Rabu, 25 April 2012

SAPI BETINA

Berawal dari pertanyaan

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kajian ini di hantarkan. Dalam kepenatan pikiran atas perbedaan. Dalam logika yang tak sama, mencoba mengambil frame yang tak biasa. Mencoba mengajak pembaca untuk melakukan eksplorasi atas sebuah berita, atas sebuah petunjuk, atas sebuah kesadaran yang telah menembus waktu, kesadaran yang membingkai peradaban dan alam pikir manusia. Kesadaran yang tengah merajai di melenium ini. Berawal dari sebuah pertanyaan. Adakah pluralisme ?. Maka kajian ini mencoba menjelaskan dari sisi seorang kontruksionis.

Sebuah realitas kejadian atau di sebut fakta, dapatlah menjadi bermacam-macam makna, tergantung siapakah pengamatnya. Setiap manusia memIliki kecenderungannya masing-masing untuk melabelkan atau memaknai apa saja atas kejadian tersebut, kembali tergantung kepada seberapa banyak referensi yang di milikinya dan tak kalah pentingnya adalah seberapa jauh kepetingan penguasa berperanan dalam pemaknaan atas terjadinya peristiwa tersebut.     

Dalam kajian sebelumnya, pluralisme  di gugat, karena realitas dalam kesadaran diri setiap individu manusia tidaklah memiiliki referensi atas pluralisme. Manusia yang mengaku tidak ber Tuhan sekalipun, nyatanya realitasnya dia tetap Memper- Tuhankan materi, jabatan, golongan, dan lain sebagainya. Maka dalam teologi Islam tidak di kenal adanya atheis. Teologi Islam hanya mengenal apakah suatu kaum ber Tuhan kepada Allah atau ber Tuhan kepada selain Allah (materi misalnya).

Manusia tidak akan mampu mengakui kebenaran pihak lain, apapun alasannya. Inilah realitas yang sering kita pungkiri, meski keadaan sesungguhnya sudah  begitu. Manusia mencoba bersembunyi dalam dirinya sendiri, mencari pembenaran atas sikapnya. Karena hubungan antar manusia mensyaratkan demikian.  Maka wacana pluralisme di sodorkan. Mencoba mengakomodasi kepentingan penguasa, agar masyarakat tidak saling berebutan kebenaran atas mereka sendiri. Agar masyarakat tidak saling baku hantam.

Maka menjadi jelas bagi kita, bahwa pluralisme adalah wacana yang tengah  di usung oleh kaum cendikiawan untuk mengatasi problematika akut, yaitu problematika perebutan kebenaran atas setiap golongan.
Bagaimana sejatinya Islam menyikapi hal ini ?. Sudah benarkan wacana pluralisme ?.
Meskikah Islam terlarut wacana ini, kemudian mengakui kebenaran golongan lainnya ?. Bagaimana selanjutnya dengan akidah umat Islam ?.
Bagaimanakah sebenarnya menyikapi keadaan ini ?.
Yaitu menyikapi fakta dan realitas manusia yang bergolong-golongan, dan setiap golongan mempertahankan versi kebenarannya sendiri.

Dengan maksud itulah, kajian ini di hantarkan. Semua kembalinya kepada sidang pembaca yang di muliakan Allah untuk menyikapinya. Tiada maksud penulis sedikitpun untuk merendahkan satu paham dengan paham yang lain. Namun penulis mencoba untuk memberikan pembanding, menelaah fakta ini dari frame yang berbeda. Dalam sebuah tema yang ber tajuk SAPI BETINA.


Logika yang di kontruksi

Marilah kita eksplorasi kisah-kisah dalam Al quran, mengapakah kisah tersebut di ceritakan kepada kita ?. Al quran telah meriwayatkan kepada kita, kisah-kisah dimana pada masanya peristiwa tersebut terjadi. Contoh peristiwa yang mampu mengguncangkan kesadaran manusia dan masyarakat saat itu. Dimana peristiwa tersebut begitu hebatnya, sehingga akal mereka tak mampu menerima, maka goyahlah keyakinan lama mereka. Masyarakat begitu terguncang, sensasi rasa yang tak biasa. Mereka  kesulitan untuk menerima kejadian tersebut. Kejadian tersebut harus mampu dijelaskan kepada diri mereka sendiri dan masyarakat pada saat itu. Kaum cendikiawan mereka berfikir keras meredam gejolak yang diakibatkan peristiwa hebat tersebut. Berikutnya, mereka mencoba memaknai, menguraikan, berandai-andai maka kemudian muncullah ber macam-macam spekulasi manusia dalam memaknai kejadian  tersebut. Cerita kemudian di kontruksi di bingkai, untuk memuaskan jiwa.

