Kami, gabungan masyarakat sipil perempuan Indonesia menyatakan keberatan dengan eksploitasi terhadap perempuan dalam pemberitaan praktek poligami dalam perkawinan Eyang Subur, yang dilakukan oleh media cetak maupun elektronik.  Munculnya tujuh istri Eyang Subur sekaligus di berbagai acara di hampir semua stasiun televisi disatu sisi memberikan kesaksian tentang praktek perkawinan poligami diluar dari kewajaran dari perspektif perempuan korban, namun disisi lain justru ikut memberikan peluang ditangkap oleh media sebagai peluang untuk menaikkan atau menjaga rating pemberitaan. Cara media mengkontraskan antara kesaksian dari korban-korban yang menggugat Eyang Subur dengan pengalaman pribadi para istri-istri yang “selalu” terdengar positif tentang seputar kehidupan rumah tangga mereka dengan satu orang suami, sangat terkesan manipulatif, eksploitatif, hiper-realitas, tidak mendidik dan tidak sensitif terhadap perempuan korban. 

“Siapa yang mau dimadu”. Ungkapan yang kerap terlontar dari perempuan yang menjalani perkawinan poligami. Senyatanya tak seorang perempuan secara sadar memilih perkawinan poligami untuk dirinya sendiri. Perempuan yang telah menjalani perkawinan poligami lebih banyak didorong oleh faktor diluar diri perempuan dan budaya dominasi  yang meletakkan perempuan pada situasi yang sulit untuk menolak. 

Media seolah terperdaya dengan penampilan “kompak” para istri Eyang  Subur yang bukan saja mengenakan seragam berserta perhiasan dan asesoris mewah yang sama, tetapi juga “sanjungan” pada suami dan “cerita senang” hidup berpoligami yang manipulatif. Media tidak obyektif dalam memotret perwakinan poligami dan aspek kehidupan poligami, terutama dampak poligami pada  well-being istri dan tumbuh kembang anak. Faktanya perempuan menjalani kehidupan poligami tidak memiliki hak kemerdekaan mereka, tidak menerima porsi cinta yang sama dari suami, disituasikan berkompetisi sesama istri, sulit bersosialiasi di masyarakat, buruk kondisi kesehatan seksual dan reproduksinya. Poligami juga berdampak pada terganggunya tumbuh kembang anak. Perasaan kecewa, marah, cemburu, dan bisa mengubah sikap anak dari ceria menjadi murung, menutup diri, membangkang dan yang lebih berbahaya adalah tidak percaya dengan lembaga perkawinan. 


Media berkontribusi ikut melanggengkan konstruksi maskulinitas yang ekspolitatif dalam pemberitaan kehidupan poligami bahwa laki-laki pemilik harta bisa menaklukkan perempuan-perempuan sebanyak dia mau dan termasuk bisa mengontrol semua keinginan mereka. Di beberapa tayangan di TV seperti:  wawancara eksklusif di rumah Eyang Subur oleh Global TV, Just Alvin Metro TV, Showimah di Trans TV, dan berbagai program dialog maupun infotaimen lainnya hanya berorientasi pada peningkatan rating pemirsa. Media sangat jelas tidak sensitif dan tidak mempunyai keberpihakan pada perempuan yang sebagai korban poligami, yang harus memberikan kesaksian palsu tentang indahnya poligami, sementara para korban tidak punya kemerdekaan menentukan desain dan warna pakaian apa yang ingin dipakai, model perhiasan yang cocok untuk mereka, model dan warna sepatu yang sesuai selera mereka karena semua ditentukan oleh suami. 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seharusnya tanggap bahwa pemberitaan yang ada tidak lagi bersifat informatif, tetapi lebih mengarah pada eksploitasi terhadap perempuan. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 32 Tahun 2002 pasal 5, di mana penyiaran diarahkan untuk memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggungjawab. Selain itu, tayangan tersebut melanggar Peraturan KPI No: 02/P/KPI/12/2009 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)  Pasal  13 di mana program siaran wajib melindungi anak, remaja dan perempuan. Praktek poligami adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap undang-undang No. 7 tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), khususnya pasal 16 tentang Perkawinan dan Hukum Keluarga 

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) harusnya bisa menangkap fenomena poligami sebagai usaha melemahkan dan mendiskriminasikan perempuan, memecah belah sisterhood, dan pelanggaran hak-hak asasi perempuan. 

Olehkarena itulah, kami atas nama masyarakat sipil dan perempuan Indonesia menuntut agar : 


  1.  Praktisi Media dapat menerapkan prinsip cover both side dalam penayangan kasus Eyang Subur dan secara bijak untuk menghentikan ekploitasi terhadap perempuan korban poligami melalui penayangan di berbagai acara televisi, karena dianggap tidak mewakili perempuan korban poligami lainnya yang mengalami kekerasan fisik, seksual, mental, ekonomi dan tidak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan diri

  2.  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan teguran untuk menghentikan tayangan-tayangan terkait dengan kehidupan poligami Eyang Subur yang manipulatif, ekspolitatif, tidak mendidik dan tidak sensitif korban dengan menggunakan perempuan-perempuan korban untuk mengamini dan membenarkan perkawinan poligami 

  3.  KPI menjaga obyektifitas pemberitaan dengan memonitor dan memberikan masukan kepada media massa yang masih menayangkan pemberitaan atau program yang mengeksploitasi perempuan korban poligami.

  4.  Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk secara serius merespon fenomena poligami ini sebagai bentuk pelanggaran UU no. 7 tahun 1984 tentang pengesahan mengenai konvensi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan (CEDAW)  dan mengkampanyekan UU No. 23 tahun 2004 tentang perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, sebagai alat perlindungan perempuan korban sehingga korban terdorong untuk melaporkan praktek-praktek kekerasan (fisik, non fisik, mental) yang dirasakannya. Dan juga UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.