Siaran Pers
RESOLUSI
KONGRES Aliansi Jurnalis
Independen (AJI)
“Meskipun Melelahkan, AJI
Menolak Tunduk”
Pengantar
Kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke-8 di Makassar,
1-3 Desember 2011, telah menetapkan Eko Maryadi (Item) sebagai Ketua AJI dan
Suwarjono (Jono) sebagai Sekjen AJI, periode 2011-2014. Pada hari HAM Sedunia
10 Desember 2011, AJI mengeluarkan 15 poin resolusi hasil dari Kongres AJI
terbaru.
RESOLUSI
Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Indonesia memandang perjuangan kebebasan dan kesejahteraan pers merupakan
perjuangan yang paling
melelahkan di antara berbagai perjuangan
untuk mengatasi berbagai persoalan pers di Indonesia selama 13 tahun terakhir.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) seharusnya menjadi tolok
ukur pertama aturan hukum yang
berkaitan dengan upaya merawat kebebasan pers. Namun dalam praktiknya UU ini belum menjadi satu-satunya produk hukum
yang menentukan dinamika kehidupan pers pada pasca reformasi.
Ancaman Undang Undang
hingga kekerasan jurnalis
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, terdapat sekitar 20 pasal yang mengatur
ketentuan hukum tentang kerahasiaan, rahasia jabatan, rahasia pertahanan
negara, dan rahasia dagang. Dalam UU Perbankan, UU Rahasia Dagang, UU
Kearsipan, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), serta UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
secara umum juga
memberlakukan larangan penyebarluasan berbagai informasi rahasia kepada publik.
AJI melihat begitu banyak upaya yang secara disadari dan disengaja maupun tidak
ingin menggerogoti UU Pers. Gejalanya
terlihat pada berbagai pihak yang bermasalah dengan pers --pejabat, pengusaha hitam, pelaku
pelanggaran HAM, preman, atau pengacara-- tak
segan-segan menggunakan aksi kekerasan atau premanisme yang ditujukan terhadap jurnalis, sebagaimana terjadi pada kasus
pembunuhan jurnalis di Bali (Denpasar), di Maluku (Tual), di Papua dan berbagai daerah lain di Indonesia.
Situasi menjadi semakin problematis manakala para penegak hukum juga mengabaikan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian
sengketa pemberitaan media massa
meskipun Mahkamah Agung (MA) sudah berkomitmen bahwa
para hakim harus merujuk
UU Pers dalam memutuskan perkara
pemberitaan pers.
Selain kebebasan pers, AJI juga memandang bahwa kebebasan berekspresi juga semakin terancam selama beberapa
tahun terakhir. Ancaman-ancaman yang
muncul berupa sensor dan tekanan melalui berbagai cara, di antaranya melalui aturan hukum yang
mulai diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus
yang dianggap sebagai pencemaran
nama baik dalam karya jurnalistik
maupun citizen journalism.
AJI berkewajiban
untuk menyerukan agar penyelenggara
negara memberikan perlindungan bagi masyarakat
dan menjamin berjalannya praktik
kebebasan berekspresi. AJI akan tetap mengkampayekan dan menyerukan agar masyarakat menghormati dan
menghargai kebebasan berekspresi dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan
dalam menyikapi berbagai perbedaan pendapat.
Tegakkan independensi
media dan jurnalis
Tahun 2014 merupakan tahun politik karena berlangsungnya pemilihan
umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya banyak
pihak yang mencoba mempengaruhi dan menguasai media untuk kepentingan Pemilu 2014. Fenomena seperti itu muncul di layar televisi yang dimiliki tokoh politik
sekaligus pemilik media. Aroma intervensi kepentingan politik bukan hanya
terjadi di ranah frekuensi public
dan media cetak, melainkan juga
mulai merambah ke media online.
AJI menyerukan agar media massa, terutama jurnalis tidak menjadi alat kepentingan
politik tertentu. Sesuai khittahnya, media massa harus menjaga independensi dan profesionalismenya dalam memberitakan proses politik
dengan merujuk pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. AJI mengingatkan pemilik media agar menghormati
prinsip-prinsip independensi media dan profesionalisme jurnalis.
Sementara itu,
untuk mendorong peningkatan kapasitas anggota, AJI siap memberikan pelatihan dan sertifikasi jurnalis yang
dilakukan oleh perusahaan
maupun AJI secara gratis. AJI mendorong adanya kompetensi perusahaan media
sebagai salah satu cara untuk mendorong perusaaan media yang sehat.
