Memasuki akhir sebuah perjalanan (sejak 1997), memberikan
makna atas apa yang nampak dan apa yang terasa. Mengungkapkan kepada pembaca
hasil perjalanan ruhani, membedah sebuah pemahaman spektakuler yang di usung
Ustad ABU SANGKAN. Buku BERGURU KEPADA ALLAH. Buku yang setebal beberapa puluh
halaman, tidak sampai ratusan halaman. Namun sungguh luar biasa ke dalamannya,
jika kita menulisakan ulang kembali, entah akan berubah menjadi berapa ribu
lembar atau bahkan mungkin puluhan jilid barangkali. Dimana setiap jilid
akan setebal bantal tidur kita. Sunguh
sampai kita mati pun mungkin akan tetap sulit mengungkapkan ke dalaman
hakekatnya. Maka hingga saat ini penulis masih terus menyingkap
setiap kata yang tersurat dan tersirat, mencari hakekat dan maknanya satu halaman demi satu halaman dan
telah di coba hantarkan perlahan dari
satu kajian ke kajian berikutnya.
Perjalanan yang panjang lagi melelahkan, tak berhitung hari,
sering kepala menjadi kaki, atau bahkan kaki menjadi kepala, karena memang tak
mengerti lagi mau melangkah kemanakah (?). Jalan tertatih, tersungkur puluhan
kali, bergolaknya rahsa, seumpama keadaan bumi yang megalami pemanasan global,
itulah keadaan jiwa. Namun diri terus berusaha untuk menapaki, terus mencari bukti-bukti, terus
membuka hati, mencoba memahami uraian setiap kata, merenungi, mentafakuri, bersama
dalam kontemplasi mencari jati diri, dalam kesendirian, dalam belitan hidup,
dalam kerumunan persepsi, kesemuanya menjadi ilustrasi atau mungkin saja menjadi kisah tersendiri.
Maha besar Allah, sedikit demi sedikit dan pasti,
ditunjukan-Nya jalan dimana dan bagaimana harus memulai. Bersiap mengarungi
samudra makrifat yang tiada bertepi. Menuju sebuah hakekat. Menetapi
keghaiban itu sendiri. Namun ketika
bukti ditunjukkan betapa jiwa ternganga sendiri. Sebab nyatanya keghaiban yang
coba dimaknai tersebut nyatanya adalah realitas itu sendiri. Membalikan
kesadaran itulah yang terjadi. Bagaimana harus menjelaskan ini ?. Terpana, tak percaya. Nyatanya Allah SWT menunjukkan
begitu adanya.
Otak kehilangan kalimatnya, dan raga terjaga dalam tidurnya,
sementara kesadaran diam dalam pengamatannya. Mengulangi setiap detail kata
yang mungkin luput dari jelajah sang jiwa. Setiap keadaan dirasakan, setiap
kejadian menjadi fana, ber-tiwikrama amat dalam, menunggu di pahamkan, nyatanya
tiada kalimat yang mampu menjelaskannya lagi. Ya, tak ada kata yang mampu
menjelaskannya lagi, semua seperti tanpa huruf , tak perlu kalimat apa-apa. Tak
ada tanda baca sama sekali. Semua dimengerti dalam bahasa ilham itu sendiri.
Bagaimana menyampaikan fakta ini kepada manusia lainnya. Nyatanya untuk
berbicara apa adanya tak ada bahasa yang dapat mewakili ungkapannya.
Sebuah pemahaman yang rasanya sering kita dengar namun kita
tidak tahu bagaimana itu. Sebuah kesadaran yang biasa saja namun kenapa begitu
dahsyatnya terasa di badan. Maka hanya sebuah pengandaian saja yang dapat
disampaikan. Bagaimanakah rasanya ketika kesadaran di jungkir balikan. Sungguh
buku BERGURU KEPADA ALLAH telah membalikan kesadaran selama ini. Kesadaran yang
terhijab persepsi. Kesadaran diri yang
selama ini tak sanggup melihat realitas sejati, kesadaran yang selama ini yang
(telah) mengganggap bahwa keghaiban adalah sama halnya dengan ketiadaan. (Sesuatu yang tak perlu dianggap).
REALITAS NYATANYA ADALAH KEGHAIBAN itu sendiri. Dan KEGHAIBAN
SEJATINYA ADALAH REALITAS YANG SEJATI. Inilah kesimpulan atas perjalanan
panjang. Sebuah pemahaman yang
membalikan anggapan, maka perjalanan makrifat menuju hakekat menuju muaranya,
adalah ke-imanan Islam, sebuah kesadaran dalam meyakini Iman.
