Senin, 04 Juni 2012

Cara Dahlan Iskan mendidik wartawan di Jawa Pos

Berikut adalah tulisan mantan Anak Buah Dahlan Iskan di Jawa Post Dulu...

Djono W Oesman
Oala Dahlaaan… Tega Nian Dikau (1)

Pemimpin tegas dan terarah, membuat organisasi solid dan cepat mencapai
tujuan. Sekaligus berisiko: Bisa menyakiti anggotanya. Semua orang
bebas memilih, dipimpin orang tegas atau tidak. Seperti halnya Pembaca
cerita ini bebas berpendapat, Dahlan Iskan seperti apa?
--------------------

Suatu hari di akhir 1984, saya tak punya berita. Pagi sampai jelang
petang keliling Surabaya yang panas dengan motor, hasilnya nihil. Sudah
4 bulan saya jadi wartawan Jawa Pos (JP), baru kali ini tak punya
berita. Rasanya grogi luar biasa.

Zaman itu, Pemimpin Redaksi
JP, Dahlan Iskan (kini bos PLN) sangat rajin dan galak. Sebelumnya,
saya sudah jadi wartawan Radar Kota. Pemrednya Zawawi Lematang, tapi
tak serajin dan segalak Pak Dahlan (dia biasa pakai kode: Dis).

Contoh: Dis setiap sore berjaga-jaga di pintu masuk kantor JP di Jalan
Kembang Jepun, Surabaya. Tujuannya satu: Tanya ke setiap wartawan yang
masuk, "Beritamu apa?” Selalu begitu. Setiap hari, seperti tak pernah
lelah.

Kalau ada wartawan menjawab: "Konferensi pers Dharma
Wanita, persiapan acara…" Dis langsung memotong: "Itu bukan berita. Apa
lagi?"

Wartawan cepat menjawab: "Ada press release dari Humas Walikota…" Dis sudah memotong lagi: "Juga bukan berita. Apa lagi?"

Bila wartawan menjawab : "Tak ada lagi, Pak.” Maka, Dis akan angkat
tangan tinggi-tinggi: "Sudah, kamu pulang saja. Hari ini kamu bukan
wartawan Jawa Pos." Artinya, mungkin besok dia wartawan JP, jika
membawa berita layak JP. kalau tidak, ya diusir lagi. Seminggu
berturut-turut diusir, dipecat.

Bagaimana bentuk berita layak
Jawa Pos? Sudah diberikan di briefing Dis, rutin setiap malam. Rumit,
dan cara mendapatkannya berat. Saya tahu, sebab sebelum di JP saya
sudah wartawan. Standar “Layak JP” lebih tinggi dibanding “Layak Muat”.
Berita “Layak Muat” yang dijadikan standar koran-koran lain (termasuk
Surabaya Post, saat itu rajanya di Surabaya), belum tentu “Layak JP”.

Kata Dis saat itu, hanya dengan begitu (standar tinggi) kita (Koran JP)
bisa mengalahkan Surabaya Post. “Kalau tidak, mending kita bubar saja.
Cari pekerjaan lain,” ujarnya.

Saat itu tiras JP sekitar
12.000. Ketika diambil-alih Majalah Tempo dan menunjuk wartawannya (Pak
Dahlan) jadi Pemred, 1982 (2 tahun sebelumnya) tiras 2.000. Sedangkan
Surabaya Post stabil 100.000 sejak 1970-an. (Belasan tahun kemudian
terbukti, Surabaya Post tersungkur).

DIUSIR? SIAPA TAKUT?
Jelang 16.00 saya ngopi di pinggir jalan dekat Tugu Pahlawan. Mau ke
kantor, ragu. Kabur (pulang) berarti menyerah. Ke kantor berarti siap
malu, diusir. Jika kabur, ada kemungkinan besok atau lusa akan terjadi
seperti ini lagi. Kalau sering terjadi, berarti saya tidak layak jadi
wartawan.

Akhirnya saya pilih ke kantor, siap malu.

Pukul 16.00 lewat, saya tiba di kantor. Motor tidak parkir di tempat
biasa (halaman kantor yang mepet trotoar), tapi di warung kopi, persis
seberang kantor. Saya ngopi lagi, sambil mengawasi pintu masuk kantor.

Tampak Dis berdiri, bersandar di meja front desk. Dia menyapa setiap
wartawan yang masuk. Sesekali dia ngumpet di balik pintu, tapi saya
tahu dia ada. Buktinya, wartawan yang baru masuk selalu tertahan
sejenak di dekat pintu. Pasti itu karena ditanya-tanya Dis.

