Berawal dari pertanyaan
Dengan menyebut nama Allah yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kajian ini di hantarkan. Dalam kepenatan pikiran
atas perbedaan. Dalam logika yang tak sama, mencoba mengambil frame yang tak
biasa. Mencoba mengajak pembaca untuk melakukan eksplorasi atas sebuah berita,
atas sebuah petunjuk, atas sebuah kesadaran yang telah menembus waktu, kesadaran
yang membingkai peradaban dan alam pikir manusia. Kesadaran yang tengah merajai
di melenium ini. Berawal dari sebuah pertanyaan. Adakah pluralisme ?. Maka kajian ini mencoba menjelaskan dari sisi seorang
kontruksionis.
Sebuah realitas kejadian atau di
sebut fakta, dapatlah menjadi bermacam-macam makna, tergantung siapakah
pengamatnya. Setiap manusia memIliki kecenderungannya masing-masing untuk
melabelkan atau memaknai apa saja atas kejadian tersebut, kembali tergantung
kepada seberapa banyak referensi yang di milikinya dan tak kalah pentingnya
adalah seberapa jauh kepetingan penguasa berperanan dalam pemaknaan atas
terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam kajian sebelumnya,
pluralisme di gugat, karena realitas
dalam kesadaran diri setiap individu manusia tidaklah memiiliki referensi atas
pluralisme. Manusia yang mengaku tidak ber Tuhan sekalipun, nyatanya
realitasnya dia tetap Memper- Tuhankan materi, jabatan, golongan, dan lain
sebagainya. Maka dalam teologi Islam tidak di kenal adanya atheis. Teologi
Islam hanya mengenal apakah suatu kaum ber Tuhan kepada Allah atau ber Tuhan
kepada selain Allah (materi misalnya).
Manusia tidak akan mampu mengakui
kebenaran pihak lain, apapun alasannya. Inilah realitas yang sering kita
pungkiri, meski keadaan sesungguhnya sudah begitu. Manusia mencoba bersembunyi dalam dirinya
sendiri, mencari pembenaran atas sikapnya. Karena hubungan antar manusia
mensyaratkan demikian. Maka wacana
pluralisme di sodorkan. Mencoba mengakomodasi kepentingan penguasa, agar
masyarakat tidak saling berebutan kebenaran atas mereka sendiri. Agar
masyarakat tidak saling baku hantam.
Maka menjadi jelas bagi kita,
bahwa pluralisme adalah wacana yang tengah di usung oleh kaum cendikiawan untuk mengatasi
problematika akut, yaitu problematika perebutan kebenaran atas setiap golongan.
Bagaimana sejatinya Islam menyikapi hal ini ?. Sudah benarkan wacana
pluralisme ?.
Meskikah Islam terlarut wacana ini, kemudian mengakui kebenaran
golongan lainnya ?. Bagaimana selanjutnya dengan akidah umat Islam ?.
Bagaimanakah sebenarnya menyikapi keadaan ini ?.
Yaitu menyikapi fakta dan realitas
manusia yang bergolong-golongan, dan setiap golongan mempertahankan versi
kebenarannya sendiri.
Dengan maksud itulah, kajian ini
di hantarkan. Semua kembalinya kepada sidang pembaca yang di muliakan Allah
untuk menyikapinya. Tiada maksud penulis sedikitpun untuk merendahkan satu
paham dengan paham yang lain. Namun penulis mencoba untuk memberikan
pembanding, menelaah fakta ini dari frame yang berbeda. Dalam sebuah tema yang
ber tajuk SAPI BETINA.
Logika yang di kontruksi
Marilah kita eksplorasi kisah-kisah dalam Al quran, mengapakah kisah
tersebut di ceritakan kepada kita ?. Al quran telah meriwayatkan kepada kita,
kisah-kisah dimana pada masanya peristiwa tersebut terjadi. Contoh peristiwa
yang mampu mengguncangkan kesadaran manusia dan masyarakat saat itu. Dimana peristiwa
tersebut begitu hebatnya, sehingga akal mereka tak mampu menerima, maka goyahlah
keyakinan lama mereka. Masyarakat begitu terguncang, sensasi rasa yang tak
biasa. Mereka kesulitan untuk menerima
kejadian tersebut. Kejadian tersebut harus mampu dijelaskan kepada diri mereka sendiri
dan masyarakat pada saat itu. Kaum cendikiawan mereka berfikir keras meredam
gejolak yang diakibatkan peristiwa hebat tersebut. Berikutnya, mereka mencoba
memaknai, menguraikan, berandai-andai maka kemudian muncullah ber macam-macam
spekulasi manusia dalam memaknai kejadian tersebut. Cerita kemudian di kontruksi di
bingkai, untuk memuaskan jiwa.
