Sumber Tulisan dari : http://deeadewie.wordpress.com/my-hometown/
Batas geografis
Barat : Kabupaten Kudus dan Jepara
Timur : Kabupaten Rembang
Selatan: Kabupaten Grobogan dan Kudus
Utara : Jepara dan laut Jawa
Sebelah
barat berbatasan dengan Kudus dan Jepara, terpisahkan oleh Gunung
(Pegunungan Muria) dan pegunungan Patiayam (Kudus). Bagi yang belum
tahu, Patiayam merupakan situs yang cukup penting, semacam Sangiran
begitu.. di sini banyak ditemukan fosil hewan-hewan purba seperti gajah
dan lainnya.
Sementara
sebelah selatannya berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, yang secara
fisik dibatasi oleh pegunungan Kendeng Utara, atau yang dikenal dengan
pegunungan kapur utara. Saat ini daerah ini menjadi pusat perhatian,
terkait dengan rencana pemda yang bekerjasama dengan Semen Gresik untuk
mendirikan pabrik baru, mengingat kandungan fosfat daerah ini yang cukup
tinggi.
Sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan laut Jawa. Bagian utara
kabupaten Pati merupakan semenanjung, bagian daratan yang menjorok ke
laut. Oleh karenanya, pelabuhan di Tayu dan Juana banyak disinggahi
kapal/perahu dari daerah lain, karena saat wilayah lain mengalami badai,
perairan di daerah ini cukup tenang. Secara fisik, daerah Pati dan
Jepara dipisahkan oleh hutan karet Balongan. Di daerah yang telah masuk
Jepara, terdapat Pegunungan Celering, pegunungan yang terdiri atas
bukit-bukit kapur. Bukit ini banyak ditambang. Penduduk di Pati, Jepara
dan Kudus beberapa waktu lalu sempat heboh, karena pemerintah pusat
berencana mendirikan pusat pembangkit listrik tenaga nuklir di wilayah
ini, tepatnya ya di pegunungan ini.
Sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang, yang dihubungkan oleh jalan
utama pantura. Jalan pantura ini adalah jalan pos yang dirintis oleh
Daendels, dengan melakukan kerja paksa. Jalan Panglima Sudirman adalah
warisan fisik dari proyek ini.
Secara
administratif, kabupaten ini terdiri atas 21 kecamatan dan 405 desa.
Kecamatan yang terakhir berdiri adalah kecamatan Trangkil yang merupakan
pemekaran dari kecamatan Wedarijaksa.
Kota
Pati juga mendapat julukan kota pensiunan. Karena sebagian besar
penduduknya adalah usia non produktif, kehidupannya adem ayem, gejolak
jarang terjadi. Riak sosial biasanya terjadi terkait dengan kegiatan
politik lokal, misalnya pemilihan kepala desa. Sejak reformasi berjalan,
sering terjadi pembakaran dan perusakan fasilitas umum karena tidak
puas dengan hasil pemilihan. Selain itu, kadang terjadi pula perkelahian
pemuda antar desa. Pemicunya bermacam-macam, mulai dari saling senggol
saat nonton pertunjukan, perilaku yang dinilai kurang sopan saat
berkunjung ke kampung tetangga atau pertandingan persahabatan antar
desa/kampung. Terakhir, nama Pati dipopulerkan oleh ulah sebuah peer group
yang dikenal dengan nama “genk Nero” serta berbagai kasus freeseks
pelajar yang disebarkan lewat telepon genggam. Selain itu, Pati juga
populer karena banjir yang melanda Juana tahun lalu. Banjir ini
berakibat cukup signifikan, karena kemacetan yang ditimbulkannya membuat
suply barang dari Jawa bagian barat Jawa bagian timur dan sebaliknya
sempat tersendat hingga 1 bulan lamanya. Banjir tahun lalu juga masih
menyisakan kerusakan jalan, yang masih terus diperbaiki hingga detik
ini.
Penduduk
usia produktif Pati lebih memilih bekerja di kota lain, terutama
Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Banyak pula yang merantau hingga
luar Jawa atau bahkan di luar negeri, seperti Malaysia, Arab dan
Hongkong. Bagi yang bertahan di Pati, mereka menekuni pertanian, menjadi
PNS atau wiraswasta.
DEEP DOWN INSIDE OF PATI
Gembong
Gembong merupakan
kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Kudus (Colo). Wilayah ini
berada di lereng timur G.Muria. Wilayah ini terkenal dengan produk tape
singkong. Meskipun tidak seterkenal peuyeum Bogor atau tape
Situbondo, namun lumayan kok. Teksturnya memang lebih lembek dan rasanya
pun lebih kecut, tidak sekeras/sekenyal dan selegit peuyeum. Gembong menjadi sentra tape, karena lahan pertanian di wilayah ini memang didominasi oleh kebun singkong.
