Jumat, 09 Desember 2011

RESOLUSI KONGRES Aliansi Jurnalis Independen (AJI)



Siaran Pers

RESOLUSI  KONGRES  Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Meskipun Melelahkan, AJI Menolak Tunduk
 
Pengantar
Kongres Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke-8 di Makassar, 1-3 Desember 2011, telah menetapkan Eko Maryadi (Item) sebagai Ketua AJI dan Suwarjono (Jono) sebagai Sekjen AJI, periode 2011-2014. Pada hari HAM Sedunia 10 Desember 2011, AJI mengeluarkan 15 poin resolusi hasil dari Kongres AJI terbaru.
RESOLUSI

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memandang perjuangan kebebasan dan kesejahteraan pers merupakan perjuangan yang paling melelahkan di antara berbagai perjuangan untuk mengatasi berbagai persoalan pers di Indonesia selama 13 tahun terakhir.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) seharusnya menjadi tolok ukur pertama aturan hukum yang berkaitan dengan upaya merawat kebebasan pers. Namun dalam praktiknya UU ini belum menjadi satu-satunya produk hukum yang menentukan dinamika kehidupan pers pada pasca reformasi.

Ancaman Undang Undang hingga kekerasan jurnalis

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, terdapat sekitar 20 pasal yang mengatur ketentuan hukum tentang kerahasiaan, rahasia jabatan, rahasia pertahanan negara, dan rahasia dagang. Dalam UU Perbankan, UU Rahasia Dagang, UU Kearsipan, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) secara umum juga memberlakukan larangan penyebarluasan berbagai informasi rahasia kepada publik.

AJI melihat begitu banyak upaya yang secara disadari dan disengaja maupun tidak ingin menggerogoti UU Pers. Gejalanya terlihat pada berbagai pihak yang bermasalah dengan pers --pejabat, pengusaha hitam, pelaku pelanggaran HAM, preman, atau pengacara-- tak segan-segan menggunakan aksi kekerasan atau premanisme yang ditujukan terhadap jurnalis, sebagaimana terjadi pada kasus pembunuhan jurnalis di Bali (Denpasar), di Maluku (Tual), di Papua dan berbagai daerah lain di Indonesia.

Situasi menjadi semakin problematis manakala para penegak hukum juga mengabaikan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian sengketa pemberitaan media massa meskipun Mahkamah Agung (MA) sudah berkomitmen bahwa para hakim harus merujuk UU Pers dalam memutuskan perkara pemberitaan pers.

Selain kebebasan pers, AJI juga memandang bahwa kebebasan berekspresi juga semakin terancam selama beberapa tahun terakhir. Ancaman-ancaman yang muncul berupa sensor dan tekanan melalui berbagai cara, di antaranya melalui aturan hukum yang mulai diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama baik dalam karya jurnalistik maupun citizen journalism.

AJI berkewajiban untuk menyerukan agar penyelenggara negara memberikan perlindungan bagi masyarakat dan menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi. AJI akan tetap mengkampayekan dan menyerukan agar masyarakat menghormati dan menghargai kebebasan berekspresi dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi berbagai perbedaan pendapat.

Tegakkan independensi media dan jurnalis

Tahun 2014 merupakan tahun politik karena berlangsungnya pemilihan  umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya banyak pihak yang mencoba mempengaruhi dan menguasai media untuk kepentingan Pemilu 2014. Fenomena seperti itu muncul di layar televisi yang dimiliki tokoh politik sekaligus pemilik media. Aroma intervensi kepentingan politik bukan hanya terjadi di ranah frekuensi public dan media cetak, melainkan juga mulai merambah ke media online.

AJI menyerukan agar media massa, terutama jurnalis tidak menjadi alat kepentingan politik tertentu. Sesuai khittahnya, media massa harus menjaga independensi dan profesionalismenya dalam memberitakan proses politik dengan merujuk pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. AJI mengingatkan pemilik media agar menghormati prinsip-prinsip independensi media dan profesionalisme jurnalis.

Sementara itu, untuk mendorong peningkatan kapasitas anggota,  AJI siap memberikan pelatihan dan sertifikasi jurnalis yang dilakukan oleh perusahaan maupun AJI secara gratis. AJI mendorong adanya kompetensi perusahaan media sebagai salah satu cara untuk mendorong perusaaan media yang sehat.

Soal monopoli dan konglomerasi media

AJI juga mencemaskan gejala konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi dengan kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri media. AJI dengan sadar memilih posisi tegas untuk meminta pemilik media atau pemilik modal agar tidak melakukan intervensi ke ruang redaksi.