Satu demi satu kawan-kawan saya masuk. Artinya, mereka punya berita
beneran, bukan abal-abal. Istilah kami “Layak JP”, bukan “Layak Muat”.

Sekitar sejam menunggu, pria setengah baya masuk kantor, salaman dengan
Dis, lantas mereka tertawa-tawa. Mereka ngobrol disitu sambil berdiri.
Inilah kesempatan. Hari hampir gelap, Bung. Kalau tak maju sekarang,
kapan lagi? Saya maju.

DUH... TERJEBAK dalam TOILET
Saat
menyeberang jalan, dada saya bergetar kencang. Spekulasi habis. Andai
gagal, malunya tambah fatal. Sebab, selain malu di depan karyawan front
desk dan bagian iklan (cewek cantik semua), ada tambahan penonton:
Tamunya Dis.

Seandainya saya tak disapa Dis, semuanya bakal
beres. Saya sudah punya strategi. Saya akan cari berita via telepon
kantor. Dalam waktu singkat, pasti saya bisa menghubungi beberapa
narasumber. Persoalan beres.

Ternyata saya lolos. Perhitungan
saya tepat. Dis memang melihat saya, tapi tak menyapa. Dia malah
senyum, sambil tetap ngobrol dengan sang tamu. Saya cepat lari naik
tangga lantai 2, menuju mesin ketik, mengetik "Surabaya, JP”. Sudah.
Tujuannya supaya mesin ketik itu tak dipakai wartawan lain. Maklum,
jumlah mesin terbatas. Lanjut ke meja telepon, ngebel sana-sini.

Saat ngebel dan belum dapat berita, saya lihat Dis naik tangga, menuju
ruang redaksi. Dari jauh, dia sudah melihat saya. Pasti dia mau
menyapa. Raut wajahnya kelihatan geram melirik saya.

Sebagai
gambaran, mencari berita via telepon: Dilarang keras, kecuali untuk
keperluan konfimasi (sudah dapat berita di lapangan, lalu konfirmasi ke
pejabat). Sebab, selain pemborosan pulsa, juga – ini paling penting –
berita yang dibuat wartawan pasti jelek, tanpa deskripsi.

Segera telepon saya letakkan, dan bergerak menuju toilet. Dis tak punya
kesempatan menyapa, karena jarak kami masih lebih dari 10 meter.
Apalagi, puluhan wartawan dan redaktur hiruk-pikuk, sibuk luar biasa.

Di dalam toilet, saya benar-benar terdesak. Panik hebat. Harapan saya
satu-satunya, moga-moga Dis larut dengan kesibukan. Sehingga dia
lengah. Lalu saya bisa kembali ke telepon, atau… nggak usah, deh. Lebih
baik kabur, pulang.

Jika saya sampai dicegat Pak Dahlan, saya
bakal dipermalukan di khalayak Redaksi. Puluhan Redaktur dan Wartawan
akan memandang saya sebagai orang tolol. Takut sekaligus menyesal.
Kalau tahu begini jadinya, mending tadi pulang saja.

Betapa
pun lamanya di toilet, toh saya harus keluar juga. Begitu pintu saya
buka, Dis sudah siaga sekitar dua meter dari toilet. Jadi, selama
beberapa menit terakhir dia hanya mengejar saya. "Beritamu apa, Dwo?"
sapanya. Wajahnya mengkerut, jelas kelihatan marah. Saya sudah kencing,
rasanya kok mau kencing lagi.

PERMAINAN, BARU DIMULAI...
Reflek saya jawab : "Biografi pembunuh yang tertangkap kemarin, Pak".
Dia takjub, tak menyangka. Berita pembunuhan yang dimuat semua koran
hari ini, menghebohkan Surabaya. Dengan wajah heran, dia bertanya:
"Narasumbernya siapa?" Saya berusaha tegas: "Keluarganya, Pak.”

Seketika wajah Dis berubah berseri-seri. Dia lantas berteriak
keras-keras: "Dirman.... Dirman.... Ini boksnya. Berita dwo, profil
Pembunuh....." Teriakan itu menarik perhatian puluhan wartawan dan
redaktur yang semula sibuk. Ini suasana biasa disana, setiap ada berita
kategori menarik.

Orang yang dipaggil Dirman adalah Sudirman,
Redaktur Kota, beranjak dari duduknya, lalu basa-basi menghampiri Dis.
"Siap, Pak," ujarnya. Kemudian Dirman mendekati saya, "Cepat diketik,
Dwo. Deadline kita hari ini maju, lho," ujarnya. Saya: “Siap…”

Saya menuju mesin ketik tadi, mencabut kertas bertuliskan "Surabaya,
JP”, menggantinya dengan kertas baru. Sebab, boks (berita bawah yang
dibatasi garis kotak itu) tak perlu tanda "Surabaya, JP”.