Hutan
di wilayah ini juga masih luas, didominasi hutan randu. Hal ini
mendukung mendukung berkembangnya usaha kapuk di wilayah Pati (Karaban).
Selain untuk diambil kapuk dan kayunya, maka hutan randu juga memiliki
produk sekunder, yaitu madu alam. Banyak petani madu dari daerah lain
yang angon , menggembala tawonnya di daerah ini saat randu
sedang berbunga. Hal ini kemudian diadop oleh petani setempat, yang
kemudian mengusahakan peternakan tawon di sekitar lahan/rumahnya. Tak
hanya madu dari randu, mereka juga mengusahakan madu
rambutan/kelengkeng. Di sepanjang jalan Gembong, banyak kita temui rumah
yang berjualan madu. Jangan takut, keaslian madu dari daerah ini
dijamin ko.. Madu dihargai 20-40 ribu per botol sirup. Emm..murah..
Selain
itu, dalam beberapa waktu terakhir ini, Gembong juga berkembang menjadi
sentra jeruk Bali. Produk agro ini banyak dijual ke kota lain, dan bisa
pula kita temui dijual di pinggir-pinggir jalan, saat sedang musim.
Ukuran jeruk Bali cukup besar, hampir sebesar bola. Kulitnya cukup
tebal, seperti ada gabusnya. Zaman kecil dulu, kulit jeruk ini sering
kita gunakan sebagai bahan pembuat mobil-mobilan atau kapal. Dalam satu
buah terdapat beberapa lapis buah, dagingnya buahnya berwarna kuning
kemerahan, kurang berair. Potensi agrobisnis jeruk Bali ini banyak
mendapat liputan dari media cetak, seperti Trubus, Suara Merdeka, Jawa
Pos, dll.
Dari
segi wisata, di kecamatan ini terdapat sebuah waduk buatan yang diberi
nama Seloromo. Meskipun ukurannya kecil, namun debit airnya terus
berkurang. Tak heran, mengingat jumlah vegetasi di lereng Muria yang
menjadi penangkap air di wilayah ini juga semakin berkurang. Kilauan
waduk Seloromo ini bisa terlihat dari daerah Jolong, terutama saat cuaca
sedang cerah. Cool..! Jika dibandingkan dengan daerah lain, suhu di
daerah Gembong cukup sejuk, layaklah untuk tempat rehat dari kesibukan.
Masih tergolong sepi.. jalan untuk menuju ke sana juga bagus. Jarak dari
kota juga cukup dekat, tak sampai 0,5 jam perjalanan dengan motor.
Angkutan umum ada, namun jumlahnya terbatas, hanya sampai sore, sekitar
jam 3, itupun sudah jarang sekali.
Selain
Seloromo, ada pula waduk Gn.Rowo. Lingkungan di sekitar waduk
dijadikan bumi perkemahan, sama seperti Seloromo. Pada tahun 90-an,
waduk ini pernah menjadi lokasi Jamda (Jambore Daerah) Jateng. Tak
heran, kalo kita akan menjumpai patung tunas kelapa sepanjang perjalanan
menuju waduk.
Tlogowungu
Tlogowunguberbatasan
langsung dengan Gembong, masih di lereng Gn. Muria. Potensi alamnya
juga hampir sama. Bahkan luas hutannya lebih besar, namun lebih
didominasi hutan karet dan jati. Hutan ini juga sempat menjadi sasaran
perambahan liar di masa awal reformasi tahun 1997-1998 dulu. Pemukiman
masih sangat sedikit di sini. Banyak pula penduduknya yangmengusahakan
madu alami. Selain itu, ada pula daerah yang mengusahakan peternakan
ulat sutera, tepatnya di Regaloh. Hasil akhirnya masih berupa benang
pintal, belum sampai pada kain ataupun produk siap konsumsi.
Terakhir
ke wilayah ini adalah beberapa waktu lalu, saat masih kuliah. Jadi
sudah tak tahu lagi bagaimana perkembangan kehutanan dan usaha ternak
tersebut. Bagi yang ingin tahu lebih lanjut, mungkin bisa menghubungi
Dinas Kehutanan setempat.
Selain
itu, daerah ini juga menghasilkan kopi, terutama jenis Robusta. Usaha
ini dikelola oleh PTPN, pusatnya adalah di desa Jolong. Perkebunannya
tak terlalu luas, sebagian tanamannya pun warisan Belanda. Jadi bisa
dipastikan bahwa produksinya pun makin menurun. Cerita mengenai Jolong
ini bisa disimak pula pada halaman arsip perjalananku.
Tempatnya
yang sejuk menjadikan Jolong sebagai tempat perkemahan bagi anak
sekolah. Tempat ini juga menjadi tempat keberangkatan para pendaki
gn.Muria. Banyak shelter milik PTPN yang bisa menjadi tempat
beristirahat malam para pendaki. Namun, jangan berharap shelter ini
eksklusif..Banyak yang kondisinya memprihatinkan, terutama bagian
MCK-nya.
