Tulisan Sarlito Wirawan Sarwono
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/511104/38/
Setiap hari saya bekerja di Jakarta, tetapi saya warga Banten, karena
KTP saya berlamat di Ciputat. Jadi saya tidak punya hak pilih di Pilkada
DKI (Rabu, 11 Juli) lalu. Saya juga bukan simpatisan, apalagi anggota
parpol mana pun, termasuk PDIP.
Juga bukan kerabat atau famili dari Jokowi,walaupun istri saya keturunan
Solo.Jadi buat saya tidak penting siapa yang jadi Gubernur DKI, asal
bukan Sarlito. Namun, saya kenal Jokowi. Bukan berteman sejak kecil
(masa balita sampai ABG saya di Tegal, jauh dari Solo), tetapi pertama
kali tahu dari mahasiswa saya,namanya Okky Asokawati (dulu peragawati,
sekarang anggota DPR dari Fraksi PPP).
Waktu dia berpraktik dalam kuliah S-2 Psikologi UI, dia dan timnya
mengambil Solo sebagai objek studi dan dia berkenalan dengan Jokowi.
Kemudian Okky dan timnya tentu membuat laporan buat suhunya. Setelah
saya membaca laporannya, saya berkesimpulan bahwa Jokowi bukan wali kota
biasa. Mungkin banget dia manusia fenomenal (maksud saya: unik,
langka). Karena itu saya minta Okky mengundang Jokowi ke kampus untuk
memberi kuliah kepada mahasiswa saya (kalau tidak salah ada 23 mahasiswa
di kelas saya).
Maka pada hari yang ditentukan Jokowi datang ke Kampus UI, Depok.
Langsung dari Solo dan seusai kuliah juga langsung pulang ke Solo. Naik
taksi. Okky menjemputnya di depan gedung fakultas,karena takut tidak ada
yang mengantar beliau ke lantai atas, karena memang penampilannya tidak
bonafid (maksud saya: tidak tampak seperti seorang pejabat sekelas
Solo-1),sehingga mungkin sekali dia akan dicuekin satpam.
Saya pun hampir- hampir salah, karena tidak bisa membedakan mana yang
Jokowi dan mana yang ajudan. Untung ada Okky, jadi tidak sampai terjadi
hal-hal yang tidak dikehendaki. Kemudian kuliah pun berlangsung,
dilanjutkan dengan diskusi, selama hampir tiga jam. Materi kuliahnya
adalah tentang proses pemindahan PKL (pedagang kaki lima) dari Taman
Banjarsari (dulu: Balapan) ke Pasar Klithikan, Notoharjo, Semanggi.
Kisahnya sangat kondang dan banyak yang sudah mengetahuinya.
Tetapi buat yang belum tahu, bisa disampaikan bahwa Taman Banjarsari
dulunya taman terbuka, asri, elite, tempat warga Solo berekreasi dengan
keluarga mereka. Tetapi sejak krisis moneter tempat itu dijadikan ajang
usaha oleh PKL yang jumlahnya makin lama makin meningkat, sehingga taman
itu berubah jadi daerah kumuh.
Kemudian datanglah Wali Kota Jokowi untuk mengembalikan fungsi taman
kota itu.Satu- satunya cara adalah dengan memindahkan para PKL. Tetapi
Jokowi tidak datang dengan satu kompi Satpol PP untuk mengusir para PKL
berdasarkan perda,melainkan diundangnya para PKL itu ke kediamannya
untuk makanmakan saja.Ada 52 kali makanmakan mingguan bersama PKL
diselenggarakan oleh Jokowi.
Dengan sendirinya lamalama Jokowi dan stafnya akrab dengan para PKL.
Dalam suasana makan-makan yang informal itu semua curhat dan harapan PKL
ditampung, sekaligus disiapkan sarana dan prasarana jalan keluarnya.
Pada pertemuan-pertemuan terakhir barulah Wali Kota mengumumkan niatnya
untuk memindahkan PKL ke Semanggi.
Tetapi PKL tidak bisa protes lagi, karena bangunan pasar sudah
disiapkan, pihak bank sudah menyiapkan pinjaman dana dengan cicilan
hanya beberapa ribu rupiah per hari, perizinan semua digratiskan, bahkan
sudah dikeluarkan perda yang mengatur jalur angkot untuk melalui Pasar
Klithikan. Singkatnya, para PKL tinggal memboyong barang-barang mereka
ke lokasi yang baru.
Pada hari boyongan pun disiapkan kirab yang diawali dengan
pembesar-pembesar Keraton Mangkunegaran dan para pejabat Kota Solo
(termasuk wali kota) yang menunggang kuda, diiringi oleh barisan
pusakapusaka keraton dan tentara tradisional keraton,gamelan yang
bertalu-talu, diakhiri dengan barisan para PKL. Arak-arakan yang terjadi
tanggal 26 Juli 2006 ini menjadi peristiwa yang menarik wisatawan
domestik dan asing— dan tentu saja media massa dalam dan luar negeri.
