Rabu, 25 April 2012

hakekat keberadaan dirI di muka bumi ini.


Rasa demi rasa telah dipergilirkan, satu demi satu. Setiap diri yang ditimpa rasa mengalami badai rasa yang memabukkan.
Akan diulang dan diulang, menjadi sebuah pelajaran. Agar setiap diri mau kembali. Agar mau kemabli kepada Tuhannya.
Agar mau menyadari hakekat keberadaan dir di muka bumi ini.

Kisah yang dibaca di hadapan pembaca ini seolah sangat panjang. Namun sebetulnya justru sangat singkat dan padat.
Karena kisah ini sebetulnya hanya menceritakan tentang satu hal saja, yaitu: Khusu'. berkisah tentang bermacam-macam rasa,
yang ke semuanya mengarah ke satu hal saja, yaitu Khusu'.

Kisah ini kalau diceritakan memang bisa sangat panjang. Namun kalau diringkas juga sangat ringkas, hanya satu kata saja yaitu: Khusu'.
Apakah khusu'?.
Yaitu orang yang "meyakini" bertemu Tuhan. Sedang berhadapan dengan Tuhan. Sedang menghadapkan wajahnya ke wajah Tuhan.
Atau disebut dengan Ihsan. Orang yang khusu' adalah orang yang ber-ihsan. Meyakini pertemuan dengan Tuhan tidak saja nanti
di hari akhir, tetapi juga disini, di saat ini.

Kisah ini lalu menceritakan perbedaan rasa orang yang khusu' dan orang yang tidak khusu'. Yaitu orang yang silatun kepada Allah dan
orang yang sebaliknya. Bagaimana mengenali rasanya orang yang silatun dan bagaimana rasanya orang tidak.
Sangat sederhana dan sedemikian sederhananya untuk menjadi tenang, menjadi bahagia, yaitu dengan khusu'.

telah pula diceritakan bagaimana berlatih khusu'. Yaitu berlatih dengan "sholat". Pelajaran dalam sholat akan mengantarkan setiap diri
untuk mengenal khusu'. Lalu mampu membedakan khusu' dengan tidak khusu'.

Membedakan rasa, ya memang itu saja, yaitu bagaimana membedakan kedua rasa ini. Pertama tentu saja dengan mengamati dan mengenali.
Maka proses pengenalan menjadi sangat penting. Semakin mengenal maka akan semakin menguatkan Sang Pembeda.
Akan membangkitkan sang pembeda. Yaitu Bashiroh. Yaitu sesuatu dalam diri yang mampu membedakan baik dan buruk.
Kemudian meningkatkan kepekaan dan ketajaman rasanya.

Sebetulnya setiap diri kita telah sangat sering mengenal dan sering pula menggunakan, namun biasanya hanya digunakan pada salah satu sisi.
Kita dengan mudahnya mengatakan atau membedakan: Bahwa saya tidak khusu'. Namun kita tidak pernah kenal yang khusu' itu yang bagaimana.

Kita sering dengan mudah membedakan emosi jiwa dan mengatakan, saya tidak bahagia, namun kita tidak mengenal seperti apa bahagia itu.
Kita dengan mudah mengatakan atau mengenal saya gelisah dan cemas, namun sangat sulit mengenal rasa tenang, dan damai.
Kita dengan mudah mengenal rasa marah kecewa dan dendam. Namun sangat sulit mengenal shabar, tawakal dan maaf.

Begitulah, sangat sering hanya mengenal satu sisi saja.
maka perlu latihan demi latihan untuk meningkatkan kualitas kepekaan sang pembeda atau kemampuan membedakannya
yaitu dengan membangun kahyangan
ketika kahyangan terbangun maka dengan sendirinya sang pembeda mampu mengenal semua rasa dengan mudah

padahal banyak sisi yang lain juga sering kita rasakan, misalnya ketenangan, kegembiraan, kebahagiaan, kedamaian, keindahan,
puas, ridho dan ikhlas, namun biasanya rasa-rasa ini hanya melintas sekilas dan lenyap dengan segera

Rasa khusu' ini akan membuat semua rasa ini menetap seterusnya dalam jiwa, setiap ada rasa khusu' maka rasa-rasa di atas
akan mampu dimasuki dengan segera, karena ke semua rasa ini telah menjadi sebuah kahyangan rahsa yang akan siap dimasuki kapan saja kita mau.

Maka proses perjalanan ruhani atau penyucian jiwa ini adalah membangkitkan sang pembeda, yang akan mengenal segala rasa
lalu akan mudah membedakan mana jalan kebaikan dan jalan keburukan dan dengan menggunakan daya dari Tuhan
untuk mengikuti jalan kebaikan, ya ... dengan daya dorong dari dalam
bukan menggunakan kekuatan diri tetapi menggunakan daya langsung dari ruh (daya hidup)
sehingga proses yang dilakukan adalah merupakan proses alami
selanjutnya semua ritual ibadah akan merupakan kegiatan yang sangat alamiah
seperti halnya makan, minum dan bernafas, yang akan dilakukan secara otomatis dan ringan.

kesimpulan dari lingkaran pelajaran ini semakin menekankan pentingnya sholat. Yaitu sholat yang khusu'.
Selanjutnya akan menggunakan khusu ini dalam realitas dan kehidupan sehari-hari.

