Selasa, 22 Februari 2011

Media Melawan Rejim Yang Alergi Kritik

Setelah sebelumnya bersikap reaksioner saat menanggapi kritikan tokoh
agama, sekretaris kabinet Dipo Alam kembali bertindak reaksioner
menanggapi media massa yang mengeritik pemerintah. Kepada wartawan di
Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat (21/2/2011), mantan aktivis
mahasiswa itu menyatakan bahwa pihaknya akan memerintahkan sekjend dan
humas sejumlah lembaga negara untuk memboikot media yang terus-menerus
mengeritik pemerintah.

Ini bukan pertama-kalinya pemerintah bersikap reaksioner dalam
menanggapi kritik, tetapi sudah terjadi berulang kali. Sebut saja ketika
pemerintah dikritik soal korupsi dan diancam demo besar-besaran, maka
rejim SBY-Budiono segera menuding kritik itu telah
"ditunggangi". Begitu pula ketika demonstrasi mengguncang di 100
hari pertama pemerintahannya, rejim boneka imperialisme AS ini menuding
aksi tersebut hendak "menggulingkannya".

Kali ini sikap reaksioner pemerintah diarahkan kepada media massa,
terutama sekali media massa yang kritis terhadap pemerintah. Dipo Alam
telah menginstruksikan lembaga-lembaga pemerintah untuk memboikot
media-media kritis, baik dalam hal pemberian iklan maupun pemberian
narasumber.

Sekarang ini, di tengah masyarakat yang mengalami depolitisasi dan
alergi terhadap partai politik, media telah mengambil peranan yang
sangat penting dalam mengartikulasikan keresahan rakyat. Ini dapat
dilihat dari sebuah survey yang pernah dilakukan oleh lembaga
Partisipasi Indonesia (PI), yang menemukan bahwa media massa menempati
tempat pertama sebagai institusi yang dipercaya rakyat untuk
menyampaikan aspirasinya. Karena itulah posisi kritis media menjadi
sangat penting.

Meskipun pernyataan Dipo Alam tidak secara eksplisit menyebut pelarangan
terhadap kritisisme media, tetapi penjelasannya menyiratkan
ketidaksukaan pemerintah terhadap segala bentuk kritik.

Dalih yang dipergunakan Dipo Alam pun sangat pro-kapital asing, yakni
kenyamanan investasi. Hal ini menjelaskan kebenaran yang tak
terbantahkan, bahwa "rejim SBY-Budiono ini memang pelayan atau
boneka imperialisme di Indonesia". Hal ini sebenarnya sangat
terang-benderang seperti matahari: dominasi kepemilikan asing semakin
dominan terhadap ekonomi nasional, pasar di dalam negeri dikuasai asing,
dan kapital yang dominan adalah kapital asing.

Sejauh ini kritisisme media mainstream masihlah dalam batas-batas yang
bisa ditoleransi oleh imperialisme, belum ada media mainstream yang
memilih berhadap-hadapan dengan kepentingan imperialisme di Indonesia.
Dalam beberapa hal, ada ketergantungan media maisntream terhadap iklan
dari pemerintah dan korporasi asing. Belum lagi, misalnya, ada istilah
"siram" untuk jurnalis yang diposkan di kantor-kantor
pemerintah.

Oleh karena itu, jika media kritis hendak serius berjuang untuk
kepentingan nasional melawan imperialisme, maka ketergantungan mereka
terhadap iklan pemerintah dan korporasi asing harus dikurangi, bahkan
jika perlu sebaiknya diputus sama sekali.

Dengan melihat kenyataan penjajahan asing yang kian terang di depan
mata, dan juga tugas historis pers dalam perjuangan nasional Indonesia
sebagai alatnya kaum pergerakan, maka sudah semestinya kita berteriak
lantang menjawab seruan boikot Dipo Alam itu: "bahwa boikot
pemerintah itu tidak akan menghilangkan apapun, kecuali mental menjilat
dan mengemis. Justru karena itulah maka kami akan semakin bermartabat
dan memiliki harga diri di hadapan rakyat Indonesia yang sedang
hebat-hebatnya melawan imperialisme!

redaksiberdikari@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.