Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota
Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open
school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin
seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya
sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.
Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di
Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat
proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena
saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari
bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.
Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu,
bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat
kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek
kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena
itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by
design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang
dilakukan terus menerus di masyarakat.
Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses
pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah
Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi
fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada
satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun
nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.
Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan
Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi
pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah
bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan
filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai
di Jepang.
Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur.
Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau
harta.
Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat
aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang
Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan
(Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan
komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan
ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.
Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup
tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu
memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran
kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling
menghargai.
Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka
saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah
ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.
Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC,
menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa
kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa
lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini.
Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak
pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.
Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang
berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan
dianggap rendah di Jepang.
Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang
ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah
membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila
anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan
kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan
terpateri di anak.
Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di
sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam
keseharian sang anak.
Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan
siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu
dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke
dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman.
Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan
menyajikan minuman.
Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani
orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya
nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat,
bukan malah minta dilayani.
Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik.
Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem
pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran
yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita,
tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup
berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.
Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi
canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu
semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter.
Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap
dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.
Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di
seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di
semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga
sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang
bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem
nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi
kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka
satu nilai moral sudah berkurang di sana.
Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut
dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan
mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa
pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses
pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan
dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan
Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai
melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi
pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya
menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran
kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun
miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk
menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita
saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.
Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD
Jepang.
Salam.
Sumber: edukasi.kompasiana.com
Bandingkan dengan SD kita yg masih saja meributkan ANAK-ANAK SD HARUS
SUDAH BISA CALISTUNG dan KKM, REMIDIAL, TES dan UAN.
Mari kita renungkan dan mari kita bagikan ke sebanyak2 orang yg
semestinya mengetahui hal ini terutama di Kementrian Pendidikan Nasional
agar mengetahui hal ini sebagai bahan pembelajaran dan segera
melakukan perubahan yg mendasar terhadap sistem persekolahan di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.