Menyebut
kopi Jolong, aku jadi teringat perjalananku saat Survival PMR di SMU,
yang menjadi perkenalan pertamaku dengan tanaman kopi. Kami memulai
perjalanan sehabis maghrib, karenanya tak bisa mengenali daerah
sekeliling kami. Keadaan gelap gulita dan listrik hanya kami temui
ketika memasuki perkampungan. Dalam perjalanan, kami diliputi ketakutan
karena selalu mencium wewangian. Kami merasa wewangian ini terus
mengikuti perjalanan kami dari awal hingga tempat menginap. Beberapa
panitia juga sengaja “menakut-nakuti” kami. Untuk mengurangi ketakutan,
akhirnya kami pun shalawatan dengan suara yang sangat kencang. Berharap
tak ada penampakan maupun hal tak diinginkan lain akan muncul. Banyak
panitia yang telah mengingatkan kami, jangan teriak kencang-kencang,
namun peringatan itu tak kami gubris. Namanya juga takut.. Keesokan
harinya, barulah kami sadar.. ternyata wewangian yang terus mengikuti
kami itu adalah wangi bunga kopi. Yap, saat itu kopi sedang memasuki
musim berbunga. Uhhhh, dasar.. dasar.. tahu gitu, kami tidak akan
berteriak-teriak kencang sepanjang malam. Sungguh konyol.. Dasar
panitia, pinter bener memanfaatkan ketidaktahuan kami.. tapi kalau tidak
begitu, mungkin tak ada yang bisa kami kenang dari perjalanan itu.
Huehe2…buat teman-temanku saat itu: Aang, Dina, Ima dll… masih ingatkah
kalian dengan momen itu..?
Saat
perjalananku beberapa waktu lalu ke Jolong, mengamati potensi vegetasi
di wilayah tersebut, aku jadi berpikir, sebenarnya wilayah ini cukup
potensial untuk pengembangan tanaman hortikultura, khususnya tanaman
hias (bunga potong) dan sayur mayur. Suhu dan ketinggiannya tampak
sesuai. Namun entah dengan tanahnya, apakah mendukung pengembangan
potensi ini atau tidak. Apalagi, kondisi jalan menuju ke daerah ini
alamak parahnya.. Seandainya 2 hal ini bisa diatasi, mungkin Jolong akan
mengurangi ketergantungan warga Pati akan pasokan sayur mayur dan bunga
potong dari Ungaran.
Juana
Juana was the most developed district in
Pati. Bahkan banyak yang menyatakan bahwa daerah ini jauh lebih
berkembang daripada pusat kota. Mengapa demikian? Perputaran ekonomi di
tempat ini lebih dinamis. Letaknya yang berada di Pesisir membuatnya
berkembang jadi pelabuhan yang cukup diperhitungkan. Banyak kapal dan
perahu yang mendarat di wilayah, meskipun kini angkanya semakin menurun
karena faktor sedimentasi di muara sungai yang menghambat berlabuhnya
kapal ke pantai. Yap, berbeda dengan pantai selatannya yang makin
terabrasi, pantai utara justru lebarnya makin bertambah karena
terjadinya sedimentasi lumpur dalam jumlah yang cukup signifikan. Yap,
tak ada satu pantai berpasir satu pun yang bisa kita temui di Pati,
semua pantai di sini berlumpur alluvial. Oleh karenanya, tak bisa
dikembangkan sebagai daerah wisata bahari.
Setiap
hari, terutama pagi dan malam, para perempuan sibuk dengan aktivitas
perdagangan ikan. Selain perikanan laut, maka perikanan darat, tambak
juga berkembang pesat di daerah ini. Baik tambak garam, udang maupun
tambak ikan bandeng. Di sepanjang jalur pantura, banyak kita temui
tambak garam yang ditandai kehadiran gudang gedhek yang tertutup rapat.
Jika terlihat kerlip lampu neon di malam hari, bisa disimpulkan bahwa
yang diusahakan di tambak tersebut adalah udang.
Masih
terkait dengan ikan, maka daerah ini juga terkenal dengan bandeng
presto dan usaha fillet ikan. Konon, bandeng presto yang dijual di
Semarang dipasok dari daerah ini. Sayangnya, justru Semaranglah yang
terkenal sebagai penghasil bandeng presto, bukan Pati/Juana. Tak hanya
perikanan, maka perindustrian juga cukup berkembang di daerah ini, yaitu
kerajinan kuningan, dalam skala industri menengah ataupun rumahtangga.
