Perjalanan panjang, melewati
malam, menembus lorong peradaban manusia, yang terlupa. Peradaban yang terus menembusi
lorong waktu. Hingga kini, dalam kesadaran manusia tinggal-lah sisa-sisa. Bekas
sebuah peristiwa besar yang menggurat teramat
dalam pada kesadaran manusia. Peristiwa yang
menghentakkan akal dan kesadaran masyarakat pada saat itu. Peristiwa yang tidak
logis, menabrak teori dan logika manusia. Peristiwa yang pada masanya, akhirnya
menimbulkan gelombang besar pemikiran dalam
ranah teologi manusia. Sampailah sudah di jaman kita ini.
Sungguh sulit memaknai, hingga
kini, manusia tertatih tatih menetapi,
mencari kisi-kisinya. Mencoba keluar dari ‘binding’
namun diri sudah tak mampu lagi. Begitu kuatnya cengkeraman kesadaran kolektif
yang meliputi diri tiap manusia. Di sebabkan peristiwa tersebut sungguh dahsyat
mendobrak kesadaran manusia pada saat itu. Sungguh hingga kinii bekasnya masih
tersisa, dalam kesadaran manusia, dalam ranah teologi.
Kini manusia sulit menetapi. Hingga
manusia sendiri kadang sudah tak mengerti berada di kisi manakah diri nya ini.
Bahkan mungkin juga , manusia menjadi sudah
tak peduli lagi, jika keadaan dirinya
kini tengah terjebak dalam labirin
kesadaran yang dibuat oleh nenek moyang-nenek moyang mereka terdahulu. Kesadaran
itu menembus waktu menerobos setiap generasi, peradabannya hingga kini, menetap
dalam otak manusia, meliputi diri anak
manusia. Kesadaran yang sudah terbentuk begitu, jauh sebelum peradaban manusia itu sendiri dan jauh sebelum baca tulis dapat
di pahami. Kesadaran yang telah melahirkan problematika hingga kini, kesadaran
yang kini manusia menyebutkannya dengan PLURALISME.
Peristiwa-peristiwa besar, kita catat telah melahirkan pemahaman pemikiran dan peradaban
manusia, berikut dengan kesadaran
kolektifnya. Dimana kesadaran tersebut pada gilirannya, telah melahirkan agama-agama di muka bumi ini.
Sebut saja peristiwa di hidupkannya seorang pembesar negri, oleh sebab dirinya di
pukul dengan anggota tubuh SAPI BETINA. (Di abadikan dalam Al qur an surah Al Baqoroh).
Peristiwa yang menggurat kesadaran manusia lagi.
Pemaknaan yang kurang pas
melahirkan pemahaman baru lainnya, begitulah kejadiannya. Peristiwa tersebut,
sungguh telah menyentak-kan kesadaran masyarakat pada saat itu. Bagaimanakah
seekor SAPI mampu menghidupkan seeorang manusia yang telah mati. Hanya dari
potoingan tubuhnya lagi, bagaimana itu (?). Sungguh tak masuk di akal. Kesadaran kolektif
masyarakat pada saat itu tak mampu menerima kenyataan itu. Mereka tak sanggup
berfikir lebih dalam. Mereka tak mampu merasakan adanya Dzat yang mengatur sebab
kejadian tersebut. Maka manusia kemudian menciptakan imajinasinya sendiri. Akhirnya
lahirlah pemahaman dan kesadaran adanya dewa-dewa, berikut dengan binatang
tunggangannya yang di anggap sakti. Bukannya manusia mengakui akan kebesaran
Tuhannya dengan adanya kejadian yang nampak terpampang di depan matanya. Ternyata
bekerjanya sistem kesadaran manusia
malahan justru sebaliknya. SAPI tersebut
yang akhirnya justru menjadi binatang sakti yang di puja-puja. Seekor SAPI
BETINA akhirnya di anggap sebagai dewa pula. Peristiwa ini melahirkan gelombang
pemikiran yang menyerbu manusia pada saat itu, lahirlah sebuah agama baru dalam
ranah teologi saat itu. (Proses berfikir model seperti ini masih sering terjadi
pada masyarakat sekarang ini).
.