Allah SWT
(ghaib) nyatanya lebih realitas dari alam semesta dan diri kita sendiri. Dalam
kesadaran kita hanya Allah yang nampak nyata (realitas). Bumi dan alam semesta
ini nyatanya hanyalah semu (ghaib). Begitulah dalam kesadarannya sekarang.
Sangat
jauh dengan pemahaman pada awalnya. Begitu berpilinnya logika pemikiran menyadari hakaket ini. Meski beberapa kajian tentang ini
pernah di baca. Namun ketika merasakannya sendiri fakta ini. Menjadi saksi atas
hal ini. Tak luput jiwa terhenyak, diam dalam ke-takmengertian atas apa yang telah
di dapatkannya. Lantas bagaimana dengan hakekat realitas yang selama ini nampak
oleh indra kita, yang selama ini kita kejar dan kita perjuangkan ?. Sungguh
seperti perumpamaan, salju yang turun kemudian mencair mengalir entah kemana.
Begitu keadaannya. Ketika di pegang nyatanya salju itu meleleh hilang di
hembuskan angin. Seperti kebun yang kita perjuangkan kemudian hangus terbakar
keesokan harinya. Itulah perumpamaan dunia ini.
Masih banyak sekali pemahaman yang seperti di alirkan satu
demi satu seperti :
1. 1. Malaikat
Allah, dari keghaiban mereka mengatur dan mengkontrol system jalannya alam
semesta dan diri kita. Maka akan nampak
dalam kesadaran kita, bagaimana
sempurnanya pengaturan itu. Apa yang nampak (realitas) nyatanya di atur dari
keghaiban. Maka realitas adalah keghaiban itu sendiri.
2. 2. Kitab-kita
Allah, adalah firman Allah yang menjadi petunjuk bagi manusia. Kebenaran setiap
petunjuk hakekatnya adalah ghaib bagi
kita. Kita tidak pernah tahu kebenaran sejati atas petunjuk tersebut. Namun aneh
sekali, semua itu dipahamkan, seperti di tarok saja. Sehingga petunjuk tersebut
menjadi keyakinan kita atas kebenarannya, menjadi realitas diri kita dalam
menjalani kehidupan ini. Keghaiban yang menjadi realitas kesadaran kita.
3. 3. Nabi
dan Rosul, kisah perjalanan ruhani mereka sampai kepada kita melalui khabar
yang diberitakan Al quran, sejatinya kita tidak pernah mengenal mereka itu.
Namun entah sebab apa, jiwa mereka mampu kita rasakan sebagaimana kita rasakan
denyut jantung kita sendiri, bagaimana kehalusan jiwa mereka, perjuangan
mereka, nampak sekali terpampang nyata dalam kesadaran kita. Mereka ghaib tapi
menjadi realitas di badan ini.
4. 4. Hari
Akhir, suatu hari yang sangat jauh dari gambaran kita. Hari yang sangat ghaib,
entah ada ataukah tidak. Kesadaran kita hanya ter konsentrasi di hari ini dan
esok hari, terus begitu keadaannya. Hari Akhir adalah ghaib. Namun tidak
setelah kesadaran di balikkan, nyatanya Hari Akhir adalah suatu realitas hari
yang pasti terjadi. Dunia akherat lebih nyata dari dunia ini. Keghaiban lebih
nyata dari realitas.
5. 5. Qodho
dan Qodhar, betapa sulitnya berhadapan
dengan kerasnya kehidupan. Miskin dan papa, tanpa ada cinta. Realitas yang
nampak adalah seperti itu, hidup bagai dalam neraka. Perlahan tapi pasti
kesadaran ini di balikkan. Manusia tidak akan di rugikan, apa yang dia takutkan
hanyalah bisikan saja. Manusia sering hanya takut kepada bayangannya sendiri.
Semua berada dalam ketetapan dan ketentuan-Nya. Maka persepsi kita yang tadinya
nampak sangat realitas ternyata malah ilusi (ghaib) belaka. Akhirnya kehendak
Allah yang terjadi. Kehidupan yang sebelumnya terasa neraka, di jungkir balikkan keadannya, kehidupan
sekarang ini layaknya adalah di surga
saja. Aneh sekali.
Membalik kesadaran. Seperti hanya merubah arah putaran bumi,
merubah posisi masing-masing kutubnya saja. Menempatkan kutub realitas dan
ghaib sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengajaran Rosululloh. Blaam…!. Kemudian kejadiannya, suasana hati
berubah sangat radikal. Mendung hilang perlahan, iklim berubah nyaman, angin
sirna, cuaca menjadi sejuk, dan bumi (tubuh) menjadi nyaman untuk di tinggali.
