Tanggal 14 Februari, sebagian dari masyarakat akan merayakan Valentine's Day. Media massa (khususnya TV) akan penuh dengan berbagai acara bertema "Valentine" yang diterjemahkan dalam bentuk film-film romantis, atau "cinta." Para presenter akan muncul dengan busana warna merah jambu, membawa balon berbentuk "heart", berceloteh klise tentang "cinta", "rasa sayang," dsb....dsb...
Beberapa tahun lalu malah pernah ada sebuah stasiun TV yang menurut saya sangat "lebay", karena menyimpangkan makna Hari Valentine. Stasiun TV itu memprofilkan keluarga seorang pejabat tinggi tingkat nasional, yang kebetulan sedang terpojok karena dituduh terlibat korupsi.
Ditunjukkan oleh si TV presenter, betapa "rasa cinta" dari keluarga diberikan kepada sang terduga koruptor, dalam bentuk kekompakan dan dukungan moral pada si suami/ayah yang sedang "dirundung cobaan". Seolah-olah terduga koruptor itu diposisikan sebagai "korban yang teraniaya!" (Presenter TV itu tidak menyebutkan, berapa ribu keluraga Indonesia lain yang harus menderita, yang langsung atau tak langsung terjadi karena uang rakyat dikorupsi oleh pejabat bersangkutan).
Mungkin saat ini, media massa tidak akan selebay itu. Tetapi jelas bahwa konsep Valentine's Day harus diubah secara radikal. Bukan peragaan cinta monyet ala ABG, yang mengeksploitasi selera konsumeris-kapitalistik, di mana audience media ujung-ujungnya dibujuk membeli dan memborong "produk-produk impor bertema Valentine."
Tetapi "cinta" itu harus diterjemahkan ke bentuk pembelaan kepada rakyat miskin, rakyat yang tertindas, rakyat korban HAM, rakyat yang terus dibohongi oleh rezim, dan dibuat tidak berdaya oleh sistem yang dibangun rezim.
Valentine's Day harus ditransformasikan menjadi Hari Perubahan, Hari Kebangkitan Rakyat, Hari Perlawanan, Hari Revolusi, bukan Hari Allay atau Hari Lebay, seperti yang biasa diperagakan selama ini!
Satrio Arismunandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.