Produk yang dihasilkan adalah keran, kunci, furniture rumah, seperti kap
lampu, dst. Banyak produknya yang dikirim ke luar daerah, di antaranya
adalah Bali. Perjalananku pulang pergi Bali-Pati dengan bis, pasti
disertai dengan berkardus-kardus paket kuningan yang dikirim ke berbagai
toko/showroom di Bali.
Sayangnya,
menurut penuturan temanku yang mengembangkan bisnis kuningan
keluarganya, kini bisnis kuningan Juana menurun tajam. Pasarnya sangat
terbatas karena harga jualnya yang cukup mahal, jika dibandingkan dengan
produk serupa berbahan aluminium. Ketika kutanya, bagaimana dengan
pasar di luar Jawa. Temanku menganggap potensi tersebut ada. Namun
masalahnya kuningan tak terlalu dikenal dan dianggap tidak bernilai.
Terkait
kuningan ini, aku jadi teringat kejadian di rumahku beberapa waktu
lalu. Saat itu, gerendel pintu rumah rusak. Kami memanggil tukang kayu
untuk memperbaikinya. Saat kami Tanya apakah perlu diganti atau tidak,
tukang kayu menyatakan tidak. Sebaiknya gerendelnya tetap kita
pertahankan, mengingat bahannya yang dari kuningan asli. Susah untuk
mendapatkan gerendel kuningan asli seperti itu di zaman sekarang,
kalaupun ada, pasti sangat mahal, sekitar 400ribu (haa.. hanya untuk
gerendel saja..). Jika diganti, sayang.. karena gerendel yang umum di
pasaran adalah gerendel aluminium yang mudah rusak, tidak tahan lama
seperti kuningan. Akhirnya kamipun memutuskan untuk mengganti
lempengannya saja. Huffp, ternyata kuningan memang mahal ya.. meskipun
sebanding dengan daya tahannya juga. Bahkan ibuku bercerita, banyak
pencuri di pasar yang mengincar anak timbangan kuningan, daripada
mengincar barang lain. Ga terlalu kentara, namun nilai jualnya sangat
mahal. Oh..oh..oh, ternyata..
Selain
karena industrinya, banyak persepsi masyarakat yang menyatakan, bahwa
warga Juana itu pinter-pinter, mengingat asupan protein (ikan) yang
mereka konsumsi memang lebih banyak daripada penduduk di wilayah lain.
Terkait dengan ini, aku juga teringat dengan teman-teman SMU-ku yang
berasal dari Juana. Sebagian besar memang mendominasi peringkat teratas
di sekolahku. Ya..ya..ya, stereotype yang dapat diterima..
Selain
ikan, maka produk perikanan yang lumayan terkenal dari daerah ini
adalah terasi. Hmm.. wangi dan kesedapannya memang dasyat !! Banyak
perantau asal Pati yang memilih terasi sebagai oleh-oleh untuk dibawanya
kembali ke daerah rantau. Aku pun demikian. Jika persediaan terasi di
dapur kosan menipis, maka tak ada kata lain selain sms/telpon ke rumah,
laporan, “Bu, kirimi terasi lagi yah.. dah abis ni..”
Selain
terasi, ada satu lagi oleh-oleh yang wajib dibawa: kecap manis. Ada 3
merk kecap yang cukup digemari warga Pati: kecap Lele, Bukur atau
Gentong. Merk terakhir adalah produksi dari Juana. Masing-masing merek
memiliki penggemar fanatik. Aku adalah penggemar kecap lele, sementara
teman dari Juana sangat menyenangi kecap Gentong. Ketika kami saling
bertukar, komentar kami sama, “Ah, kurang sedap.. masih enakan
kecapku..”
Selain
produk ekonomisnya, maka Juana juga memiliki produk seni dan budaya,
yaitu batik Bakaran dan ketoprak. Batik bakaran adalah batik tulis khas
Pati yang diproduksi warga desa Bakaran. Dahulu, batik Bakaran identik
dengan warna putih dan hitam, namun kini telah dimodif. Warna dasar kain
bermacam-macam, ada biru muda/tua, ada kuning kunyit, ada hijau (muda
dan tua), ada merah (marun dan pink) dst. Namun motifnya sama, yaitu
torehan hitam dan putih, yang dibentuk seperti amuba dan berbagai
makhluk bersel satu lainnya. Karena merupakan batik tulis, maka setiap
lembar batik Bakaran dihargai cukup mahal, yaitu 90ribu. Untuk sementara
ini, batik bakaran masih berwujud kain, belum dalam bentuk pakaian
jadi.
Sejak
munculnya isu pematenan batik oleh Malaysia, tren batik pun melanda
Pati. Batik Bakaran yang sekarat pun dihidupkan kembali. Para PNS di
Pati diwajibkan menggunakan batik Bakaran pada hari-hari tertentu.
Setiap instansi mengggunakan warna khusus, guru menggunakan merah marun,
sementara dinas pertanian menggunakan hijau, dan dinas kesehatan
kuning, dst.
