Minggu, 16 Juni 2013

“Sebaik-baik manusia ialah yang paling banyak manfaatnya kepada sesama manusia”


Share tulisan yang mencerahkan... dari Mas Noval Ramsis
==========================================================

insyaLlah ini jadi manfaat untuk saya dan sahabat MIFTA.

Semua Manusia Sama Pentingnya
Ada sebuah cerita sederhana yang patut kita simak untuk memulai renungan kali ini. Adalah seorang Kiyai di satu pesantren menerima telepon dari Jakarta. Isinya, seorang pejabat akan mengunjungi pesantrennya.

“Kapan rencana kunjungan itu?” tanya pak Kiyai

Suara dari seberang sana menyebutkan tanggal dan jamnya.

“Maaf, pada tanggal tersebut pesantren sedang libur” jawab Kiyai.

“Mengapa kalau libur?” tanya sang penelepon.

“Kalau libur, ya sepi pak!” jawab Kiyai

“Tapi khusus pada hari kunjungan itu kan para santri bisa disuruh masuk?”

“Maaf pak, tidak bisa. Mereka sudah pada pulang kampung”

“Tapi kan bisa disuruh datang sehari saja, mengingat yang akan datang ini orang   

  penting lho..” kata sang penelepon sedikit ngotot..

“Wah, saya tidak bisa, Pak. Banyak dari mereka berasal dari luar kota, bahkan luar

daerah. Selain itu, liburan adalah milik serta haknya para santri. Maaf, saya tidak

  berani merampas hak mereka”

“Dengan wibawa Kiyai, mereka kan bisa diminta datang,” kata sang penelepon

dengan nada memaksa.

“Sekali lagi, maaf pak. Saya tidak sanggup. Kalau boleh tahu, sebenarnya yang mau ditinjau oleh beliau itu, pondoknya atau santrinya?”

“Memangnya kenapa?” Tanya sang penelepon agak emosi.

“Kalau yang ingin ditinjau itu pondoknya” jawab Kiyai setenang mungkin, “kapan saja kami senantiasa siap karena pondoknya selalu ada. Tapi kalau yang ditinjau itu para santri, maka nanti saja ya, kalau liburan sudah selesai”

“Saya tidak tahu santri atau pondoknya, karena yang datang bukan saya tapi beliau. Ingat pak Kiyai, beliau itu pejabat penting di negeri ini!” kata suara dari seberang sambil meletakkan gagang telepon secara kasar.



Kejadian seperti di atas barangkali sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Saking seringnya, kemudian kita menjadikannya sebagai sesuatu yang biasa. Saking biasanya, lalu kita menjadikannya sebagai satu pembenaran. Dari itu, kemudian terbentuklah cara pandang yang menganggapnya sebagai kelaziman bahwa dalam konteks cerita di atas: pejabat itu penting dan santri tidak penting sehingga liburannya harus dirampas.

Ketika hal ini telah dianggap sebagai sesuatu yang lazim maka jadilah ia sebagai karakter atau dalam bahasa agama sebagai “akhlaq” di mana Imam Al-Ghazali mengartikannya dengan “tabi’at yang tertanam dalam di ruang bawah sadar kita dan mengejawantah dalam bentuk tindakan yang mengalir begitu saja secara refleks, tanpa ada pertimbangan akal pikiran sedikitpun”.

Gerak substantif terbentuknya akhlaq di atas mirip dengan apa yang pernah disitir oleh Steven R. Covey dalam bukunya The Seven Habits for Teenagers, bahwa barangsiapa menanam pikiran, akan menuai perbuatan. Barangsiapa menanam perbuatan, akan menuai kebiasaan. Barangsiapa menanam kebiasaan akan menuai karakter. Dan barangsiapa yang menanam karakter, akan menuai nasib. Bisa jadi nasib (bagian hidup) bangsa kita ini masih saja terpuruk karena cara pandangnya yang dikotomik terhadap manusia: penting dan kurang penting. Dosen penting, mahasiswa kurang penting. Rektor penting, karyawan kurang penting. Direktur penting bawahan kurang penting, Presiden penting, rakyat kurang penting dan sejenisnya.