Soal monopoli dan
konglomerasi media
AJI juga
mencemaskan gejala konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang
berafiliasi dengan kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri
media. AJI dengan sadar memilih
posisi tegas untuk meminta
pemilik media atau pemilik modal agar
tidak melakukan intervensi ke ruang redaksi.
Sementara kepada
Pemerintah, AJI mengimbau
agar setiap aparatus pemerintah menjalankan
semua regulasi yang berkaitan dengan
perusahaan media. Tujuannya
tidak lain agar tidak terjadi praktik
monopoli dalam pemilikan media yang berimplikasi pada terjadinya monopoli informasi dan
pemberitaan, terutama dalam
hal penggunaan frekuensi publik.
Tolak APBN/APBD bagi
wartawan
AJI melihat fakta
tentang masih banyaknya
lembaga pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah (pemda) mengalokasikan
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembinaan wartawan atau organisasi pers. Sejak dulu AJI menentang praktik semacam itu, karena hal itu akan mempengaruhi independensi
jurnalis di hadapan birokrasi.
Karena itu AJI
meminta (aparatus) pemerintah daerah
di Indonesia agar mengalokasikan dana-dana negara seperti APBN/APBD hanya untuk
kepentingan public yang lebih luas. Imbauan ini perlu ditegaskan untuk menjaga kebebasan
pers yang bermartabat dan independensi jurnalis pada saat bersamaan. AJI meyakini bahwa media yang bebas
dan independen akan membawa manfaat yang besar untuk mengawal proses demokrasi
bersama-sama lembaga negara
yang peduli terhadap pentingnya
merawat kebebasan informasi.
Tanpa bermaksud
jumawa AJI merasa perlu berada
di baris terdepan untuk mendorong pemerintah dalam membuka akses informasi seluas-luasnya kepada pers, dalam perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik dalam rangka menegakkan good governance dan menghormati
profesionalisme jurnalis.
Pembelaan bagi
freelancer, kontributor, dan koresponden
Munculnya media massa baru, baik cetak, televisi, radio maupun siber, baik yang bersakala nasional maupun lokal patut diapresiasi. Namun pada sisi lain AJI masih menemukan gejala
yang tidak sehat kaerna derasnya pertambahan jumlah media tidak diimbangi oleh semakin banyaknya perusahaan
media yang memberikan kesejahteraan atau upah yang layak kepada para pekerjaanya, terutama
para jurnalis yang berstatus karyawan tetap maupun jurnalis yang berstatus koresponden,
kontributor, stringer dan freelancer.
Terhadap
persoalan ini AJI meminta pemilik media untuk tidak mempekerjakan jurnalis tanpa status yang jelas. Sedangkan kepada kalangan koresponden/ freelancer
AJI meminta untuk tidak
mempekerjakan stringer atau orang
lain yang melakukan kerja jurnalistik, apalagi mereka bukan jurnalis. AJI juga meminta perusahaan media untuk tidak bersikap tutup mata terhadap adanya praktik yang tidak
manusiawi ini.
Berkenaan dengan
kondisi buruk yang dialami jurnalis yang berstatus tidak tetap itu AJI merasa perlu mendorong agar para pemilik atau pengusaha
media segara memberikan
kesejahteraan yang layak kepada
para jurnalisnya dengan memperhatikan kebutuhan upah layak.
Karena, kesejahteraan jurnalis akan berimplikasi pada hasil karya mereka dan berkaitan erat dengan profesionalisme
dan independensi pers.
Dalam
mendesain program penguatan kesejahteraan koresponden atau freelencer AJI merasa
perlu berada di garda terdepan dalam mengkampanyekan basic salary kepada
perusahaan media. AJI mengusulkan
agar jurnalis memperoleh upah paling tidak 50 persen di atas nilai upah minimum provinsi selain
harga nilai berita yang ditentukan
secara proposional atau sesuai dengan Undang undang Ketenagakerjaan. Dalam hal ini AJI Kota di
seluruh Indonesia diwajibkan bersikap aktif dalam perumusan upah di dewan
pengupahan.
AJI juga merasa
perlu berada pada barisan terdepan dalam melakukan desakan kepada perusahaan
media untuk memberikan
asuransi dasar serta kontrak kerja yang saling menguntungkan antara koresponden
dan perusahaan media.
Sementara itu
berkaitan dengan masalah konflik
dan kekerasan yang kembali menghangat di Papua juga di daerah lain yang kerap dilanda konflik,
AJI merasa perlu menyampaikan pernyataan
sikap.
- Mendesak semua pejabat, tokoh publik, pengusaha, kalangan profesional dan praktisi serta masyarakat luas untuk ikut menjaga dan menjamin berjalannya kebebasan pers dengan tidak mengedepankan aksi kekerasan atau premanisme terhadap jurnalis dan lembaga media massa dalam memberikan respon terhadap pemberitaan media massa.
