Minggu, 25 Maret 2012

PSSI-KPSI Ayo Rekonsiliasi, Satu-Satunya Obat Bagi Sepak Bola Indonesia

ir susu dibalas air tuba. Bisa jadi pepatah inilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan sikap dan kesungguhan PSSI untuk melakukan rekonsiliasi dengan 'anak-anak' mereka, yang menyebut diri Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Berpuluh kali KPSI menyerang mereka, melalui pernyataan-pernyataan media massa, berpuluh kali pula PSSI terus berupaya menawarkan jalan rekonsiliasi.

Di lobby Hotel Aquarius Palangkaraya, di tengah persiapan menjelang Kongres Tahunan PSSI, Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin kembali mengulang pernyataannya. "Rekonsiliasi adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan sepak bola kita," ujar mantan Staf Ahli Menpora ini.

Bagi Djohar, kompromi merupakan langkah yang harus dilakukan. Baginya, sejelek apapun kubu seberang menyerangnya, mereka tetap merupakan anggota keluarga. Baginya, dalam keluarga wajar apabila terjadi silang pendapat.

"Saya berharap mereka-mereka yang di luar agar bisa kembali ke rumah. Silahkan saja mereka berbeda pendapat, tapi janganlah melempari rumahnya sendiri," ungkap profesor kelahiran  13 September 1950 tersebut, dengan nada penuh harap.

Rekonsiliasi bukan hanya disuarakan oleh Djohar. Ketua Majelis Etik PSSI, Todung Mulya Lubis juga mengungkapkan pandangan serupa. Menerima surat keputusan Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), yang menggugurkan gugatan Tony Apriliani (mewakili KPSI), Todung bukannya balik umbar suara. Justru menurut pakar arbitrase ini, keputusan CAS tersebut merupakan momentum terbaik untuk melakukan rekonsiliasi.

"Saya menyambut positif putusan CAS kemarin, karena dengan putusan tersebut legalitas PSSI tidak bisa dibantah. Semoga dengan keluarnya putusan CAS ini, mereka-mereka yang berada di luar PSSI, bisa  masuk kembali," katanya.

"Keputusan ini, harus digunakan oleh pihak-pihak yang berada di luar PSSI untuk masuk ke dalam PSSI, karena ini merupakan bukti bahwa PSSI adalah rumah yang sah secara hukum."

Sebenarnya apabila menengok ke belakang, periode kepemimpinan Djohar, 'rumah' PSSI kerap dilempari oleh anggota keluarga mereka sendiri.

Mulai sejak awal kepemimpinan, yang dituding sebagai boneka dari Arifin Panigoro, sampai pada puncaknya ketika Rapat Akbar Sepakbola Nasional (RASN), yang digawangi oleh empat orang mantan anggota Komite Eksekutif, mengeluarkan Deklarasi Jakarta. Salah satu dari keputusan deklarasi tersebut adalah mosi tidak percaya pada kepemimpinan Djohar dan Komite Eksekutif lainnya karena mereka dianggap telah melanggar Statuta PSSI dan hasil Kongres Bali.

Selain itu, Deklarasi Jakarta 'melegalkan' kudeta bagi kepemimpinannya dengan pembentukan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI).

Pun, Djohar juga hanya bisa mengeluhkan posisi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), yang dia nilai tidak jernih dalam memandang masalah. Menurutnya, dalam kesempatan berbincang di tengah riuhnya Kongres Tahunan, seharusnya KONI bisa lebih melindungi organisasi yang berada di bawahnya.

"Saya teringat KONI di jaman Rita Subowo. Waktu itu, sedang marak gerakan yang biasa disebut Kelompok 78 (K-78), untuk melakukan perubahan di PSSI. Waktu itu, saya juga memiliki hubungan baik dengan Bu Rita. Namun, apakah Bu Rita otomatis berpihak pada saya? Tidak. Dia tetap melindungi organisasi di bawahnya," ujarnya lirih waktu itu.

Tapi, hal tersebut nampaknya hanya bentuk kekecewaan pribadi saja. Terbukti, secara organisatoris, Djohar masih terus merapal kata-kata 'rekonsiliasi'. Bahkan, secara organisatoris pula, Djohar dan PSSI juga rela berkorban. Mereka rela menghilangkan beberapa hal, yang semula merupakan hal prinsip, dalam lima konsep rekonsiliasi yang mereka tawarkan. PSSI rela nama kompetisi resmi mereka Indonesian Premier League diubah agar si anak-anak hilang kembali pulang.

Mereka juga rela mengganti operator kompetisi, PT. Liga Prima Indonesia Sportindo (PT. LPIS), dengan operator lain. Juga agar si anak-anak nakal tersebut pulang. "Pangkal permasalahan ada di kompetisi, terkait nama dan jumlah pesertanya. Karena masalah berpangkal dari situ, mari kita selesaikan melalui rekonsiliasi kompetisi," tegas Djohar.

Pengorbanan ini bisa dibilang 'sedikit tidak adil'. Pasalnya, paling tidak menurut pernyataan advisor AFC bagi LPIS, Subramaniam Rasamanickam, mereka telah berada di jalan yang benar. Yang dibutuhkan PT. LPIS dan kompetisi IPL hanyalah waktu untuk menjadi lebih baik dan membuktikan kemampuan mereka.

Apabila hendak berpikir hitam putih, hal ini sangat tidak adil bagi PT. LPIS. Namun, apakah mereka marah-marah, ngambek lalu membuat kompetisi tandingan, dengan alasan usulan PSSI bertentangan dengan hasil rapat Exco PSSI sendiri? Tidak. Justru senyuman lebar terkembang di CEO PT. LPIS, Widjajanto.

"Demi sepak bola Indonesia," ujar arek Suroboyo ini, sembari tetap tersenyum.

Sayangnya, ribuan kilometer dari Palangkaraya, tepatnya di Hotel Mercure, Ancol Jakarta, tawaran rekonsiliasi ini tidak bergema. KPSI justru telah menutup pintu rekonsiliasi dan tetap enggan pulang ke rumah. Bisa jadi, bagi mereka berada di luar rumah justru lebih menguntungkan ketimbang harus di dalam. Bahkan, keputusan CAS, sebagai Pengadilan Arbitrase Olahraga yang memiliki kewenangan mengikat terhadap FIFA dan IOC, pun tidak bisa menyentuh hati mereka.

Di pembukaan Kongres PSSI di Palangkaraya, 17 Maret malam lalu, sempat dipertunjukkan salah satu tarian daerah bernama Wadian Dadas. Wadian Dadas ini pada awalnya merupakan tarian untuk pengobatan dan mengusir roh-roh jahat yang berada di tubuh si sakit. Semoga tarian ini mampu mengusir kebencian di hati seluruh stakeholder sepak bola Indonesia dan mengobati PSSI dan sepak bola Indonesia yang sedang (di)sakit(i). (den/end)
sumber : bola.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.