Kenapakah bisa begitu ?. Sungguh sampai kini tetap tak mengerti. Cahaya Allah (sungguh)
sangat besar bedanya dengan cahaya matahari (selain Allah). Cahaya matahari
akan merubah wajah bumi menjadi bermacam-macam wajah (iklim). Sementara cahaya
Allah mengembalikan wajah manusia kepada fitrah-Nya.
Mencari referensi
Awalnya luar biasa sulit sekali. Namun nanti semua seperti di
bukakan, hal yang terasa sulit seperti di mudahkan untuk memahaminya, seperti
di tarok begitu saja. Tidak saja dalam masalah hakekat dalam realitas pekerjaan
pun demikian juga, pikiran juga semakin tenang,. Mampu memahami persoalan
melihat dari setiap sudut, dan meletakannya ke dalam posisinya masig-masing,
sehingga menjadi jelas bagaimana menyelesaikannya. Persepsi-persepsi tentang
banyak hal yang selama ini menjadi ‘binding’ seperti di bongkar, sehingga
Nampak jelas jalan mana yang meski dilalui. Maka rasanya tak sia-sia melakoni
semua ini.
Menemukan kesadaran ‘Aku’ yang menjadi landasan ber proses
untuk memasuki bagian selanjutnya bagian Silatun (Patrap), menjadi kesulitan
tersendiri, mungkin bagian ini hampir menyita 30% waktu tersendiri dalam eksplorasinya.
Siapakah ‘Aku’, hakekat sang “Aku’, berpilin-pilin dalam kesadaran yang tak
tembus, semua saking-saking terhijabnya diri kita atas kerasnya kehidupan kota.
Bagaimana tidak pikiran selalu di kejar kebutuhan sehari-hari, mau makan apa
besok ?. Ketakutan jika tidak bisa makan, ketakutan jika tidak mampu kerja,
semua bagai benang kusut yang sulit menguraikan dari mana asalnya persepsi ini.
Sulit sekali mencari referensi, bahwasanya rejeki sudah diataur oleh-Nya. Sebab
faktanya semua harus kita perjuangkan dnegan segenap akal dan fikiran, serta
kerja keras kita. Jika tidak mampu bersaing, maka habislah kita di belantara
kota ini. Mau dikemanakan anak dan istri kita. Meluruhkan semua persepsi ini,
bagai peperangan yang tak berkesudahan.
Memasuki
tahapan selanjutnya, bagaimanakah kita datang kepada
Allah dengan rahsa cinta dan rindu ? (Patrap 1). Sungguh sulit sekali
mencari referensinya di
dalam diri kita. File kesadaran kita menolak hal ini. Apakah yang Tuhan
berikan kepada dirnya, hingga kita patut mencintai-Nya ?. Hujatan atas
ini sedemikian kuatnya. Semua dikarenakan
dirinya tak pernah sedikitpun merasakan adanya kasih-sayang atau cinta
dalam
kehidupannya. Semua berangkat dari beban hidup dan kesulitan hidup yang
mendaparkannya. Seperti apakah rahsa
cinta ?. Sungguh dia tidak pernah
mengenal rahsa itu. Bagaimanakah mengenali rahsa tersebut , jika dia tidak
pernah disusupkan rahsa cinta ?.
Begitu sulitnya memasuki Silatun (Patrap 1). Bagaimanakah
menghadirkan rahsa cinta dalam menyebut nama Allah. Sementara diri tidak
mengenal kata itu, tidak pernah merasakan rahsa cinta itu seumur hidupnya.
Berulang kali ini ditanyakan dalam dirinya. Diri tetap ternganga tak mengerti.
Tak paham apakah yang dimaksudkan.
Sungguh Allah Maha Besar, Maha Suci Allah, secara perlahan
diajarkan-Nya, ditunjukkan-Nya seperti apakah rahsa itu, melalui cara-Nya yang
sangat ajaib. Diajarkan-Nya kita agar mampu membedakan manakah cinta yang
realitas dan manakah yang semu, agar jiwa mengenali hakekat cinta itu sendiri.
Begitu dahsyat pengajaran ini. Hampir-hampir saja mencabut nyawanya.