Sementara kepada Pemerintah, AJI mengimbau agar setiap aparatus pemerintah menjalankan semua regulasi yang berkaitan dengan perusahaan media. Tujuannya tidak lain agar tidak terjadi praktik monopoli dalam pemilikan media yang berimplikasi pada terjadinya monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.
 
Tolak APBN/APBD bagi wartawan

AJI melihat fakta tentang masih banyaknya lembaga pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah (pemda) mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembinaan wartawan  atau organisasi pers. Sejak dulu AJI menentang praktik semacam itu, karena hal itu akan mempengaruhi independensi jurnalis di hadapan birokrasi.

Karena itu AJI meminta (aparatus) pemerintah daerah  di Indonesia agar mengalokasikan dana-dana negara seperti APBN/APBD hanya untuk kepentingan public yang lebih luas. Imbauan ini perlu ditegaskan untuk menjaga kebebasan pers yang bermartabat dan independensi jurnalis pada saat bersamaan. AJI meyakini bahwa media yang bebas dan independen akan membawa manfaat yang besar untuk mengawal proses demokrasi bersama-sama lembaga negara yang peduli terhadap pentingnya merawat kebebasan informasi.  

Tanpa bermaksud jumawa AJI merasa perlu berada di baris terdepan untuk mendorong pemerintah dalam membuka akses informasi seluas-luasnya kepada pers, dalam perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik dalam rangka menegakkan good governance dan menghormati profesionalisme jurnalis.

Pembelaan bagi freelancer, kontributor, dan koresponden

Munculnya media massa baru,  baik cetak, televisi, radio maupun siber, baik yang bersakala nasional maupun lokal patut diapresiasi. Namun pada sisi lain AJI masih menemukan gejala yang tidak sehat kaerna derasnya pertambahan jumlah media tidak diimbangi oleh semakin banyaknya perusahaan media yang memberikan kesejahteraan atau upah yang layak kepada para pekerjaanya,  terutama para jurnalis yang berstatus karyawan tetap maupun jurnalis yang berstatus koresponden, kontributor, stringer dan freelancer.

Terhadap persoalan ini AJI meminta pemilik media untuk tidak mempekerjakan jurnalis tanpa status yang jelas. Sedangkan kepada kalangan koresponden/ freelancer AJI meminta untuk tidak mempekerjakan stringer atau orang lain yang melakukan kerja jurnalistik, apalagi mereka bukan jurnalis. AJI juga meminta perusahaan media untuk tidak bersikap tutup mata terhadap adanya praktik yang tidak manusiawi ini.

Berkenaan dengan kondisi buruk yang dialami jurnalis yang berstatus tidak tetap itu AJI merasa perlu mendorong agar para pemilik atau pengusaha media segara memberikan kesejahteraan yang layak kepada para jurnalisnya  dengan memperhatikan kebutuhan upah layak. Karena, kesejahteraan jurnalis akan berimplikasi pada hasil karya mereka dan berkaitan erat dengan profesionalisme dan independensi pers.

Dalam mendesain program penguatan kesejahteraan koresponden atau freelencer AJI merasa perlu berada di garda terdepan dalam mengkampanyekan basic salary  kepada perusahaan media. AJI mengusulkan agar jurnalis memperoleh upah paling tidak 50 persen di atas nilai upah minimum provinsi selain harga nilai berita yang ditentukan secara proposional atau sesuai dengan Undang undang Ketenagakerjaan. Dalam hal ini AJI Kota di seluruh Indonesia diwajibkan bersikap aktif dalam perumusan upah di dewan pengupahan.

AJI juga merasa perlu berada pada barisan terdepan dalam melakukan desakan kepada perusahaan media untuk memberikan asuransi dasar serta kontrak kerja yang saling menguntungkan antara koresponden dan perusahaan media.