Baru, saya minta izin Dirman, "Saya keluar makan dulu, Mas." Diizinkan,
"Cepat, Dwo. Deadline maju lho, ya," katanya mengulang, sambil menunjuk
ke wajah saya. Saya gemetar:”Siaaaap…. (Depok, 11 Sept 2011)

(Saya benar-benar merasa sangat tertekan. Tindakan gendheng ini jangan
ditiru wartawan muda. Lalu, bagaimana saya mengatasinya? Tunggu
sambungan posting ini, Sabtu, 14 Apr 2012)

Oala Dahlaaan... Tega Nian Dikau (2-Habis)

Spekulasi bisa menimbulkan kesulitan. Tapi dengan spekulasi, hidup
berputar cepat. Menghasilkan dinamika. Menghasilkan greget. Spekulasi
sudah menjebak saya dalam kebohongan.
--------------------

Di halaman kantor, saya masih mencari cara mendapatkan berita profil
pembunuh. Tapi saya sudah lega bisa lolos dari tekanan. Dibanding saat
di dalam toilet, kini saya merasa merdeka. Walaupun bingung. Merdeka
tapi bingung.

Saya berusaha menenangkan diri. Kemerdekaan
harus dinikmati, mengabaikan bingungnya. Saya berlari-lari di tempat,
sambil menggerakkan badan, supaya stress hilang. Tak terasa ditegur
Satpam, Pak Kotjo (alm): “Laopo (ngapain), Mas, sampeyan kok seperti
petinju mau naik ring?” Saya tersenyum, baru sadar bahwa gerak-gerik
saya dipandang aneh.

Sebenarnya, sejak siang tadi saya sudah
memburu berita itu, tapi gagal. Alamat yang saya minta dari Eddy
Soedaryono (Wartawan JP yang ngepos di Polda Jatim) ternyata salah.
Alamat di sebuah gang di kawasan Kalimas itu ternyata rumah kosong.
Tanya Ketua RT, RW, dan beberapa pemuda disana, semua menyatakan tak
tahu. Yang begini kan tidak mungkin dilaporkan ke Pak Dis.
*****

DUNIA BELUM KIAMAT, BRO...
Langit di ufuk barat kemerahan. Matahari belum benar-benar tenggelam.
Rombongan burung Kuntul terbang ke arah selatan. Mungkin mereka pulang,
setelah seharian mencari makan, ikan di Selat Madura. Tanda sebentar
lagi hari akan gelap.

Motor saya starter, berangkat ke
Kalimas lagi. Saya harus bisa. Saya ini Wartawan Republik Indonesia.
Masak cari alamat orang saja tak bisa? Kalau hanya cari berita via
telpon, siapa yang tak bisa? Maaf... saya ngerem-ngerem (meredam) hati
yang galau.

Tiba di Kalimas, saya gunakan cara begini: Masuk
dari rumah ke rumah, tanya ke tuan rumah, mana alamat pembunuh?. Saya
targetkan, 20 rumah saya datangi, masak tak ada yang mau memberitahu?

Saat saya datang siang tadi, sebenarnya saya sudah curiga pada
orang-orang yang saya tanyai alamat pembunuh. Gaya mereka cenderung
menghindar. Main lempar-lemparan. Si A bilang, si B yang tahu. Saya
tanya si B, diberitahu si C yang kenal. Tanya ke C, dilempar ke orang
lain lagi.

Kelihatan, mereka takut walau hanya memberitahu
alamat. Padahal, pembunuhnya sudah di tahanan polisi. Dari gelagat
mereka, saya yakin alamat itu di sekitar sini. Cuma, tadi saya tidak
habis-habisan.

Kini harus digenjot. Kapling halaman sudah
disiapkan, Dis sudah yakin berita ini bagus, kawan-kawan sudah
terlanjur kagum. Kalau sampai saya tidak dapat, tamatlah dunia ini.
Saya terjebak dengan kebohongan saya sendiri.

Rumah demi
rumah saya masuki. Semua penghuninya menggeleng. Tapi, belum sampai 10
rumah saya masuki, seorang ibu berbisik: "Dulu rumah keluarganya disitu
(rumah kosong), kemarin pindah kesana.”

Luar biasa. Ada saja
cara Allah SWT menolong saya. Saat pamitan, saya berterima kasih pada
ibu itu yang wanti-wanti (berpesan berulang-ulang) minta namanya
dirahasiakan.

Ibu itu memberitahu, katanya, kagum pada
profesi wartawan. Dia ingin, kelak anaknya jadi wartawan. Dia sudah
melihat saya pada kedatangan saya di kampung itu siang tadi. Dia lihat
saya bertanya ke beberapa pemuda. Cuma, karena saat itu saya tak
bertanya padanya, dia juga enggan memberitahu.