Peristiwa besar lainnya. Peristiwa
di salibnya seorang nabi yang sangat di kasihi umatnya. Peristiwa ini menyisakan
kepiluan yang amat dahsyatnya dalam nurani manusia. Dalam kesadarannya manusia
tidak mengakui dan tidak mau menerima kenyataan itu. Seorang manusia yang
begitu baik, yang sanggup menghidupkan orang mati, yang sanggup menyembuhkan
segala macam penyakit. Seorang manusia yang sangat ideal pada masanya itu. Mengapakah
kematiannya begitu tragisnya. Alam
kesadaran manusia menolak itu. Jiwa mereka memberontak atas kejadian itu.
Mereka tidak mau menerima takdir Allah. Bukan begitu nasib orang baik
seharusnya. Mereka tidak terima. Hati mereka memberontak. Jiwa berteriak
lantang. Menggugat takdir !. Gelombang pemikiran penentangan begitu dahsyat
merambah bagai gelombang kejut menerjang apa saja, menjungkir balikkan akal dan
logika. Melahirkan agama baru, peradaban baru, dan kesadaran baru dalam teologi
manusia. Akhirnya manusia yang nabi diposisikan sebagai TUHAN. “Begitulah tempat semestinya bagi manusia
yang baik . “ kata sang jiwa. Jiwa
mereka tenang dengan pemahaman itu.
Sama halnya kejadiannya, ketika
terjadi peristiwa besar dalam perang Sifin. Peristiwa terbunuhnya cucu
Roasululloh dari Ali bin Abi Tholib. Telah membekaskan kesadaran yang serupa
kejadiannya dengan peristiwa penyaliban nabi Isa. Peristiwa yang mana telah mlahirlah pemahaman baru dalam
peradaban Islam yang senada dengan pendahulu mereka kaum nasrani. Penyangkalan
kepada takdir melahirkan kesadaran yang lain. Akal kembali mereka-reka jalan
cerita, mengubah disana sini, mecari pembenaran agar Jiwa mereka yang tersakit
mampu tenang. Dengan pemahaman begitu jiwa mereka menjadi tenang. Maka Ali di
letakkan dalam posisi yang luar biasa di mata mereka. Mengalahkan para sahabat
lainnya. Senada dengan bagaimana
peristiwa di salibnya Nabi Isa. Kisah yang memilukan, telah mempengaruhi
kesadaran manusia. Mereka tak mau mendengar alasan apapun. Hati yang tersakiti,
jiwa yang nelangsa akan mencari dan terus mencari. Akal akan membuat-buat
rekaan jalan cerita agar iwa puas.
Begitulah bekerjanya sistem
kesadaran manusia. Ketika kita menolak dan tidak mau mengakui dan menerima takdir
pada dirinya. Maka jiwa akan meliar, angan akan ber imajinasi, bekerja tak
henti mempertanyakan semuanya. Jiwa akhirnya merangkai-rangkai kejadian
seenaknya, sebab jiwa tak mampu menerima keadaan yang tidak dapat diterima akal
mereka. Maka jiwa akan mencari enaknya agar dirinya tenang. Akal akan merujuk
apa saja rekaan cerita yang menenangkan jiwa. Akhirnya akal mencari-cari rekaan
sesuatu yang mampu menenangkan jiwa. Ya..akal kemudian akan berkata kepada
jiwa. Merangkai kejadian peristiwa penyaliban nabi Isa as, itu sesuka mereka. Hal yang juga sejalan
ceritanya dengan perlakuan golongan Syiah kepada keluraga Ali bin Abi Tholib. Merangkai
peristiwa terbunuhnya Hasan dan Husein dalam rangkaian cerita tersendiri. Membuat-buatnya
agar mampu diterima jiwa mereka. Maka kita dapati pemahaman TRINITAS dalam
kesadaran teologi manusia, dan sejalan ceritanya dengan pemahaman Syiah dalam
peradaban Islam.
Maka kajian-kajian berikutnya
akan mencoba menguak kembali, kisi-kisi kesadaran manusia, yang terlupa,
peristiwa maha dahsyat yang telah melahirkan peradaban. Melahirkan
agama-agama besar di muka bumi ini. Maka pertanyaan berlanjut ADAKAH PLURALISME ?.
Dan
(ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh-menuduh
tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu
sembunyikan. (QS. 2:72)
Lalu
Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina
itu!". Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati,
dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti 64.
(QS. 2:73)
Kemudian setelah
itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.
Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai
daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air
daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut
kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
(QS. 2:74)
Apakah kamu masih
mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka
mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya,
sedang mereka mengetahui 65?
(QS. 2:75)
Dari pedalaman Kalimantan Timur, kajian selanjutnya di sajikan.
Salam
Arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.