Jumat, 25 Maret 2011

Mengapa pada Akhirnya Kita Tetap akan Nonton Film Hollywood di Bioskop (dan Film Nasional Tak Membaik)?

SEJATINYA, segala gonjang-ganjing ancaman distribusi film Hollywood di-stop dari bioskop adalah perang dagang.

Sang pedagang mengancam takkan lagi menjual dagangan mereka bila si pembeli memberlakukan aturan ribet yang buat mereka tak masuk akal. Jika sudah begitu sebetulnya saat ini tinggal adu kuat antara si pedagang dan pembeli.

Nah, sejatinya pula, pedagang dan pembeli saling membutuhkan. Pedagang butuh dagangannya laku, pembeli butuh barang yang didagangkan. Dari prinsip ini saya yakin pada akhirnya, kita akan tetap bisa menonton film impor baik dari Hollywood atau non-Hollywood.

business-film-holl

Tabel perbandingan pendapatan film Hollywood dari Amerika Utara (North America) dengan luar Amerika (rest of world). (sumber: Economist)
Di majalah Economist edisi 17 Februari, muncul tulisan "Hollywood Goes Global: Bigger Abroad" untuk menandai saat ini pasar utama Hollywood bukanlah di Amerika Utara tempat mereka berkandang, tapi justru di luar negeri. Menurut Economist, pada dekade lalu pendapatan Hollywood dari box office dalam negeri hanya naik sepertiga sedang pendapatan dari luar negeri berlipat-lipat (lihat tabel). Berkat film Harry Potter, Sherlock Holmes, dan Inception, Warner Bros. menghasilkan AS$ 2,93 miliar dari luar Amerika Utara tahun lalu, memecahkan rekor tahun sebelumnya AS$ 2,24 miliar. Angka penjualan DVD yang turun di Amerika, membuat studio-studio makin bergantung pada pasar luar negeri.

Film-film yang tak laris di Amerika seperti Prince of Persia dan The Chronicles of Narnia: the Voyage of the Dawn Treader mengandalkan pemasukan dari luar negeri. Film Jack Black Gulliver’s Travels hanya menghasilkan AS$42 juta di Amerika, tapi dibantu ppularitas film itu di Rusia dan Korea, filmnya meraup AS$150 juta. Contoh lain, Avatar jadi film paling laris sepanjang sejarah juga berkat pemasukan AS$ 2 miliar dari luar Amerika.

Hollywood menghasilkan uang lebih banyak dari luar negeri karena 3 faktor, kata Economist. Pertumbuhan bioskop yang pesat di negara-negara berkembang, Hollywood yang menyesuaikan diri membuat film-film yang bakal disukai di luar Amerika, dan kegiatan marketing global untuk memasarkan film.

Nah, jika sudah tahu Hollywood bergantung pada pasar di luar negeri, mestinya sih pemerintah bisa lebih keras menggertak. Namun, sepertinya itu takkan dilakukan. Pada Minggu (20/2) kemarin, Menbudpar Jero wacik sudah memastikan film impor masih bisa tayang dan masalah pajak film impor masih dibahas.

Sekali lagi kita tak bisa menunjukkan posisi tawar yang kuat pada importir Hollywood.

Kemudian, momentum ini sepertinya takkan memberi perbaikan berarti bagi film nasional. Memang, Jero Wacik juga menginginkan pajak pada film nasional bisa nol persen. Tapi, dalam sejarah, keinginan itu tak pernah terwujud. Pada 1970-an ada menteri yang ingin menghentikan film impor, tapi yang kemudian terjadi aturan pembatasan yang dirasa ringan-ringan saja. Film impor tetap deras masuk.

Saya yakin janji pemberlakuan nol persen pada pajak film nasional nantinya tinggal janji. Berbagai barang yang diperlukan untuk membuat film tetap akan tambah mahal karena dikenai pajak ini-itu. Kemudian, uang pajak itu rasanya takkan pernah dikembalikan pada perbaikan film nasional.

Tengok saja hari ini, apa pernah pemerintah aktif membantu perfilman nasional seperti membangun sekolah film, museum film, komunitas pecinta film, mendanai proyek film idealis, atau festival film yang berkelas. Kalau pun semua itu ada saat ini, kebanyakan lahir dari kecintaan masyarakat pada film—bukan atas campur tangan pemerintah.

Lalu, masalah distribusi film yang seharusnya dibenahi karena ditengarai mengandung praktek monopoli sepertinya takkan disentuh gara-gara masalah ini.

Sebab, buat pemerintah, masalah ini akan dikotakkan pada masalah tafsir aturan perpajakan. Bukan pada momentum pembenahan perfilman nasional.

Semuanya saya yakin akan segera kembali normal. Kita bisa nonton lagi film Hollywood, bersama film-film pocong, kuntilanak, Jupe, dan Depe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.