Kamis, 29 Desember 2011

Siaran Pers- Kasus Akuisisi Indosiar oleh SCTV

Putusan KPPU Bertentangan dengan UU Penyiaran

PADA 21 Desember 2011 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menyatakan akuisisi stasiun televisi Indosiar (PT. Indosiar Karya
Media) oleh pemilik stasiun televisi SCTV (PT Elang Mahkota Teknologi
Tbk) tidak melanggar peraturan. Menurut KPPU, penilaian tersebut
dibuat dengan mempertimbangkan nilai omset dan aset gabungan dua
perusahaan tersebut, yang diperkirakan tidak melanggar batasan minimal
di dalam peraturan perundang-undangan.

Atas putusan tersebut, kami dari Koalisi Independen untuk
Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menyatakan berbeda pendapat. Putusan
KPPU itu hanya sepihak dan jelas dibuat hanya berdasarkan
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Padahal, untuk menilai keabsahan
akuisisi televisi Indosiar oleh pemilik SCTV, peraturan yang tidak
bisa dikesampingkan ?karena bersifat lex spesialis-- adalah UU No.32
Tahun 2002 tentang Penyiaran. Putusan KPPU ini juga bertentangan
dengan pendapat hukum (legal opinion) Komisi Penyiaran Indonesia, yang
sebelumnya telah menyatakan bahwa akuisisi ini bertentangan dengan UU
Penyiaran.

UU Penyiaran telah mengatur dengan jelas prinsip pengalihan, akuisisi,
dan transaksi jual beli lembaga penyiaran, yakni pada pasal 18 ayat
(1) dan Pasal 34 ayat (4). Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran menyatakan
kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang
atau satu badan hukum, di satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah
siaran adalah dibatasi. Sedangkan Pasal 34 ayat (4) dan
penjelasannya, menegaskan bahwa Izin Penyelenggaraan Penyiaran
dilarang dipindahtangankan dengan cara dijual, dialihkan kepada badan
hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun.

Batasan tersebut sudah seharusnya menjadi prinsip penting yang wajib
diikuti oleh semua lembaga pemerintah dan masyarakat dalam menilai sah
tidaknya akuisisi, merger dan sebagainya dalam dunia penyiaran.
Prinsip ini penting dan harus dijunjung tinggi karena berdasarkan pada
kenyataan bahwa lembaga penyiaran menggunakan spektrum publik bernama
frekuensi yang merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan
nasional yang harus dijaga, dilindungi oleh negara, serta dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian putusan KPPU bersifat parsial dan bertentangan dengan
UU Penyiaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai akuisisi
SCTV terhadap Indosiar. KIDP juga menolak penjelasan KPPU yang menilai
ijin pemerintah dan slot (frekuensi) yang kini terbatas akan
"berkembang dan disediakan oleh Pemerintah". Penilaian ini jelas
bertentangan dengan UU Penyiaran.

Berdasarkan UU Penyiaran, setiap transaksi oleh Lembaga Penyiaran
Swasta tidak serta merta memperjualbelikan frekuensi. Frekuensi
tersebut harus dikembalikan bersama Izin Penyelenggaraan Penyiaran
(IPP) kepada negara (dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan
Informasi).

Selain itu, meski tak lama lagi dunia penyiaran Indonesia akan
memasuki era digital, itu bukan berarti dengan sendirinya jumlah
frekuensi akan berlipatganda secara tak terbatas. Di era digital pun,
jumlah frekuensi ?meski lebih banyak dari saat ini?tetap akan terbatas
dan karena itu, perlu diatur dengan ketat.

KIDP menilai saat ini telah dan sedang terjadi penguasaan dan/atau
pemusatan kepemilikan usaha penyiaran, termasuk penguasaan opini
publik, yang berpotensi membatasi, mengurangi kebebasan warga negara
dalam menyatakan pendapat, memperoleh informasi, dan hak berekspresi
yang bertumpu pada asas keadilan, demokrasi dan supremasi hukum.

Beberapa contoh lain penguasaan dan kepemilikan usaha penyiaran yang
dimaksud yakni pemberian, penjualan dan pengalihan Izin
Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT Visi Media Asia Tbk
yang menguasai PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan PT Lativi
Media Karya (TVOne). Ada pula pemberian, penjualan dan pengalihan
Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT. Media Nusantara
Citra Tbk yang menguasai/memiliki PT. Cipta Televisi Pendidikan
Indonesia (TPI/MNC
TV), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Global
Informasi Bermutu (Global TV), yang dilakukan sekitar Juni 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.