Tanggal 9 Februari lalu Indonesia memperingati Hari Pers Nasional ke-65. Umur yang sudah tua, seharusnya sudah matang, arif, bijaksana. Bicara tentang reformasi pers pun, dimana pers tak lagi terkekang dan sudah bebas, juga telah dijalani selama 11 tahun. Usia puber, menginjak remaja. Nah, di sinilah ujiannya. Remaja masih suka mencoba-coba, sedikit ngawur, menikmati kebebasan hingga kebablasan.
Banyak isu di Indonesia disikapi oleh media massa dengan sikap ‘asal bebas’. Yang terbaru adalah isu Ahmadiyah. Media massa begitu bebas memberitakan, termasuk menayangkan gambar-gambar sadis kekerasan. Padahal ini melanggar Standar Program Siaran dan Kode Etik Jurnalistik. Media juga dengan bebas memilih narasumbernya; meskipun ada narasumber yang kurang mengerti persoalan, tak memiliki kompetensi di isu ini, bahkan berkecenderungan memanas-manasi. Ucapan atau kutipan narasumberpun dimuat dan ditayangkan sebebas-bebasnya. Tak ada filter.
Setelah menikmati kebebasan pers yang nyaris tanpa batas dalam pemuatan dan penanyangan isu-isu Ahmadiyah, toh masih ada tanya yang tersisa. Ada tanya yang tak terjawab. Pers bisa saja berkilah: jawaban bukan tugas kami. Tapi pers terlanjur mengangkat hal-hal meragukan, hal-hal membingungkan. Lalu tak hendak membantu publiknya untuk mendapatkan jawaban, untuk mengerti. Publik tak butuh sekadar news, publik butuh the truth. Bukan sekadar kabar, tetapi kabar kebenaran. Pers bukan otoritas penemu/penentu kebenaran, namun pers wajib menjalani prosedur jurnalistik yang benar untuk mengungkapkan kebenaran.
Tak pernah ada narasumber atau rujukan yang dapat mendefinisikan dengan jelas, apa yang dimaksud dengan “menodai agama”. Tanpa definisi jelas yang disepakati seluruh rakyat Indonesia, persoalan “menodai agama” ini akan terus menjadi bulan-bulanan kepentingan. Sebagian orang mengatakan Ahmadiyah jelas menodai agama. Sebagian lainnya mengatakan tidak. Sebagian dari yang mengatakan tidak ini bukan umat Muslim, atau Muslim yang menganut aliran liberal. Media massa memberi orang-orang ini wadah yang seluas-luasnya; sementara di lain pihak, suara kaum penegak syariah, termasuk lembaga negara resmi semacam MUI, dikesampingkan, dibungkam, atau bahkan dijadikan bahan ejekan. Ujung-ujungnya: bubarkan MUI!
Kemudian, tak pernah ada diskusi serius, di media atau di forum-forum ilmiah akademik, apakah Ahmadiyah termasuk islam, atau bukan islam, atau perusak islam. Kalau saja jelas Ahmadiyah bukan islam, memang umat muslim tak perlu ribut. Mereka bebas menganut agamanya, yaitu agama Ahmadiyah. Masalahnya, informasi dasar ini saja tidak pernah jelas. Umat Ahmadiyahnya sendiri tak pernah jelas mengidentifikasi diri: apakah dirinya islam atau bukan islam. Sementara orang-orang di luar dirinya sibuk membelanya atau menyerukan pemusnahannya, umat Ahmadiyah baik-baik saja dalam ketidakjelasan identitas dirinya.
Media massa dan para narasumbernya juga telah melangkah lebih jauh dalam hal menyesatkan pemahaman publik. Selalu saja diperdebatkan antara “benarkah Ahmadiyah menodai islam” dengan “kita harus anti-kekerasan”. Atau narasumber ulama (mengerti Islam) dihadapkan dengan narasumber aktivis HAM. Ini dua hal yang bukan apple to apple. Tak setara. Gak nyambung. Di berbagai mailing list, ketika ada yang mempertanyakan tentang identitas Ahmadiyah, ada saja yang menyerang: “Islam atau bukan, tetap saja tak boleh ada kekerasan. Anda mendukung kekerasan ya?!”
Sungguh tidak adil, dan tidak nalar. Mempertanyakan status dan identitas Ahmadiyah, ditabrakkan dengan fenomena kekerasan, dan perjuangan menegakkan HAM. Ini akal-akalan golongan tertentu yang memang suka berbelit-belit, berkilah, membingungkan, menyesatkan.
Terakhir, media massa tak cukup gigih untuk terus menelusuri dan menyajikan jawaban atas kejanggalan-kejanggalan kejadian Cikeusik. Siapakah perekam gambar kekerasan? Dari pihak mana? Motivasinya apa? Bagaimana dia bisa berada di barisan penyerang, lalu merekam (mendokumentasikan) serangan dan tindak kekerasan, bila dia orang Ahmadiyah? Dia tampak dikenal oleh para penyerang. Bila dia bukan orang Ahmadiyah, kok tega dia merekam kekerasan sadis itu menimpa rekannya sendiri, bukannya mencegah atau lapor polisi, atau ikut berperang mempertahankan diri. Kejanggalan ini terlepas dari penelusuran media, sebagaimana fakta adanya penduduk setempat yang juga menjadi korban serangan Ahmadiyah.
Saat ini polisi telah menahan 8 tersangka, salah satunya adalah perekam gambar. Banyak dongeng bersliweran tentang orang yang menggunakan nama inisial A ini. Sebagian media menulis dia anggota Ahmadiyah, namun tanpa pertanyaan atau penelusuran kritis tentang motif tindakannya. Orang ini dibela habis-habisan oleh Komnas HAM, disembunyikan, tak boleh diwawancarai, dengan dalih nyawanya terancam.
Nyawanya terancam oleh siapa? Tak mungkin oleh Ahmadiyah, kan? Bukankah gambarnya berhasil memotret kesengsaraan dan penderitaan Ahmadiyah di mata dunia? (Mungkin image yang sengaja dibentuk). Terancam oleh golongan penyerang? Tak mungkin juga. Bukankah penyerang tahu mereka direkam, memberi ijin, bahkan memberi hormat? Lalu, siapa yang dikatakan akan mengancam nyawa sang perekam?
Bisa jadi, ini kilah atau rekayasa untuk menggagalkan terungkapnya kebenaran. Saksi mata, pelaku, narasumber primer, disembunyikan dari mata publik. Publik tak akan pernah tahu kebenarannya. bahkan publik diduga akan mengancam jiwanya! Publik hanya akan mendapatkan kutipan-kutipan resmi kepolisian, narasumber langganan media yang diperoleh tanpa susah payah.
Ya, ada banyak sekali kejanggalan dan pertanyaan. Tugas media mestinya menjadi pelita di kegelapan. Atau obor di rimba gelap gulita. Jangan sampai media malah menjadi kompor, mengadu domba, mengais yang tak perlu, mengubur kebenaran di balik retorika para narasumber tokoh yang berkepentingan sama: melanggengkan keadaan chaos di negeri ini.
Sirikit Syah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.