Tarik ulur kekuatan politik, kekuatan nafsu diri manusia menguasai
orang-orang yang diberikan ilmu (baca; kekuasaan). Maka berita dan cerita
kemudian di bangun, di kontruksi lagi sedemikian rupa, di buatlah cerita, agar
masyarakat pada saat itu dalam suasana yang tetap terkendali. Agar masyarakat
tetap tenang. Padahal orang-orang yang diberikan ilmu tersebut sebenarnya tahu
firman Allah, mengerti hakekat tentang
peristiwa tersebut. Namun, sungguh sayang sekali, nafsu diri mereka agar
tetap berada dalam posisi kekuatan politiknya (baca; berkuasa) membuat mereka
mengabaikan firman Allah tersebut. Inilah
yang diisyaratkan Al qur an.
Mengambil alur tersebut, maka peranan umat Islam, seharusnya menjadi sosok peranan yang sangat sentral.
Menjadi kaum yang semestinya tidak larut dan terjebak dalam medan ‘kontruksionis’.
Umat Islam seharusnya terbebas dari beban tersebut dan mampu keluar dari ‘binding’
kesadaran kolektif yang melingkupi alam pikiran mereka. Kesadaran kolektif yang
telah mencengkeram keberanian mereka yang telah terjadi sejak berabad-abad lalu dalam setiap generasinya.
Pemikiran umat Islam
harus logis, sesuai dengan alur logika dan fitrah manusia itu sendiri, sesuai
dengan hukum-hukum yang mengikuti raga mereka. Hukum yang mengatur hidup mati
manusia. Manusia seharusnya hanya tunduk akan ini. Tunduk akan hukum-hukum
Allah. Tunduk akan firman-firman Allah. Maka manusia yang tunduk berserah diri
inilah yang di maksudkan atau di namakan oleh Al quran sebagai ‘umat Islam’. Manusia
yang tunduk berserah adalah manusia yang di pilih Allah untuk menjadi saksi
atas pertikaian setiap golongan. Sebagaimana firman Allah sbb:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan kiblat
yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata)
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan
kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. 2:143)
Umat Islam di harapkan menjadi
penengah, menjadi saksi atas kesalahan sejarah, atas kesalahan proses pemaknaan
dalam peristiwa tersebut (sebagaimana kisah-kisah dalam Al qur an). Umat Islam di harapkan adil dalam menyikapi fenomena
masyarakat terkini, menyikapi golongan-golongan yang ada. Menyikapi
orang-orang yang menjadi korban, nafsu nenek-nenek moyang mereka dengan bijak
dan adil. Nenek moyang merekalah yang sudah
meng-kontruksi berita, sehingga berita tersebut sampai ke jaman kita itu dalam
keadaan yang seperti ini. Berita yang akhirnya menjadi sebuah keyakinan.
Keyakinan yang akhirnya melahirkan agama. Agama yang telah membingkai manusia
dalam kebenaran. Menjadi keprihatinan kita umat Islam, bahwa kebenaran yang di yakini
berdasarkan dan di bangun atas sebuah cerita yang telah di kontruksi. Kebenaran
yang kemudian di golong-golongkan oleh manusia itu sendiri. Sungguhkah ini
tidak memprihatinkan kita umat Islam (?).
