Senin, 26 Maret 2012

A Traveler's Notes dari Nina Soeparno

Saya biasa menelusuri kota Singapura dengan berjalan kaki. Lalu naik bus, lalu naik MRT. Itu memang hobi saya. Bukan hanya di Singapura saja, kemana-mana selalu mencari cara untuk bisa berjalan kaki, melihat-lihat suasana. Melihat aneka rupa manusia. Gaya mereka, cara mereka berbicara, pakaian mereka. Saya hobi menelusuri kota dengan menggunakan peta. Dulu, ketika saya masih mahasiswa di Universite de Nice, setiap sore yang panjang di  musim semi, saya menelusuri kota Nice sampai bisa menemukan Gereja Tua Sion yang di halamannya ada kebun mawar merah dan putih, lalu di pintu masuk gereja ada lambang cawan terbalik, persis seperti apa yang digambarkan Dan Brown di buku fenomenalnya, The Da Vinci Code. Lalu, saya juga hobi mblusuk-mblusuk hidden places di suatu kota hingga saya dulu menemukan penginapan murmer di jantung kota Barcelona, persis di bawah rumah-rumah Gaudi, rumah2 yang dindingnya dibuat dari mosaik-mosaik porselen. Indah. Atau, menyusuri desa kecil Brugge, di Belgia dengan perahu. Tidak ada jalan aspal di sana, yang ada hanyalah sungai-sungai yang menghubungkan antara rumah satu dengan rumah yang lain. Mirip di Venice, kota tanpa jalan di Italia yang jadi sentra cerita di film The Tourist nya Angelina Jolie. Tapi saya suka romantisme yang ditimbulkan Brugge. Rumah-rumah batunya dengan jendela kecil dengan gordyn nya yang putih. Mirip rumah di negeri liliput dalam buku yang saya baca waktu kecil. Lalu, setiap rumah ada tanaman berbunga yang menjuntai-juntai dari atap setiap rumahnya. Romantis. Menyejukkan. Lalu ada banyak jembatan berlumut di setiap sudut desanya, dengan pohon willow dimana-mana. Hijau. Itu juga yang jadi inspirasi Monet ketika melukis gadis berpayung. Ah, saya lupa judul lukisannya, tapi lukisan Monet yang selalu romantis, penuh bunga-bunga, membuat hati saya juga jadi membuncah bahagia. Mengobrol dengan penduduknya yang ramah di warung kopi kecil yang bernama "Nina's Tavern". Hah!!! Saya betul-betul tersanjung ketika menemukan ini di sana. Saya abadikan.

Singapura tidak punya simbol romantis macam Prancis, atau kesan damai ketika melihat semua orang bersepeda kumbang lalu lalang di depan saya yang minum kopi di kedai kecil di pinggir kota Amsterdam, yang lagi-lagi bernama Nina's Cave. Atau ikut-ikutan memetik apel bersama penduduk di Benevento, Italia, kota pohon apel ketika saya tidak sengaja terdampar di sana.  Singapura tidak seperti itu. Ia menawarkan kemoderenan. Karena ia tidak punya alam yang sudah tercetak indah. Alam Singapura sangat rata. Tidak ada gunung, tidak ada hutan. Singapura juga tidak punya lahan untuk rumah-rumah kebun yang indah. Singapura tidak punya sumber daya alam seperti Indonesia yang bisa membuatnya dikenal karena jenis binatang dan keajaiban alam seperti Danau Kelimutu. Yang ada hanya immeuble, rumah susun untuk menampung penduduknya. Dari yang mirip apartemen bersubsidi dimana jemuran baju bergelantungan di kompleks kawasan rumah tinggal di Jurong dan Bukit Merah hingga kondominium mahal di pusat bisnis dekat Victoria. Singapura juga tidak banyak memiliki peninggalan sejarah, kecuali bahwa mereka sangat bangga dengan penduduk multi ras yang berasal dari India, China, Melayu, dan hidup berdampingan tanpa konflik. Hal mana yang kini saya rindukan di negara tercinta. Hidup harmonis dan berdampingan. Orang Singapura sadar, jumlah mereka sangat sedikit. Mereka sadar mereka akan hancur kalau tidak bersama-sama. Karakter yang terus ditumbuhkan di generasi mudanya melalui berbagai kegiatan di sekolah. Pemerintah memastikan hal itu dijalankan dengan baik.