Tren
batik ini pun menular padaku. Domisili sementaraku di Bali membuatku
wajib mempopulerkan batik Bakaran ini sebagai kain khas kampung halaman.
Pati memang belum populer. Kalau bukan warganya, siapa lagi yang akan
mengharumkan namanya.. Dan senangnya, saat hari pertama menggunakan
batik Bakaran biru tua sebagai kemeja, semua langsung menanyakan.. ah
unik, beli di mana tuh.. dan akhirnya, banyak pula yang nitip.. Lumayan,
jadi peluang penambahan uang saku juga..huehe2.
Produk
seni budaya kedua Juana adalah ketoprak. Hingga saat ini, masih ada
kelompok kesenian yang eksis di daerah ini. Bahkan adapula kelompok
ketoprak yunior, di mana pemain adalah siswa-siswa sebuah SD. Usaha
pelestarian budaya yang patut ditiru, semoga usaha ini tak berhenti di
satu generasi saja, namun terus kontinu.. sama seperti pelestarian musik
angklung di saung Kang Udjo Bandung. Kan jadi daya tarik tersendiri
juga tu..
Trangkil
Trangkil
adalah kecamatan termuda Pati, yang dimekarkan dari wilayah kecamatan
Wedarijaksa. Terletak 10 km dari pusat kota dan 7 km dari Juana. Ini
merupakan kampung kelahiranku. Di sini pulalah keluargaku masih
berdomisili hingga sekarang. Ada sebuah pabrik gula yang berdiri di
sini. Tak heran jika daerah pertanian di sekitar wilayah Pati didominasi
oleh tebu, terutama saat musim kemarau. Pabrik gula ini bernama PT.
Kebon Agung, merupakan cabang pabrik gula Malang. Tak heran jika
sebagian besar staf upper manajement dikirim dari sana. Mereka mendapatkan jatah perumahan di sekitar pabrik.
Dulu, semua staf itu kami anggap sebagai upper class di desa kami karena taraf kesejahteraannya kami anggap beberapa tingkat di atas penduduk
kebanyakan. Kehidupan mereka kurang menyatu dengan masyarakat sekitar,
jarang yang aktif dalam kegiatan desa. Jadi teringat dengan cerita
Andrea Hirata tentang karyawan PT. Timah. Ya kurang lebih samalah. Namun
segmentasinya tidak setajam itu. Perumahan staf PG tak dibatasi pagar
tinggi, kami masih bisa mengaksesnya. Tak ada sekolah khusus yang
didirikan untuk pendidikan anak-anaknya. Mereka bersekolah di tempat
yang sama dengan kami. TK yang didirikan PG pun masih bisa diakses
penduduk kampung. Demikian pula dengan fasilitas olahraganya.
Meskipun
bersekolah di tempat yang sama, penampilan anak staf tetap terlihat
beda dari anak kampung kebanyakan. Penampilan mereka lebih terawat,
barang yang dimilikinya pun lebih eksklusif. Kami akan senang sekali
jika diajak main ke rumah karena mainan yang mereka miliki bagus-bagus.
Aku jadi mengenal majalah Ananda dan kaset dongeng anak karena bergaul
dengan mereka.
Pabrik
gula Trangkil telah berdiri sejak pendudukan kolonial Belanda, entah
tahun berapa aku tak ingat.. Tapi yang jelas, nama administratur pabrik
dari zaman Belanda sampai sekarang masih terukir di batu depan kantor
administrasi pabrik. Jika diruntut dari masa tanam paksa Van den Bosch
yang mengenalkan komoditas perkebunan macam tebu, kopi, teh, kina, dll
di Jawa, sekitar tahun 1830-an, maka pendirian pabrik ini pasti tak jauh
dari masa-masa itu.
Pada
masa kecilku, tebu dipanen dan diangkut ke pabrik dengan lori yang
ditarik loko bermesin uap dan berbahan bakar kayu atau ampas tebu. Oleh
karenanya, ada jalur rel kereta api yang dibangun dari pabrik hingga ke
Runting, 3 km dari kota. Tebu yang diambil dari daerah di luar itu akan
diangkut dengan truk atau gerobak sapi (zaman jadul). Lori dan loko
tersebut adalah warisan dari zaman Belanda, sama seperti kereta kuno
yang ada di museum kereta di Ambarawa. Tahun pembuatan dan tulisan
Belanda terukir jelas di badan samping loko. Aku lupa, persisnya tahun
berapa. Saat musim giling, lori ini hilir mudik keluar masuk pabrik,
terutama pada pagi dan sore hari.