Padahal kalau anggapan dikotomik seperti ini muncul maka penghargaan terhadap manusia akan berubah dan keadilan pun mulai sirna. Akibatnya, sejarah kekalahan manusia oleh manusia lainnya kembali terulang. Banyak tragedi hilangnya kekuasan karena berangkat dari pandangan dikotomik seperti ini. Orde baru terjungkal karena penguasa lebih mementingkan diri dan meremehkan rakyatnya. Saat ini peristiwa yang sama terulang kembali di beberapa negeri belahan dunia. Tidakkah kita mengambil pelajaran dari tragedi sejarah yang terus berulang ini?



Tuhan menciptakan semua manusia sama pentingnya. Karena Allah telah membuatnya dengan penuh kesungguhan dan sebaik-baiknya, sebagaimana firman-Nya:

“Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah” (QS. As-Sajadah:7).

Namun, manusialah yang membeda-bedakan diri mereka berdasarkan kelas. Ada kelas penting. Ada kelas kurang penting. Bahkan ada pula kelas yang tidak penting. Ukuran penting-tidaknya seringkali ditentukan oleh jabatan, pangkat dan kekayaan. Kemiskinan sering dianggap sebagai kesalahan bahkan kehinaan. Walya’udzubillah…

Padahal di hadapan Allah SWT, jabatan, pangkat, golongan dan kekayaan bukanlah ukuran kemuliaan, sebagaimana Allah berfirman:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat: 13).





Sebuah hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan, ada sebuah masjid yang sering dikunjungi Nabi Muhammad saat bepergian. Tiap kali singgah, beliau bertemu dengan nenek tua yang sering kali membesihkan masjid itu, dan saling tegur sapa dengan ramah.

Suatu hari Nabi kembali singgah di masjid itu, namun beliau tidak menemukan nenek tersebut.

“Kemana nenek kita, saya tidak melihat?” Tanya Nabi.

“Owh, sudah meninggal beberapa hari lalu” jawab seorang jama’ah masjid.

Nabi terkejut mendengarnya, “Mengapa tidak seorang pun dari kalian yang memberitahu aku?”

Para sahabat menganggap tidak perlu menginformasikannya kepada Nabi karena yang meninggal hanyalah tukang menyapu masjid, sudah tua lagi. Padahal urusan Nabi sangat banyak. Nabi kecewa mendengar penjelasan itu.

“Kalau begitu, tunjukkan kepadaku kuburannya sekarang?” pinta Nabi.

Para sahabat menunjukkan kuburan nenek itu. Nabi lalu melakukan shalat gaib di sisinya.

Begitu tinggi Nabi menghargai nenek itu sampai perjalanannya tertunda demi ziarah ke kuburannya nenek tersebut. Secara fisik apa kelebihan nenek itu? Tidak ada. Ia tidak kaya, tidak pandai, sudah tua lagi. Namun Nabi sangat menghormatinya karena nenek itu memberikan manfaat besar kepada orang lain dalam bentuk menjaga kebersihan masjid. Itu dilakukan dengan penuh kesungguhan. Nabi pernah bersabda:

“Sebaik-baik manusia ialah yang paling banyak manfaatnya kepada sesama manusia”

Menghormati orang besar itu gampang. Tapi menghormati orang kecil itu perlu belajar. Lebih sulit lagi jika yang tumbuh di sekitar kita justru budaya menjilat ke atas dan menginjak ke bawah.. dan belajar menghargai orang lain bisa diawali dengan menganggap penting setiap orang.

Demikianlah, semoga renungan ini dapat menginspirasi kita untuk belajar menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, ……..




--

salam OptimasiDiri
NovalRamsis dot com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.