisi, mungkin adegan dan sinopsis cerita di atas sangat familiar buatmu. Ya, kisah cinta monyet Farel dan Rachel yang masih pada bau kencur itu adalah salah satu tayangan sinetron favorit di SCTV. Sinetron berjudul Heart Series yang dijiplak dari versi film layar lebarnya itu mempertontonkan suguhan yang tidak mendidik banget. Bayangin aja, pacaran anak SD!
Selain Heart Series, masih ada segudang sinetron lain dengan tema serupa yang ditayang SCTV, misalnya My Love (sama dengan Heart, ini juga jiplakan dari film layar lebar), Romantika Remaja, Roman Picisan, Dewa Asmara…bla….bla…bla… Yang ujung-ujungnya, cinta buta, cinta monyet, cinta gila dan laennya.
Selain SCTV, stasiun televisi yang juga doyan ngegeber sinetron adalah RCTI. Sinetron remaja dan anak-anak di televisi tertua di Indonesia itu antara lain, Hey Cantik, Pengantin Remaja, Rome Juliet, Kakak Iparku 17 Tahun, Kawin Muda, de el el. SCTV dan RCTI memang dikenal sebagai pemasok sinetron terbesar di jagad pertelevisian Bumi Pertiwi. Prime time (istilahnya waktu utama nonton) keduanya hanya diisi sinetron melulu.
Bayangin aja hampir tiap hari dari jam 18.00 ampe jam 22.000 malem, SCTV dan RCTI berlomba-lomba pamer sinetron. Pada acara prime time itu tak kurang dari empat sinetron ditayangin. RCTI menyebut acaranya dengan istilah Mega Sinetron (untung bukan Mega Mendung), sedangkan SCTV mengusung judul Gala Sinetron. Wuih…wuih…yang jelas dari judulnya yang ‘mega’ dan ‘gala’, kesannya tuh sinetron sangat bagus banget. Tapi nyatanya, tak jauh dari masalah cinta, kekayaan dan umbar pamer (glamoritas).
Selain itu, nih yang paling penting, sinetron-sinetron kita itu juga tak jauh bedanya deh dengan konsep film-film India. Tapi memang ini bisa dimaklumi kok, karena kebanyakan produsernya adalah orang-orang India. Katanya sih, dinasti Punjabi gitu.
Tentang glamoritas, tak heran, jika anggota DPR RI, Ali Mochtar Ngabalin, dan beberapa anggota DPR yang lain (di bidang informasi) merasa prihatin dengan tayangan-tayangan televisi yang bernuansa glamoritas, pembodohan publik, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Sebagai anggota Komisi I DPR RI, Ngabalin menghimbau agar masalah melindungi masyarakat dari dampak negatif tayangan sinetron dan program negatif televisi lainnya bukan hanya monopoli DPR saja, tetapi juga kalangan akademis, praktisi media, pemerintah, aktivis, para pendidik, para pengelola televisi, dan masyarakat secara luas. Dan yang lebih terkait adalah Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Imbauan ini bukannya tanpa alasan, sebab yang namanya tayangan televisi itu sangat berpengaruh dan berdampak pada pemirsanya. Separuh hidup kita dibenamkan dalam tayangan-tayangan yang membuai imaji, ilusi, dan impresi. Nikmat memang menjalani hidup dengan “si kotak ajaib” ini, ia membantu kita melepaskan realitas yang terjadi pada diri kita. Bius program-programnya menghantarkan kita ke alam antah berantah yang tak pernah kita sentuh, bahkan kita bayangkan. Kita juga harus mengakui, bahwa tayangan sinetron memberikan peluang untuk terjadinya peniruan perilaku, apakah itu positif atau negatif.
Perilaku di sini dipahami sebagai manifestasi dari proses psikologis yang merentang dari persepsi sampai sikap. Suatu rangsangan dalam bentuk sinetron dipersepsi kemudian dimaknai berdasarkan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang. Jika tayangan tersebut sesuai, rangsangan itu akan dia hayati yang menyebabkan pembentukan sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot dan warna kepada pelaku. Oleh sebab itu, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan (Supriadi, 1997:127).