Tarik ulur kekuatan politik, kekuatan nafsu diri manusia menguasai orang-orang yang diberikan ilmu (baca; kekuasaan). Maka berita dan cerita kemudian di bangun, di kontruksi lagi sedemikian rupa, di buatlah cerita, agar masyarakat pada saat itu dalam suasana yang tetap terkendali. Agar masyarakat tetap tenang. Padahal orang-orang yang diberikan ilmu tersebut sebenarnya tahu firman Allah, mengerti hakekat tentang  peristiwa tersebut. Namun, sungguh sayang sekali, nafsu diri mereka agar tetap berada dalam posisi kekuatan politiknya (baca; berkuasa) membuat mereka mengabaikan firman Allah tersebut.  Inilah yang diisyaratkan Al qur an.

Mengambil alur tersebut, maka peranan umat Islam, seharusnya  menjadi sosok peranan yang sangat sentral. Menjadi kaum yang semestinya tidak larut dan terjebak dalam medan ‘kontruksionis’. Umat Islam seharusnya terbebas dari beban tersebut dan mampu keluar dari ‘binding’ kesadaran kolektif yang melingkupi alam pikiran mereka. Kesadaran kolektif yang telah mencengkeram keberanian mereka yang telah terjadi sejak  berabad-abad lalu dalam setiap generasinya.

Pemikiran umat Islam harus logis, sesuai dengan alur logika dan fitrah manusia itu sendiri, sesuai dengan hukum-hukum yang mengikuti raga mereka. Hukum yang mengatur hidup mati manusia. Manusia seharusnya hanya tunduk akan ini. Tunduk akan hukum-hukum Allah. Tunduk akan firman-firman Allah. Maka manusia yang tunduk berserah diri inilah yang di maksudkan atau di namakan oleh Al quran sebagai ‘umat Islam’. Manusia yang tunduk berserah adalah manusia yang di pilih Allah untuk menjadi saksi atas pertikaian setiap golongan. Sebagaimana firman Allah sbb:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan  agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. 2:143)

Umat Islam di harapkan menjadi penengah, menjadi saksi atas kesalahan sejarah, atas kesalahan proses pemaknaan dalam peristiwa tersebut (sebagaimana kisah-kisah dalam Al qur an).  Umat Islam di harapkan adil dalam menyikapi fenomena masyarakat terkini, menyikapi golongan-golongan yang ada. Menyikapi orang-orang yang menjadi korban, nafsu nenek-nenek moyang mereka dengan bijak dan adil. Nenek moyang merekalah  yang sudah meng-kontruksi berita, sehingga berita tersebut sampai ke jaman kita itu dalam keadaan yang seperti ini.   Berita yang akhirnya menjadi sebuah keyakinan. Keyakinan yang akhirnya melahirkan agama. Agama yang telah membingkai manusia dalam kebenaran. Menjadi keprihatinan kita umat Islam, bahwa kebenaran yang di yakini berdasarkan dan di bangun atas sebuah cerita yang telah di kontruksi. Kebenaran yang kemudian di golong-golongkan oleh manusia itu sendiri. Sungguhkah ini tidak memprihatinkan kita umat Islam (?).