Umat Islam di harapkan tidak
mengulang kesalahan yang sama, yang telah di lakukan nenek moyang mereka dalam
memaknai peristiwa. Mereka di harapkan akan senantiasa berserah kepada maunya
Allah. Seluruh peristiwa seluruh kejadian adalah skenario Allah. Umat Islam
diharapkan mampu mengambil hikmah kejadian, tetap lurus dalam agamanya. Sebagaimana
Allah kemudian juga telah merubah arah kiblat umat Islam. Apakah umat Islam
mampu memetik hikmah tersebut ?. Ataukah sebagian umat Islam akan kembali
mengikuti hawa nafsu mereka ?. Mengarang dan membuat berita, mengkontruksinya
menjadi kebenaran lainnya lagi ?. Begitulah yang di isyaratkan ayat QS. 2;143
tersebut. Apakah umat Islam akan mengulang sejarah, mengulang kesalahan mereka
kembali ?. Mampukah umat Islam memetik
hikmah dengan benar ?. Tetap berimankah mereka kepada Allah dengan di rubahnya arah
kiblat ?.
Peristiwa perubahan arah kiblat
adalah peristiwa yang menggoncangkan umat Islam saat itu. Sebagaimana peristiwa
yang terjadi pada kisah-kisah Al qur an lainnya. Kisah Sapi Betina, kisah Unta
nabi Saleh as, kisah di salibnya nabi Isa as, dan juga setara dengan kisah-kisah lainnya. Kisah yang mengguncangkan jiwa manusia, kisah
yang mampu melahirkan kesadaran baru lainnya. Maka hanya manusia yang ber iman,
yang akan mampu mengambil hikmah atas kejadian tersebut. Sehingga manusia mampu
memngambil hikmah kejadian, dan berada dalam posisi yang adil atas orang-orang
yang berbeda dalam memaknai kejadian tersebut.
Itulah ruh ruh Islam, ruh yang menjadi
sebab mengapa kemudian Allah menjadikan umat ini adalah umat pilihan. Menjadi
umat yang akan menjadi saksi atas fenomena terjadinya proses perbedaan dalam
pengambilan hikmah kejadian. Menjadi saksi umat yang kemudian ber
golong-golongan sebagai akibat hal ini. Menjadi saksi atas kesalahan dalam
proses berfikir manusia, dimana
kesalahan ini telah menyebabkan manusia ber golong-golongan lagi. Inilah
sesungguhnya sikap Islam. Kesalahan berfikir para penguasa dan cendikiawan yang
kaya, yang memiliki ilmu namun dia tak mampu berserah kepada takdir. Mereka
kaum yang tidak berserah kepada Allah. Dan umat Islam menjadi saksi atas mereka
itu. Kemudian Rosululloh juga menjadi atas kita (umat Islam). Bukankah ini
anugrah yang luar biasa bagi kita umat Islam. Sungguh kenapakah kita tak
menyadari jikalau kita di muliakan-NYA. Masihkah kita sia-siakan dengan
bersikap sebaliknya ?.
Dimanakah posisi ?.
Maka menjadi tanda tanya jika
kemudian umat Islam di wacanakan untuk mengakui kebenaran golongan yang lain. (baca;
PLURALISME). Umat Islam, malahan sudah seharusnya diatas semua itu, diatas
semua golongan yang bertikai dalam memperebutkan kebenaran. Menjadi saksi atas
mereka semua itu dengan keprihatinan yang amat dalam. Sungguh mereka-mereka
adalah korban para kontruksionis cendikiawan masa lalu. Umat Islam selanjutnya
mestilah adil dalam menyikapi fenomena tersebut. Umat Islam harus bijak, arif,
sebab umat Islam telah diatas semua itu, telah dipilih oleh Tuhan yang
menciptakan manusia itu sendiri. Sekali lagi, agar menjadi saksi atas
pertikaian antar golongan yang terjadi dalam ranah kesadaran manusia. Bukannya
malahan ikut larut berebutan kebenaran dengan mereka.
Bukankah menjadi keprihatinan
kita sendiri , jika kemudian umat Islam jatuh ke lembah nista turut larut
bersama mereka (baca; golongan) memperebutkan kebenaran. Sungguh ironis, jika umat Islam malahan
bersaing dengan mereka, hingga baku hantam. Betapakah kita telah merendahkan martabat kita sendiri
yang telah di pilih oleh Allah menjadi saksi atas mereka. Bagaimanakah kejadiannya,
jika wasit sepak bola ikut bermain dan bernafsu untuk memasukkan gol ?. Mengapakah kita tidak mampu menjadi saksi
dan hakim yang adil atas mereka yang bergolong-golongan ?.
Bagaimanakah itu..?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.