- Mendesak agar para penegak hukum segera menggunakan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian sengketa pemberitaan media dan mematuhi seruan Mahkamah Agung (MA) agar para hakim merujuk UU Perds dalam memutusakan perkara pemberitaan pers.
- Mendesak Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi sekaligus segera menghentikan berbagai aksi yang mengancam kebebasan berekspresi berupa sensor dan berbagai tekanan melalui aturan hukum yang diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama dalam karya jurnalistik dan citizen journalism.
- Menyerukan agar penyelenggara negara memberikan perlindungan bagi masyarakat dan menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi dengan ikut mengkampayekan dan menyerukan kepada masyarakat untuk menghormati dan menghargai kebebasan berekspresi dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi perbedaan pendapat.
- Menyerukan agar menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, alih-alih menjadi alat kepentingan politik tertentu, jurnalis beserta perusahaan dan pemilik media untuk selalu menjaga independensi dan profesionalme pers dalam memberitakan proses politik dengan merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
- Mendorong AJI Kota untuk meningkatkan kapasitas anggotanya, dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi jurnalis yang dilakukan secara gratis baik oleh perusahaan maupun AJI.
- Mendorong adanya kompetensi perusahaan media sebagai salah satu cara mendorong hadirnya perusahaan media yang sehat.
- Terhadap gejala konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi dengan kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri media AJI meminta dengan tegas kepada pemilik media atau pemilik modal agar tidak melakukan intervensi ke ruang redaksi.
- Mengimbau setiap aparatus pemerintah untuk mematuhi dan menjalankan semua regulasi yang berkaitan dengan perusahaan media agar tidak terjadi praktik monopoli dalam pemilikan media yang berimplikasi pada terjadinya monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.
- Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) untuk pembinaan jurnalis atau organisasi pers karena praktik semacam itu akan mempengaruhi independensi jurnalis di hadapan birokrasi. Mengimbau semua (aparatus) pemerintah agar mengalokasikan dana-dana APBN dan APBD untuk kepentingan yang jauh lebih bermanfaat bagi kepentingan publik.
- Mendorong pemerintah untuk membuka akses informasi seluas-luasnya kepada pers, terkait perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik dalam rangka menegakkan good governance dan menghormati profesionalisme jurnalis.
- Meminta pemilik atau perusahaan media untuk tidak mempekerjakan jurnalis tanpa status yang jelas dan tidak bersikap tutup mata terhadap praktik yang tidak manusiawi terhadap pekerja media seperti mempekerjakan orang untuk melakukan kerja jurnalistik tanpa status yang jelas dan upah yang layak. Pemilik atau pengusaha media harus segera memberikan kesejahteraan yang layak kepada para jurnalisnya karena kesejahteraan jurnalis akan berimplikasi pada hasil karya mereka dan berkaitan erat dengan profesionalisme dan independensi pers.
- Mendorong AJI Kota untuk terus mengampanyekan basic salary kepada perusahaan media agar jurnalis memperoleh upah paling tidak 50 persen di atas nilai upah minimum provinsi selain harga nilai berita yang ditentukan secara proposional sesuai dengan UU Ketenagakerjaan sekaligus melakukan desakan agar perusahaan media memberikan asuransi dasar serta kontrak kerja yang saling menguntungkan.
- Mendesak negara menghentikan segala bentuk kekerasan di Papua, termasuk kekerasan terhadap jurnalis di Papua dan di luar Papua yang melakukan peliputan di bumi Papua, sekaligus mendesak pemerintah untuk membuka akses informasi seluas-luasnya bagi setiap jurnalis yang melakukan peliputan di Papua; menjamin kebebasan pers; dan mengusut serta mengadili pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Papua.
- Menjadikan Deklarasi Sirnagalih sebagai roh AJI dalam memperjuangkan independensi, profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis.
Makassar, 3 Desember 2011
Ketua Komisi: Ruslan Sangadji/alwan ridha ramdani
Sekretaris Komisi: Abdi Purnomo
Perumus Naskah:
Alwan Ridha Ramdani
Abdi Purnomo
Rochimawati
Sekretariat AJI Indonesia
Jl. Kembang Raya No. 6
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
Indonesia
Phone (62-21) 315 1214
Fax (62-21) 315 1261
Website : www.ajiindonesia.org
Jl. Kembang Raya No. 6
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
Indonesia
Phone (62-21) 315 1214
Fax (62-21) 315 1261
Website : www.ajiindonesia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.