Fase pengajaran terus berjalan lambat, diperjalankan dirinya
memasuki keghaiban. Berjalan memasuki dimensi alam ghaib. Di kenalkan dengan
berbagai macam kesadaran yang beredar di masyarakat. Bercengkrama dengan
kesadaran para Raja-raja Jawa, mulai dari Ken Arok, Panembahan Senopati, Sultan
Agung, dan banyak lagi, entah sudah
berapa banyak mereka-mereka yang hadir dalam kesadaran dirinya. Mereka hadir
untuk dikenali (dalam) kesadaran kita.
Kesadaran masih berkelana, dipertemukan dengan kesadaran Ratu
Pantai selatan, Ratu Pantai Utara, Prabu Siliwangi, dan lain-lainnya. Berhadapan
perang dengan Nimas Pandansari (Nyi Blorong) dalam sebuah pertarungan. Cerita
tidak sampai disitu, dalam kesadarannya mampu merasakan sesuatu yang lebih
jauh, para penguasa gunung dan lembah, para danyang dan lelembut. Semua seperti
bertabrakan dalam dirinya. Setiap memasuki daerah ada saja kejadian yang
terjadi, seperti mampu merasa kehadiran. Sungguh dimensi kesaktian yang
melenakan. Sebab sangat terasa sekali efek di badan. Namun semua harus di
tinggalkan dan ditanggalkan. Sebagaimana pesan-pesan Pak Slamet Utomo yang
sempat terbaca. Bukan itu yang di cari.
Perlahan diri meluruh, kembali kepada realitas kehidupan manusia.
Kembali sebagai manusia biasa, diajarkan apa itu rahsa takut.
Ketakutan yang mendera jiwa dan raga. Hingga tubuh meringkuh tak mampu beranjak
dari tempat tidur. Ketakutan yang di buat oleh persepsinya. Dikenalinya rahsa
takut. Di bandingkannya rahsa takut tersebut. Seberapa kuatkah rahsa takutnya
dengan Allah di bandingkan kepada selain Allah. Nyatanya dirinya masih lebih
takut kepada selain Allah. Kenyataan itu tak bisa ditutupi, ketika kebutuhan
sehari-hari, harus di penuhi, kewajiban hutang harus di bayar, ternyata level rahsa
takut lebih tinggi daripada level rahsa takut kepada Allah. Masih ditinggalkan
sholat dengan seenaknya. Dimanakah rahsa takutnya kepada Allah ?. Kesadaran di
gedor atas hal ini. Kenapakah bisa tertipu ?. Sungguh diri juga tidak mengerti
mengingat kejadian itu.
Allah belum menjadi realitas bagi dirinya, maka dirinya tidak
takut kepada Allah. Itulah penyebabnya.
Maka pemahaman selanjutnya kembali diuji lagi. Di pahamkan lagi atas hakekat ini. Di datangkan begitu banyak rahsa takut oleh
Allah, begitu banyak masalah yang di munculkan. Dibenturkan pada hakekat
keadaan. Nyatanya apa saja yang dia takutkan tidak ada, tidak pernah terjadi, sehingga karenanya diri menyadari ada yang
mengatur semua itu. Ada ketentuan dan ketetapan Allah dalam setiap kejadian.
Maka takutlah hanya kepada Allah. Maha
Besar Allah. Itulah inti dari pengajaran-Nya.
Masih
banyak lagi sebenarnya rahsa yang diajarkan. marah, was-was, dan
lain-lainnya, serta bagaimanakah mengenali serta meniadakannya, namun
pada hakekatnya sama saja, kembali hanya kepada Allah dan Allah. Berat
pada awalnya namun nikmat pada akhirnya. Begitukah pembelajaran seorang
yang awam dengan Islam ?.
Jalan tak semanis seperti yang dia dengar. Namun semua terbalaskan, kini
hasilnya nyaman di
badan. Maka mulai saat itu, semakin dimantapkannya hati untuk terus
BERGURU
KEPADA ALLAH. Membuat catatan-catatan untuk dibaca di kemudian hari.
Mencari dan menyandingkan dengan catatan-catatan Rosululoloh (hadist)
yang berkaitan dengan itu, bertanya sudahkah
hasil yang di dapat dalam pengajaran kali ini sudah sama dengan hasil
yang
seharusnya, yaitu sebagaimana catatan yang dibuat Rosululloh untuk hal
tersebut. Terus berjalan lagi, dalam diam dalam kontemplasi. Menata
hati, agar
tubuh ini nyaman ditinggali. Sebab diri bukanlah wali. Manusia biasa dan
sangat
biasa dalam kelemahan dirinya. Mencoba tegak di jalan ilahi. Wolauhulam
Salam
arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.