Di tengah gedung-gedung pencakar langit, berdiri megah pula klenteng China, pusat sembahyang umat Sikh, dan mesjid. Singapura negara sekuler. Menghormati warganya yang menjalankan agamanya secara pribadi. Tidak ada pelajaran agama atau nilai agama di sekolah, tetapi toh kerukunan beragama sangat menonjol. Tidak ada kewajiban penilaian kognitif agama di kelas-kelas anak2 Singapura, namun anak2 Singapura tetap beribadah.

Tengoklah National Library yang berdiri megah di antara Bugis Junction dan Capita Mall yang mentereng itu. Selalu ada antrean panjang untuk masuk ke perpustakaan itu. Bukti bahwa warga Singapura tetap menempatkan membaca dan buku sama kualitasnya dengan kebutuhan berbelanja. Ini tempat favorit saya kalau berkunjung ke Singapura. Selalu ada pameran gratis di berandanya yang sering memberi inspirasi baru. Seperti ketika kemarin saya berkunjung ke sana. Mahasiswa desain sedang berpameran hasil karya visual mereka. Masing-masing meletakkan kartu nama dan portofolio di meja display. Barangkali saja ada perusahaan yang berminat meng-hire mereka setelah pameran. Brilliant!!! Tidak jaman nya lagi mencari kerja dengan mengirimkan surat lamaran dan CV. Mahasiswa memang harus diajarkan bagaimana menjemput bola.

Saya menelusuri lagi jalan Bencoolen, di sudut ada pusat penjualan barang-barang elektronik, Burlinton Square. Singapura memang rajanya elektronik canggih. Jangan heran melihat anak usia 9 tahun berjalan dengan iPad atau iPhone. Blackberry tidak laku di Singapura. Tetapi di Singapura tidak ada copet, apalagi orang yang merampok di tengah jalan maupun di apartemen mentereng. Di Singapura kita tidak melihat polisi, namun toh orang menghormati pejalan kaki, tidak ada mobil yang tiba2 nyelonong dan menabrak 11 orang pejalan kaki. Di Singapura tidak ada polisi bersliweran, namun kemacetan hanya berdurasi 20 menit di tempat-tempat tertentu. Pusat belanja Bugis Street selalu padat dikunjungi namun toh orang tetap rapi berjajar menunggu saatnya menyebrang. Tengoklah Pasar Tanah Abang yang kurang lebih mirip dengan Bugis Street. Jangan pernah lewat berkendara di depannya, bisa-bisa kita terjebak di tengah-tengahnya selama seharian saking macetnya.

Ini sudah kali ke delapan saya berkunjung ke Singapura. Sudah hapal dimana mencari makanan enak, sudah tahu bagaimana naik MRT, paham tata cara orang Singapura berlaku. Toh, selalu ada hal baru yang saya pelajari dari Singapura dan orang-orangnya. Selalu terkejut betapa mereka sangat menghargai ideologi Pancasila yang kita punya. "That's amazing!!!" Begitu selalu mereka katakan.

Seperti yang selalu dikatakan oleh orang-orang Singapura yang saya temui, "Kami tidak memiliki apa-apa kecuali kecuali otak dan pikiran kami untuk berdaya. Untuk itulah pendidikan sangat penting. Dan penting bagi kami untuk berdisiplin agar kami dapat mandiri di kaki kami sendiri. Menggunakan apapun yang ada untuk menjadi luar biasa."

Singapura memang luar biasa.


Salam,


Nina Soeparno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.