Umat Islam di harapkan tidak mengulang kesalahan yang sama, yang telah di lakukan nenek moyang mereka dalam memaknai peristiwa. Mereka di harapkan akan senantiasa berserah kepada maunya Allah. Seluruh peristiwa seluruh kejadian adalah skenario Allah. Umat Islam diharapkan mampu mengambil hikmah kejadian, tetap lurus dalam agamanya. Sebagaimana Allah kemudian juga telah merubah arah kiblat umat Islam. Apakah umat Islam mampu memetik hikmah tersebut ?. Ataukah sebagian umat Islam akan kembali mengikuti hawa nafsu mereka ?. Mengarang dan membuat berita, mengkontruksinya menjadi kebenaran lainnya lagi ?. Begitulah yang di isyaratkan ayat QS. 2;143 tersebut. Apakah umat Islam akan mengulang sejarah, mengulang kesalahan mereka kembali ?. Mampukah umat Islam memetik hikmah dengan benar ?. Tetap berimankah mereka kepada Allah dengan di rubahnya arah kiblat ?.

Peristiwa perubahan arah kiblat adalah peristiwa yang menggoncangkan umat Islam saat itu. Sebagaimana peristiwa yang terjadi pada kisah-kisah Al qur an lainnya. Kisah Sapi Betina, kisah Unta nabi Saleh as, kisah di salibnya nabi Isa as, dan juga  setara dengan kisah-kisah lainnya.  Kisah yang mengguncangkan jiwa manusia, kisah yang mampu melahirkan kesadaran baru lainnya. Maka hanya manusia yang ber iman, yang akan mampu mengambil hikmah atas kejadian tersebut. Sehingga manusia mampu memngambil hikmah kejadian, dan berada dalam posisi yang adil atas orang-orang yang berbeda dalam memaknai kejadian tersebut.

Itulah ruh ruh Islam, ruh yang menjadi sebab mengapa kemudian Allah menjadikan umat ini adalah umat pilihan. Menjadi umat yang akan menjadi saksi atas fenomena terjadinya proses perbedaan dalam pengambilan hikmah kejadian. Menjadi saksi umat yang kemudian ber golong-golongan sebagai akibat hal ini. Menjadi saksi atas kesalahan dalam proses berfikir manusia, dimana  kesalahan ini telah menyebabkan manusia ber golong-golongan lagi. Inilah sesungguhnya sikap Islam. Kesalahan berfikir para penguasa dan cendikiawan yang kaya, yang memiliki ilmu namun dia tak mampu berserah kepada takdir. Mereka kaum yang tidak berserah kepada Allah. Dan umat Islam menjadi saksi atas mereka itu. Kemudian Rosululloh juga menjadi atas kita (umat Islam). Bukankah ini anugrah yang luar biasa bagi kita umat Islam. Sungguh kenapakah kita tak menyadari jikalau kita di muliakan-NYA. Masihkah kita sia-siakan dengan bersikap sebaliknya ?.

Dimanakah posisi ?.

Maka menjadi tanda tanya jika kemudian umat Islam di wacanakan untuk mengakui kebenaran golongan yang lain. (baca; PLURALISME). Umat Islam, malahan sudah seharusnya diatas semua itu, diatas semua golongan yang bertikai dalam memperebutkan kebenaran. Menjadi saksi atas mereka semua itu dengan keprihatinan yang amat dalam. Sungguh mereka-mereka adalah korban para kontruksionis cendikiawan masa lalu. Umat Islam selanjutnya mestilah adil dalam menyikapi fenomena tersebut. Umat Islam harus bijak, arif, sebab umat Islam telah diatas semua itu, telah dipilih oleh Tuhan yang menciptakan manusia itu sendiri. Sekali lagi, agar menjadi saksi atas pertikaian antar golongan yang terjadi dalam ranah kesadaran manusia. Bukannya malahan ikut larut berebutan kebenaran dengan mereka.

Bukankah menjadi keprihatinan kita sendiri , jika kemudian umat Islam jatuh ke lembah nista turut larut bersama mereka (baca; golongan) memperebutkan kebenaran. Sungguh ironis, jika umat Islam malahan bersaing dengan mereka, hingga baku hantam. Betapakah kita telah merendahkan martabat kita sendiri yang telah di pilih oleh Allah menjadi saksi atas mereka. Bagaimanakah kejadiannya, jika wasit sepak bola ikut bermain dan bernafsu untuk memasukkan gol  ?. Mengapakah kita tidak mampu menjadi saksi dan hakim yang adil atas mereka yang bergolong-golongan ?.  

Bagaimanakah itu..?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.