Gegap gempita.Semua bergembira. Proyek pemindahan PKL Taman Banjarsari
hanya awal dari gebrakan Jokowi untuk membangun Kota Solo. Program-
program Jokowi dan wakilnya (Hadi Rudyatmo) berlanjut terus sehingga
Solo menjadi kota wisata yang nyaman dan menyenangkan. Taman Banjarsari
sudah kembali ke fungsinya sebagai taman kota yang asri.
Seusai kuliah itu saya terus mengikuti kiprah Jokowi, pernah sekali atau
dua kali bertemu dengannya dalam acaraacara tertentu di Solo dan kisah
pemindahan PKL Banjarsari pernah saya jadikan contoh dalam beberapa
tulisan maupun kuliah saya. Kesimpulan saya, Jokowi memang fenomenal.
Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi
(kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi
menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat,hanya
berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas (saya tidak mau
menyebut “hati nurani”, karena istilah itu sudah jadi pasaran, malah
murahan).
*** Ketika saya menulis artikel ini, sambil menonton televisi saya
melihat Jokowi diwawancara di televisi.Pertanyaan reporter di layar kaca
itu, seperti biasa, pasaran juga,“Pada putaran kedua nanti Anda akan
berkolaborasi dengan siapa?” Maksud reporter tentu dengan yang mana di
antara empat calon gubernur yang sudah gugur. Tetapi jawaban Jokowi di
luar dugaan, “Aaah,tidak.Yang terbaik adalah berkolaborasi dengan
masyarakat DKI, dengan rakyat Jakarta.” Luar biasa.
Ini adalah jawaban yang cerdas,keluar dari akal sehat. Dalam kesempatan
paparan DPR,Jokowi dan pasangannya, Ahok,menyampaikan fakta Banjir Kanal
Timur yang dibangun oleh pemerintah pusat, bukan dari dana Pemprov DKI,
dan bahwa Gubernur Sutiyoso bisa membangun 10 jalur Busway, tetapi
Gubernur Foke hanya bisa menambah satu jalur saja. Maka Jokowi-Ahok akan
memprioritaskan angkutan umum, termasuk meneruskan pembangunan monorel.
Selain itu Jokowi-Ahok merencanakan Kartu Sehat (berobat gratis) dan
Kartu Pintar (sekolah gratis) untuk warga tidak mampu. Yang perlu
diperhatikan di sini bukan janji pelayanan kesehatan dan pendidikan
gratisnya (ini merupakan janji semua calon gubernur di mana pun, tidak
hanya di Jakarta), tetapi cara dia memberi nama kepada dua pelayanan
itu.
Dengan menggunakan istilah “kartu”, setiap warga yang kurang mampu
nantinya akan mengantongi dua kartu (sehat dan cerdas) yang bisa dibawa
ke mana-mana dan bisa digunakan sewaktu-waktu (tidak usah minta surat ke
RT atau lurah dulu, dan sebagainya). Jokowi tidak menjanjikan membangun
rumah sakit atau memberi fasilitas kepada sekolah- sekolah (seperti
bantuan operasional sekolah alias BOS yang bukan boss), melainkan
menjanjikan kartu buat setiap warga yang memerlukan.
Maka jelas sasarannya adalah hati warga DKI sebagai perorangan yang
sudah penuh unek-unek. Suatu pemecahan yang benar-benar cerdas, yang
keluar dari akal sehat. Masyarakat Jakarta tidak semuanya cerdas,
apalagi berpendidikan, terlebih pendidikan tinggi.Tetapi rakyat yang
paling jelata pun bisa membedakan antara akal sehat dan akalakalan.
Berpuluh tahun bangsa kita terlatih untuk akal-akalan (menggunakan akal
untuk sesuatu yang tidak masuk akal).
Di zaman Soeharto dana reboisasi diakali, sehingga hutan- hutan malah
makin gundul. Perjalanan dinas dua hari diakali sehingga jadi lima hari,
sehingga sisa dana perjalanan dan akomodasi bisa masuk kantong sendiri.
Di zaman sekarang ada akalakalan proyek Hambalang,ada Gayus yang
mengakali pajak dan sebagainya. Masyarakat yang sudah capai dengan
akalakalan ini langsung melihat peluang pada diri Jokowi yang berakal
sehat.
Jokowi akan berhasil sebagai gubernur DKI,bukan karena dia manusia
ber-okol (berotot) yang didukung oleh partai besar atau birokrasi atau
militer (seperti Hosni Mubarak, Khadafi,atau Saddam Husein), melainkan
karena dia didukung oleh rakyat Jakarta. Insya Allah, dengan rahmat-
Nya,Jokowi akan bergeser dari Solo-1 menjadi Jakarta-1.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi UI
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.