Sayangnya,
sejak pabrik mengalami krisis karena produktivitas yang makin menurun
dan membanjirnya gula impor, pengoperasian loko ini dihentikan. Aku tak
tahu apa alasan persisnya. Apakah karena pengoperasiannya yang tak
efisien atau alasan yang lain. Padahal terkadang keberadaan loko ini
menarik wisatawan juga lho.. aku sering melihat beberapa wisatawan asing
yang mengambil gambar loko ini saat sedang beroperasi. Jika pabrik mau,
mungkin ini bisa dikembangkan jadi objek wisata tersendiri, seperti
yang dikembangkan Museum Kereta Ambarawa. Tak tahulah aku, apakah loko
ini masih disimpan pabrik atau telah dijual. Yang jelas, kini relnya
telah diambil dan sebagian kayu bantalannya menjadi rebutan banyak orang
karena harga jualnya yang tinggi. Wajar, karena kayu jadul warisan
Belanda itu terbukti awet dan tahan lama.
Bagi
warga sepanjang rel, musim giling adalah masa yang menyenangkan,
terutama bagi anak-anak. Mereka bisa ikut menikmati manisnya tebu dengan
menarik diam-diam ruas tebu dari lori, saat lori ini memasuki wilayah
perkampungan. Selain itu, batang bunga tebu, yang biasa kami sebut
panah, juga menjadi berkah tersendiri. Kami bisa menyulapnya menjadi
berbagai macam mainan (mobil, kandang burung) ataupun pernak-pernik
seperti album foto, pigura. Pokoknya asik..!
Musim
giling pun diawali dengan Gantingi, yaitu sebuah festival untuk
mensyukuri dan berdoa agar proses giling tahun itu berjalan lancar.
Selain syukuran,
Gantingi juga diramaikan dengan pasar malam selama satu-tiga minggu.
Banyak stand yang dibangun di sepanjang jalan dari pabrik hingga
lapangan desa. Mereka menjual berbagai produk, mulai dari pakaian,
barang-barang kebutuhan, pernak-pernik hiasan rumah, makanan dan
terutama mainan untuk anak-anak. Berbagai jenis kesenian tradisional
juga dipertunjukkan, baik di dalam pabrik maupun lapangan. Pertunjukan
di pabrik biasanya hanya bisa dinikmati oleh karyawan dan keluarganya.
Biasanya merupakan ajang bagi karyawan ataupun anggota keluarganya untuk
menunjukkan bakat seninya. Meskipun bukan karyawan pabrik, namun
keluargaku pun pernah menikmati pertunjukan di dalam pabrik ini,
seingatku hanya dua kali. Dan saat itu adalah saat pertama kalinya aku
melihat bagian dalam pabrik yang dipenuhi oleh mesin-mesin tua yang
berukuran raksasa. Pengalaman menakjubkan yang terus terkenang sampai
sekarang.
Yap, gantingi adalah masa untuk memanjakan anak-anak. Berbagai mainan, mulai dari dremolen (komidi putar), ombak banyu, tong setan
dan rumah hantu bisa kami nikmati. Bagi remaja, Gantingi adalah saat
untuk ngeceng mencari jodoh. Mereka akan menggunakan kostum terbaiknya
setiap keluar jalan-jalan bersama teman-temannya. Kini, Gantingi tak
seramai masa dulu. Hanya berpusat di lapangan, tak lagi di sepanjang
jalan dari pabrik-lapangan. Namun bagi anak-anak, efeknya sama. Saatnya
dimanjakan!! Dan bagi orang tua, efeknya juga sama. Shopping time !!
Tak
hanya oleh pabrik gula, tapi aktivitas ekonomi di Trangkil juga
diramaikan oleh perdagangan, karena ada satu pasar yang cukup ramai di
pusat kecamatan. Selain pertanian, maka pembuatan batu bata dan genteng
juga banyak ditekuni warga. Nama Trangkil cukup terkenal dengan 2 produk
ini. Kegiatan ini terutama dilakukan pada musim kemarau. Mereka
melakukannya di sekitar rumah. Penjemuran hasilnya dilakukan di halaman
rumah atau bahkan di jalanan. Usaha ini padat karya, sebagian besar
tahapannya masih dilakukan dengan tenaga manusia, bukan mesin. Bahan
baku lempung/tanah liat dibeli dari Pasucen, desa tetangga yang
tegalannya banyak mengandung unsur lempung. Pembakaran bata dan genteng
biasanya dilakukan dengan bahan bakar kayu atau ampas sisa giling yang
biasa di sebut mblothong. Bata dan genteng diselimuti oleh
rambut (bahasa lokal untuk sekam) lalu dibakar dengan kayu/mblothong
tersebut. Sekam hasil pembakaran ini akan menjadi abu gosok yang akan
dijual kepada para pedagang telur asin atau ibu rumahtangga. Selain dua
jenis produk tersebut, ada pula industri rumahtangga yang menghasilkan
makanan kecil, yang bermerk bawang putih. Produknya cukup variatif, ada
sekitar 50 jenis makanan kecil yang dihasilkan, mulai dari kerupuk ikan,
ceriping pisang, singkong, gadung, sukun, sangkolu, dan berbagai macam
lainnya. Salah satu alternatif oleh-oleh juga. Dan makanan inilah yang
kupilih sebagai oleh-oleh tiap kali ke Bali. Tiap habis pulang, pasti
teman-temanku menanyakan, “Kerupuknya mana, mau donk..!”