Sementara itu berkaitan dengan masalah konflik dan kekerasan yang kembali menghangat di Papua juga di daerah lain yang kerap dilanda konflik, AJI merasa perlu menyampaikan pernyataan sikap.
  1. Mendesak semua pejabat,  tokoh publik, pengusaha, kalangan profesional dan praktisi serta masyarakat luas untuk ikut  menjaga dan menjamin berjalannya kebebasan pers dengan tidak mengedepankan aksi kekerasan atau premanisme terhadap jurnalis dan lembaga media massa dalam memberikan respon terhadap pemberitaan media massa.
  2. Mendesak agar para penegak hukum segera menggunakan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian sengketa pemberitaan media dan mematuhi seruan Mahkamah Agung (MA) agar para hakim merujuk UU Perds dalam memutusakan perkara pemberitaan pers.
  3. Mendesak Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi sekaligus segera menghentikan berbagai aksi yang mengancam kebebasan berekspresi berupa sensor dan berbagai tekanan melalui aturan hukum yang diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama dalam karya jurnalistik dan citizen journalism.
  4. Menyerukan agar penyelenggara negara memberikan perlindungan bagi masyarakat dan menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi dengan ikut mengkampayekan dan menyerukan kepada masyarakat untuk menghormati dan menghargai kebebasan berekspresi dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi perbedaan pendapat.
  5. Menyerukan agar menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, alih-alih  menjadi alat kepentingan politik tertentu,  jurnalis beserta perusahaan dan pemilik media untuk selalu menjaga independensi dan profesionalme pers dalam memberitakan proses politik dengan merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
  6. Mendorong AJI Kota untuk meningkatkan kapasitas anggotanya,  dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi jurnalis yang dilakukan secara gratis baik oleh perusahaan maupun AJI.
  7. Mendorong adanya kompetensi perusahaan media sebagai salah satu cara mendorong hadirnya perusahaan media yang sehat.
  8. Terhadap gejala konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi dengan kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri media AJI meminta dengan tegas kepada pemilik media atau pemilik modal agar tidak melakukan intervensi ke ruang redaksi.
  9. Mengimbau setiap aparatus pemerintah untuk mematuhi dan menjalankan semua regulasi yang berkaitan dengan perusahaan media agar tidak terjadi praktik monopoli dalam pemilikan media yang berimplikasi pada terjadinya monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.
  10.  Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) untuk pembinaan jurnalis  atau organisasi pers karena praktik semacam itu  akan mempengaruhi independensi jurnalis di hadapan birokrasi. Mengimbau semua (aparatus) pemerintah agar mengalokasikan dana-dana APBN dan APBD untuk kepentingan yang jauh lebih bermanfaat bagi kepentingan publik.
  11.  Mendorong pemerintah untuk membuka akses informasi seluas-luasnya kepada pers, terkait perkara yang berkaitan dengan kepentingan publik dalam rangka menegakkan good governance dan menghormati profesionalisme jurnalis.
  12.  Meminta pemilik atau perusahaan media untuk tidak mempekerjakan jurnalis tanpa status yang jelas dan tidak bersikap tutup mata terhadap praktik yang tidak manusiawi terhadap pekerja media  seperti mempekerjakan orang untuk melakukan kerja jurnalistik tanpa status yang jelas dan upah yang layak.  Pemilik atau pengusaha media harus segera memberikan kesejahteraan yang layak kepada para jurnalisnya  karena kesejahteraan jurnalis akan berimplikasi pada hasil karya mereka dan berkaitan erat dengan profesionalisme dan independensi pers.
  13.  Mendorong AJI Kota untuk terus mengampanyekan basic salary  kepada perusahaan media  agar jurnalis memperoleh upah paling tidak 50 persen di atas nilai upah minimum provinsi selain harga nilai berita yang ditentukan secara proposional sesuai dengan UU Ketenagakerjaan sekaligus melakukan desakan agar perusahaan media memberikan asuransi dasar serta kontrak kerja yang saling menguntungkan.
  14. Mendesak negara menghentikan segala bentuk kekerasan di Papua, termasuk kekerasan terhadap jurnalis di Papua dan di luar Papua yang melakukan peliputan di bumi Papua, sekaligus mendesak pemerintah untuk membuka akses informasi seluas-luasnya bagi setiap jurnalis yang melakukan peliputan di Papua; menjamin kebebasan pers;  dan mengusut serta mengadili pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Papua.
  15.  Menjadikan Deklarasi Sirnagalih sebagai roh AJI dalam memperjuangkan independensi, profesionalisme  dan kesejahteraan jurnalis.
 
Makassar, 3 Desember 2011
Ketua Komisi: Ruslan Sangadji/alwan ridha ramdani
Sekretaris Komisi: Abdi Purnomo
 
Perumus Naskah:
Alwan Ridha Ramdani
Abdi Purnomo
Rochimawati
 
 
Sekretariat AJI Indonesia
Jl. Kembang Raya No. 6
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
Indonesia
Phone (62-21) 315 1214
Fax (62-21) 315 1261
Website :
www.ajiindonesia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.