Ketika rasa khusu ini hadir setiap saat, maka ketenangan, kedamaian, kebahagian yang sejati akan menetap
dan berada dalam jiwa terus, rasa yang akan teramati sangat lama.
Selain itu rasa ini akan meningkat sedikit demi sedikit
seumpama candu yang memabukkan
sehingga membetot jiwa untuk kembali merasakan ini


Untaian cuplikan rasa

Pembahasan mengenai kahyangan rahsa ini sangat sulit, karena masing-masing diri berada dalam rasa yang berbeda.
Pengajaran akan rahsa ini akan sangat individu. Pemahaman akan rahsa ini juga sangat pribadi.
Maka cobalah untuk membaca cuplikan berikut ini, semoga akan mampu merasakan apa yang penulis rasakan atas pemahaman rahsa ini.
Dan juga cuplikan ini untuk menguatkan dan memberi gambaran yang lebih luas mengenai rahsa-rahsa ini.
 


Berikut ini cuplikan beberapa tulisan
{
Abu Sangkan ......
Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat 49:14). Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan "Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah ". Tentang hadits yang terkenal yang menggambarkan pengertian masing-masing Islam, iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman Allah,
"Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah" (QS. Fathir35:32).

Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah (muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi "pelomba" atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat seorang muhsin.

Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyah, tt.], hal. 11).

Pada saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam" bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam Kitab Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan:
"Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3:19).

Maka selain dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam, perkataan al-Islam dalam firman ini bisa diartikan secara lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya, yaitu "pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah dasar pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa disimpulkan dari firman Nya.
Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang dzalim. Dan nyatakanlah kepada mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua pasrah kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).
....................................
 
Dari: Deka ...
Hasil memahami Al Qur’an tadi apa.........?

Hasilnya adalah pengetahuan yang akan membuat kita bertasbih dan bersyukur kepada ALLAH. Sehingga semua praktek Islam itu menjadi RAHMATAN LIL ALAMIN.
Gabungan semua keahlian-keahlian diataslah yang diminta oleh Allah dipunyai oleh sebuah bangsa atau umat sehingga mereka bisa menjalankan fungsi kekhalifahan di dunia ini.
Tapi khalifah bukan konsep khilafah menurut konsep Hizbut Tahrir, NII, dan sejenisnya lho yang saya maksudkan disini (lihat juga nanti artikel tentang kekinian daulah).
Kalau semua sudah dipunyai dan diamalkan, maka baru kita bisa berkoar-koar untuk memboikot produk Amerika dan konco-konconya. Kalau belum weleh-weleh...... itu namanya cuma ngomong doang.
 
Jadi AHLI Al Qur'an itu adalah ahli fisika, ahli kimia, dokter, ahli akunting, ahli psikologi, ahli politik, ahli sosial, ahli budaya, ahli managemen, ahli SDM, ahli perang, dsb.
Lalu ahli-ahli ini mewarnai kepiawaiannya dengan "tuntunan dan bimbingan" ALLAH.
Ini sebenarnya yang terpenting. Sehingga dia dengan keahliannya itu tidak berani menganiaya orang lain, dia hanya ingin menjadi bermanfaat bagi orang lain.
 
Jadi ahli Al Qur’an itu bukanlah hanya sekedar seorang ahli satra Arab dan ahli fikih, yang dalam istilah kita sekarang lalu disebut ULAMA. 
Lalu dengan titel ulama ini dia ingin membatasi dan mengatur gerak maju ahli-ahli ilmu realitas diatas dengan pengetahuan sastra Arab dan fiqihnya.
Sudahlah begitu, dia begitu mudah menjatuhkan hukum sesuai dengan pemahaman dia yang sumbernya juga masih berupa literatur masa lalu. M
asih mending kalau literaturnya keluaran tahun-tahun terakhir. Tapi kebanyakannya walau keluaran terakhir, tetapi usungannya masih sesederhana zaman dahulu kala itu.
 

Begitu juga dalam pengajaran melalui kitab-kitab tua, misalnya Riyadus Shalihin, buku-buku tasawuf yang banyak beredar dipasaran, Risalah Qusayriyah, dsb.
Semua buku-buku itu memuat begitu banyak hadist dan bahasan ulama-ulama terdahulu yang indah-indah.
Dari pengajian ke pengajian, dari peringatan ini keperingatan itu, materi yang diberikan nyaris sama dengan materi ratusan tahun yang lalu.
Itu-itu saja yang diulang-ulang.  Tapi disitulah......sedihnya, sifatnya hanya teori saja, semua hanya wacana saja.
Prakteknya sungguh tertatih-tatih. Karena sekedar wacana memang sangat jauh beda dengan sebuah praktek.
 
Akan tetapi pengetahuan tentang hadist itu lewat bacaan itu tidak mampu membuat orang lalu menjadi sabar, takwa, khusyu, beriman yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu sebagai jalan keluarnya saya mohon pertolongan saja kepada Allah untuk diajarkan-Nya menjadi orang yang sabar, takwa, rendah hati, khusyu',
dan berbagai kondisi kerohanian yang di beritahu oleh Al Qur’an. Begitu Allah mengajarkan HAL diatas kepada kita, karena DIA memang RABBI (PENGAJAR) 'ALAMIN (alam semesta),
maka insya Allah kita akan senyum-senyum saja mengiyakan bahan bacaan atau pengajian mengenai sabar itu, takwa itu, tawakal itu, khusyu' itu. Karena ternyata aktualitas itu memang indah sekali.
 
Jadi menurut analisa saya, selama ini umat Islam belum belajar tentang Al Qur’an dan keislaman yang sesungguhnya.
Kita baru belajar dan diajar tentang seni SASTRA Arab, dan hukum-hukum (fikih) yang berbau Islam.
Cilakanya ini malah sudah berlangsung dari ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Dan pelajaran-pelajaran itu sayangnya malah menjauhkan kita dari pengertian INSAN KAMIL yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.