Saya biasa
menelusuri kota Singapura dengan berjalan kaki. Lalu naik bus, lalu naik
MRT. Itu memang hobi saya. Bukan hanya di Singapura saja, kemana-mana
selalu mencari cara untuk bisa berjalan kaki, melihat-lihat suasana.
Melihat aneka rupa manusia. Gaya mereka, cara mereka berbicara, pakaian
mereka. Saya hobi menelusuri kota dengan menggunakan peta. Dulu, ketika
saya masih mahasiswa di Universite de Nice, setiap sore yang panjang di
musim semi, saya menelusuri kota Nice sampai bisa menemukan Gereja Tua
Sion yang di halamannya ada kebun mawar merah dan putih, lalu di pintu
masuk gereja ada lambang cawan terbalik, persis seperti apa yang
digambarkan Dan Brown di buku fenomenalnya, The Da Vinci Code. Lalu,
saya juga hobi mblusuk-mblusuk hidden places di suatu kota hingga saya
dulu menemukan penginapan murmer di jantung kota Barcelona, persis di
bawah rumah-rumah Gaudi, rumah2 yang dindingnya dibuat dari
mosaik-mosaik porselen. Indah. Atau, menyusuri desa kecil Brugge, di
Belgia dengan perahu. Tidak ada jalan aspal di sana, yang ada hanyalah
sungai-sungai yang menghubungkan antara rumah satu dengan rumah yang
lain. Mirip di Venice, kota tanpa jalan di Italia yang jadi sentra
cerita di film The Tourist nya Angelina Jolie. Tapi saya suka romantisme
yang ditimbulkan Brugge. Rumah-rumah batunya dengan jendela kecil
dengan gordyn nya yang putih. Mirip rumah di negeri liliput dalam buku
yang saya baca waktu kecil. Lalu, setiap rumah ada tanaman berbunga yang
menjuntai-juntai dari atap setiap rumahnya. Romantis. Menyejukkan. Lalu
ada banyak jembatan berlumut di setiap sudut desanya, dengan pohon
willow dimana-mana. Hijau. Itu juga yang jadi inspirasi Monet ketika
melukis gadis berpayung. Ah, saya lupa judul lukisannya, tapi lukisan
Monet yang selalu romantis, penuh bunga-bunga, membuat hati saya juga
jadi membuncah bahagia. Mengobrol dengan penduduknya yang ramah di
warung kopi kecil yang bernama "Nina's Tavern". Hah!!! Saya betul-betul
tersanjung ketika menemukan ini di sana. Saya abadikan.
Singapura
tidak punya simbol romantis macam Prancis, atau kesan damai ketika
melihat semua orang bersepeda kumbang lalu lalang di depan saya yang
minum kopi di kedai kecil di pinggir kota Amsterdam, yang lagi-lagi
bernama Nina's Cave. Atau ikut-ikutan memetik apel bersama penduduk di
Benevento, Italia, kota pohon apel ketika saya tidak sengaja terdampar
di sana. Singapura tidak seperti itu. Ia menawarkan kemoderenan. Karena
ia tidak punya alam yang sudah tercetak indah. Alam Singapura sangat
rata. Tidak ada gunung, tidak ada hutan. Singapura juga tidak punya
lahan untuk rumah-rumah kebun yang indah. Singapura tidak punya sumber
daya alam seperti Indonesia yang bisa membuatnya dikenal karena jenis
binatang dan keajaiban alam seperti Danau Kelimutu. Yang ada hanya
immeuble, rumah susun untuk menampung penduduknya. Dari yang mirip
apartemen bersubsidi dimana jemuran baju bergelantungan di kompleks
kawasan rumah tinggal di Jurong dan Bukit Merah hingga kondominium mahal
di pusat bisnis dekat Victoria. Singapura juga tidak banyak memiliki
peninggalan sejarah, kecuali bahwa mereka sangat bangga dengan penduduk
multi ras yang berasal dari India, China, Melayu, dan hidup berdampingan
tanpa konflik. Hal mana yang kini saya rindukan di negara tercinta.