Untuk kita ketahui bersama, rangsangan yang ditimbulkan oleh televisi melalui program-programnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan media cetak. Karena, pada televisi gambar-gambarnya bersifat moving, sedangkan media cetak bersifat statis. Menurut psikologi gambar yang moving dapat “tertanam” dalam benak kita dalam tempo lama sekali. Makin besar daya pikatnya atau rangsangan yang ditimbulkannya, makin dalam pula dampak yang ditimbulkannya. Artinya, kita akan sering teringat dan membayangkannya (Lesmana, 1997:139).
Dampak Negatif Televisi
Tahu gak, ternyata kebanyakan nonton televisi itu berpengaruh juga pada penguasaan bahasa seseorang. Sebuah studi yang dilakukan The National Opinion Research Center sejak 1974-1990 menemukan bahwa menonton televisi memperburuk kosakata, sedangkan membaca koran memperbaikinya. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia. Jika di negeri maju aja televisi memundurkan budaya masyarakat, terutama menurunkan kecerdasannya, bagaimana dengan pengaruh televisi di negeri ini bagi generasi (anak-anak dan kaum remaja) kita?
Bahkan dalam sebuah penelitian yang melibatkan anak-anak dari Kanada, Australia, Amerika dan Indonesia dalam hal menonton televisi mendapatkan hasil menarik. Percaya atau tidak, anak Indonesia adalah penonton televisi terlama, disusul Amerika, Australia dan paling rendah Kanada. Bagaimana tidak, kita bangun tidur langsung nonton televisi, mau tidur disempetin nonton televisi lagi. Jangan-jangan, ketika tidur pun kita masih peluk televisi.
Berbagai tulisan, penelitian bahkan seminar-seminar, lokakarya, simposium yang ditulis dan dibicarakan oleh para pakar dan para ahli dibidangnya memperdebatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media televisi. Tudingan miring mengenai kebobrokan televisi sebenarnya sudah merebak sejak kelahirannya pada era 1950-an.
Konsumen media televisi tidak hanya para kalangan orang tua, dewasa, remaja, tetapi juga dari kalangan anak-anak. Yang dikhawatirkan dari kalangan orang tua adalah anak-anak yang belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas, karena media televisi mempunyai daya tiru yang sangat kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Mengingat sulitnya orang tua menjauhkan anak-anak mereka dari televisi, ada baiknya orang tua melakukan pendampingan anak ketika menonton dan memberikan penjelasan sebenarnya tentang apa yang dilihatnya. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa.
Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orang tua untuk selalu memberi pengertian kepada anak secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang tua memberi penjelasan kepada anak.
Maraknya tayangan adegan percintaan dalam dunia sinetron tanah air, sebenarnya melahirkan benih-benih pornografi dan pornoaksi. Lihat aja, ada adegan-adegan yang tidak santun dalam berpakaian, seronok, maupun umbar aurat. Belum lagi cara bertutur kata yang tidak sopan. Akibatnya, muncul perilaku konsumtif, materialis, egois, termasuk perilaku semau gue pada diri remaja. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam sinetron menjadi model yang begitu gampang ditiru anak-anak dan para remaja ketimbang mengikuti apa yang diajarkan para guru di sekolah dan orang tua di rumah.
Tidaklah salah kalau ada ungkapan bahwa televisi saat ini telah menjadi sekolah utama bagi sebagian besar siswa, sedangkan sinetron anak-anak dan remaja merupakan pelajaran favorit mereka. Rendahnya mutu pendidikan kita belakangan ini lebih disebabkan tidak selektifnya berbagai informasi yang dikonsumsi siswa didik di bawah umur.
Dalam kaitan itu, maka aspirasi publik yang menginginkan hadirnya sebuah Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi perlu direspons. Undang-undang ini diharapkan akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi di masyarakat.
Selain itu, tentunya kita sangat berharap agar pengelola stasiun penyiaran televisi lebih baik dan mau mendengar serta memerhatikan berbagai protes atau penilaian yang muncul dari berbagai kalangan, dengan melakukan tindakan konkret ke arah yang lebih konstruktif dan positif. Misalnya, mereduksi atau bahkan menghilangkan tayangan sinetron yang bersifat glamor, kekerasan, dan mistis atau adegan anti-sosial.
Melakukan pembatasan, baik terhadap isi (content) maupun akses penonton terhadap tayangan sinetron yang “gak mutu” melalui aturan atau self censorship yang kuat dari pihak stasiun televisi. Dan yang paling penting, jangan mau diperbudak sinetron!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.