Di beberapa wilayah Trangkil, khususnya di daerah pesisir, berkembang
pusat pendidikan Islam yang cukup terkenal, seperti Guyangan dan
Sambilawang. Setiap tahun diadakan haul peringatan hari kematian salah
seorang ulama di daerah tersebut. Haul biasanya disertai dengan karnaval
dan parade marching band dan rebana. Hiburan yang mengayikkan juga.
Banyak tambak yang dibangun di sepanjang pesisir.
Wedarijaksa.
Banyak
produk agrobis yang bisa didapatkan di wilayah ini, misalnya jambu bol.
Jambu ini berwarna merah tua jika telah matang, lumayan berair dan
rasanya kecut-kecut seger. Cocok untuk dirujak. Jika musim, bisa ditemui
di sepanjang jalan dari nJontro ke Ngrames. Banyak pedagang yang
menjualnya. Selain jambu bol, ada pula matoa. Buah ini banyak dihasilkan
di Ngurensiti. Hampir setiap rumah memiliki tanamannya. Bentuknya bulat
agak oval, kulitnya tipis, jika matang berwarna hijau kemerahan.
Rasanya merupakan kombinasi dari durian, rambutan dan kelengkeng. Hmm..
pokoknya yummy..
Margoyoso
Margoyoso
adalah kecamatan yang terkenal dengan pesantren dan sekolah Islamnya.
Daerah ini merupakan basis NU. Banyak ulama terkenal dari daerah ini,
misalnya Kyai Sahal Mahfud yang pernah menjadi ketua MUI. Selain itu,
daerah ini juga banyak dikunjungi warga berbagai daerah yang berziarah
ke makam syeh Mutamakkin, ulama perintis penyebaran Islam di wilayah
Pati. Selain ramai karena ziarah, maka haul dari berbagai ulama juga
silih berganti meramaikan daerah ini. Selain karena aktivitas
pendidikannya, maka Margoyoso, terutama daerah Ngemplak terkenal sebagai
penghasil pati kanji, atau yang lebih dikenal dengan nama tepung
tapioka. Aktivitas pengolahan ini berlangsung terus menerus, terutama
musim kemarau. Tak hanya dilakukan skala rumahtangga, namun juga
menengah/industri besar. Setiap kali melewati wilayah ini, hamparan
putih menghias di mana-mana. Tak hanya itu, bau kecing limbah kanji juga
tercium keras. Limbah ini mengalir dengan bebasnya ke sungai. Ga tahu
apakah ini membahayakan lingkungan atau tidak. Saat penelitianku di SMP
dulu, pemilik usaha tepung mengeluhkan tentang mulai berkurangnya debit
air tanah di wilayah ini. Pengolahan tepung ini sangat boros air dan
hampir semua usaha menggunakan pasokan air tanah sejak dari dulu. Jika
tak segera dipikirkan bagaimana alternatif selanjutnya, kelangsungan
usaha ini sangat mungkin terganggu karenanya. Pertambakan udang dan
bandeng juga dikembangkan di pesisir kecamatan ini.
Kayen
Di
daerah ini berdiri beberapa sekolah Islam. Selain itu, adapula daerah
yang mengolah kapuk randu, yaitu di desa Karaban. Kapuk randu ini dijual
dalam bentuk kapuk mentah ataupun bahan jadi seperti bantal, guling
atau kasur. Usaha ini mulai menurun mengingat makin maraknya kasur,
bantal dan guling yang terbuat dari busa.
Sukolilo
Sukolilo
adalah kecamatan ujung selatan Pati yang berbatasan dengan Kabupaten
Grobogan. Ada beberapa wilayahnya yang didiami suku Samin, yaitu
komunitas terasing yang lahir dari petani yang melarikan diri dari
kewajiban pajak dan tanam paksa Belanda dan pemerintah lokal saat
kolonialisme. Tokoh pemimpinnya bernama Samin. Mereka sangat terkenal
dengan pembangkangan ini. Sehingga pada zaman sekarang, anak/warga yang
suka membangkang sering disamakan dan diejek, “Dasar Samin..”. Aku juga
pernah mendapatkan panggilan Samin dari guruku karena bandel. Huehe2.