Hidup harmonis dan berdampingan. Orang Singapura sadar, jumlah mereka
sangat sedikit. Mereka sadar mereka akan hancur kalau tidak
bersama-sama. Karakter yang terus ditumbuhkan di generasi mudanya
melalui berbagai kegiatan di sekolah. Pemerintah memastikan hal itu
dijalankan dengan baik.
Di tengah gedung-gedung pencakar langit,
berdiri megah pula klenteng China, pusat sembahyang umat Sikh, dan
mesjid. Singapura negara sekuler. Menghormati warganya yang menjalankan
agamanya secara pribadi. Tidak ada pelajaran agama atau nilai agama di
sekolah, tetapi toh kerukunan beragama sangat menonjol. Tidak ada
kewajiban penilaian kognitif agama di kelas-kelas anak2 Singapura, namun
anak2 Singapura tetap beribadah.
Tengoklah National Library
yang berdiri megah di antara Bugis Junction dan Capita Mall yang
mentereng itu. Selalu ada antrean panjang untuk masuk ke perpustakaan
itu. Bukti bahwa warga Singapura tetap menempatkan membaca dan buku sama
kualitasnya dengan kebutuhan berbelanja. Ini tempat favorit saya kalau
berkunjung ke Singapura. Selalu ada pameran gratis di berandanya yang
sering memberi inspirasi baru. Seperti ketika kemarin saya berkunjung ke
sana. Mahasiswa desain sedang berpameran hasil karya visual mereka.
Masing-masing meletakkan kartu nama dan portofolio di meja display.
Barangkali saja ada perusahaan yang berminat meng-hire mereka setelah
pameran. Brilliant!!! Tidak jaman nya lagi mencari kerja dengan
mengirimkan surat lamaran dan CV. Mahasiswa memang harus diajarkan
bagaimana menjemput bola.
Saya menelusuri lagi jalan Bencoolen,
di sudut ada pusat penjualan barang-barang elektronik, Burlinton Square.
Singapura memang rajanya elektronik canggih. Jangan heran melihat anak
usia 9 tahun berjalan dengan iPad atau iPhone. Blackberry tidak laku di
Singapura. Tetapi di Singapura tidak ada copet, apalagi orang yang
merampok di tengah jalan maupun di apartemen mentereng. Di Singapura
kita tidak melihat polisi, namun toh orang menghormati pejalan kaki,
tidak ada mobil yang tiba2 nyelonong dan menabrak 11 orang pejalan kaki.
Di Singapura tidak ada polisi bersliweran, namun kemacetan hanya
berdurasi 20 menit di tempat-tempat tertentu. Pusat belanja Bugis Street
selalu padat dikunjungi namun toh orang tetap rapi berjajar menunggu
saatnya menyebrang. Tengoklah Pasar Tanah Abang yang kurang lebih mirip
dengan Bugis Street. Jangan pernah lewat berkendara di depannya,
bisa-bisa kita terjebak di tengah-tengahnya selama seharian saking
macetnya.
Ini sudah kali ke delapan saya berkunjung ke
Singapura. Sudah hapal dimana mencari makanan enak, sudah tahu bagaimana
naik MRT, paham tata cara orang Singapura berlaku. Toh, selalu ada hal
baru yang saya pelajari dari Singapura dan orang-orangnya. Selalu
terkejut betapa mereka sangat menghargai ideologi Pancasila yang kita
punya. "That's amazing!!!" Begitu selalu mereka katakan.
Seperti
yang selalu dikatakan oleh orang-orang Singapura yang saya temui, "Kami
tidak memiliki apa-apa kecuali kecuali otak dan pikiran kami untuk
berdaya. Untuk itulah pendidikan sangat penting. Dan penting bagi kami
untuk berdisiplin agar kami dapat mandiri di kaki kami sendiri.
Menggunakan apapun yang ada untuk menjadi luar biasa."
Singapura memang luar biasa.
Salam,
Nina Soeparno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.