Orang Samin sering diidentikkan dengan penggunaan iket dan pakaian
hitam. Ke mana-mana mereka lebih memilih berjalan kaki, sama seperti
orang Baduy luar yang sering kujumpai menjual madu di kampus. Hingga
kini, mereka masih mempertahankan kesahajaannya dan enggan menyekolahkan
anaknya di lembaga pendidikan formal. Mereka menganggap pendidikan
terbaik adalah pendidikan oleh keluarga, internalisasi nilai-nilai dari
orang tua. Meskipun demikian, mereka mengakui adanya pemerintahan
daerah. Hal ini diwujudkannya dengan melakukan sedekah bumi, yaitu
mengirimkan hasil pertaniannya ke pemerintah, yang dianggapnya sebagai
persembahan, tanda pengakuannya. Jadi seperti penyerahan upeti kepada
raja-raja di zaman dulu ya..
Saat
ini masyarakat Saminlah (didukung elemen masyarakat lain) yang
berteriak keras terhadap upaya pemda untuk membangun pabrik semen di
wilayah ini. Hal ini lahir bukan semata-mata karena mereka terbiasa
membangkang, namun lebih pada kesadaran mereka untuk memelihara
lingkungan alam yang menjadi tempat bergantung hidupnya selama ini.
Kesadaran untuk memelihara sumber air yang mengairi lahan pertanian yang
mereka maupun masyarakat luas usahakan di daerah tersebut. Sementara
pemda bersikeras bahwa hal ini perlu dilakukan karena mampu menciptakan
lapangan kerja baru bagi penduduk, sehingga mereka tak perlu lagi boro
ke luar daerah. Entah siapa yang akan menang.. semoga hasil kompromislah
yang tercapai. Hasil yang bisa berdampak positif bagi kesejahteraan
masyarakat namun juga tetap mempertahankan kelestarian ekologi
pegunungan kapur.
Berbincang
tentang potensi Sukolilo, aku jadi teringat pada kunjunganku saat SMP
ke rumah salah seorang temanku. Neneknya mengusahakan minyak dari biji
jarak yang ditanamnya di tegalan. Menurut beliau, hal ini telah
dilakukannnya sejak dulu. Hasil penyulingan minyak jarak ini dijual ke
pengusaha batik Solo, yang menggunakannya untuk bahan bakar pembatikan
(entah di tahapan yang mana..). Jadi potensi pengembangan biodiesel
minyak jarak bisa dikembangkan di wilayah ini, karena mereka telah
memiliki akarnya sejak dulu. Yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah
bagaimana menciptakan pasar dan menjaga kestabilan harganya.
Gabus dan Winong
Gabus dan Winong adalah 2 kecamatan di wilayah selatan Pati. Identik
dengan Sukolilo, Pucakwangi, Jaken, Jakenan dan Kayen, wilayah ini
cukup kering, baik secara fisik maupun potensi. Kegiatan perekonomian
yang dikembangkan adalah pertanian tadah hujan. Hanya sebagian lahannya
yang mampu diolah dengan tebu atau tanaman palawija pada masa kemarau.
Saat kemarau, tanah di daerah ini sangat kering, nela, bahasa lokal
untuk tanah yang pecah-pecah. Beberapa waktu lalu, Winong sempat menjadi
daerah percontohan tambak bandeng tawar. Entah bagaimana
perkembangannya sekarang.. Sedangkan Mintorahayu, Gabus adalah sentra
perikanan lele. Hampir semua lele yang dijual di pasar-pasar Pati
dipasok dari daerah ini.
Batang
Batang
adalah kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Rembang. Daerah ini
juga berkembang sebagai sentra garam dan tambak, sama seperti Juana.
Tayu dan Dukuhseti
Tayu
dan Dukuhseti berkembang untuk usaha perikanan tangkap dan tambak.
Agrobisnis dengan produk Semangka juga berkembang di wilayah ini.
Cluwak
Cluwak
dikembangkan untuk perkebunan cengkeh dan pertanian tadah hujan. Usaha
batu kali juga berkembang, karena sungai-sungai besarnya menyediakan
pasokan yang cukup melimpah.
Gunungwungkal
Terus
terang aku pun belum mengunjungi kecamatan ini. Namun yang kudengar
dari seorang teman, daerah ini menjadi sentra ternak sapi. Ribuan sapi
diternakkan di wilayah ini.
Mungkin
itulah sekilas tentang Pati dan potensinya. Sebenarnya masih banyak
daerah yang belum terbahas. Namun, terbatasnya pengetahuan dan
kesempatan untuk eksplor membuatku belum mampu menuliskannya. Jika suatu
saat nanti aku berkesempatan ke Gunungwungkal, Jakenan dan Batangan
mungkin tulisan ini akan lebih komprehen..
Seiring
waktu, aku berharap page ini akan terus kulengkapi dengan berbagai
topik dengan Pati, misalnya wisata kulinernya, logat dan idiom bahasa
Pati yang khas serta bangunan-bangunan kuno sepeninggalan Belanda yang
masih bisa kita jumpai di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.