Jarak rumah
yang ditunjuk si ibu (alamat pembunuh) dengan rumah kosong sekitar 200
meter, masih di kawasan Kalimas. Juga melewati gang sempit (lebar
sekitar 3 meter).

Motor yang semula saya tuntun, karena
terlalu banyak banyak kecil berlarian, dianjurkan warga agar dinaiki
saja. Saya menurut, menjalankan motor sangat pelan. Sesekali mengerem
mendadak, karena bocah-bocah lari dengan bebasnya.

Begitu
motor berhenti di depan rumah yang saya tuju, ibu-ibu yang semula petan
(mencari kutu) sambil duduk di pinggir jalan, menghentikan kegiatannya.
Mereka mengamati saya. Bocah-bocah yang semula berlarian, menghentikan
permainannya, ikut memperhatikan saya.

Rumah itu sangat
sederhana. Lebar sekitar 3 meter, berdempetan dengan rumah-rumah di
sebelahnya. Pintu rumah warna hijau, pas dengan batas pinggir jalan.
Tak ada halaman sama sekali. Pinu itu tertutup, hanya jendela kaca nako
yang terbuka.

Rumah ini pasti spesial bagi warga. Sebab,
kemarin heboh. Ada penggerebekan. Sehingga warga pasti ingin tahu, apa
lagi yang akan terjadi sekarang. Jaket kulit hitam saya menambah rasa
ingin tahu mereka. (kayak intel, Bro....)

UNTUNG, WARTAWAN REPUBLIK INDONESIA
Saya disambut lelaki usia sekitar 60. Wajahnya kelihatan sangat lelah.
Dia berusaha tersenyum ramah. Saya tanya namanya dan hubungannya dengan
pembunuh (saya sebut nama pembunuh), dia menyatakan, sebagai bapaknya.
Orang yang tepat. Pas...

Namun, saat saya memperkenalkan diri
(wartawan) wajahnya seketika mengkerut. Sambil garuk-garuk kepala, dia
mengatakan: “Saya tidak mengundang wartawan, ya Mas.”

Cepat
saya jawab, bahwa berita di koran-koran hari ini sudah menyudutkan nama
baik keluarga Bapak. “Saya yakin semua orang punya sisi baik dalam
hidupnya. Saya akan menulis sisi baik anak Bapak,” kata saya, spekulasi.

Jangan berharap narasumber langsung senang dengan rayuan model begini.
Dia tampak gelisah. Saya sadari, dia sedang mencari cara halus mengusir
saya.

Sebelum dia menemukan cara itu, saya ceritakan bahwa
saya kawannya si A (preman terkenal Surabaya Utara). Masa lalu saya
kelam. Semua ini trik. Saat bicara, saya menggerak-gerakkan tangan,
agar dia lihat saya bertato di lengan kiri. Gaya saya seperti ibu-ibu
memamerkan gelangnya saat bicara. Berhasil. Dia melirik tato saya.

Pelan-pelan wajahnya melunak. Tapi, begitu menyinggung materi
wawancara, meskipun dibalut obrolan, dia kembali sensitif. Proses
wawancara sangat alot. Saya harus melakukan improvisasi.

Saya
paham, keluarganya malu. Apalagi, saat wawancara orang bergerombol,
persis dekat pintu masuk rumah. Diantara mereka yang bergerombol, ada
beberapa pemuda yang masih kerabatnya. Ini dikatakan si bapak.

Data cukup, saya keluarkan kamera poket (kecil) dari tas. Aturan JP,
berita boks (yang dibatasi garis kotak di bagian bawah halaman koran)
selalu sepaket dengan foto.

Mendadak, suasana berubah tegang
dan panas. Bapaknya membentak-bentak, menolak dipotret. Bentakan itu
membuat tiga pemuda yang semula di luar rumah, masuk mendekati saya.

Sebelum dipukul, saya katakan setengah berteriak: “Awas... saya
Wartawan Republik Indonesia. Saya tidak memotret.” Sambil berkata
begitu, kamera saya masukkan lagi ke tas.

Suasana tegang.
Saya perhatikan, tiga pemuda yang berjarak sekitar 3 meter dari saya
itu, tidak lagi maju. Wajah mereka yang semula sangar, berangsur-angsur
kendor. Saya simpulkan mereka grogi (mungkin gara-gara tambahan kata
Republik Indonesia itu).

Tapi, mata mereka tetap memandang
tajam ke saya. Sebaliknya, saya juga tidak menghindari pandangan
mereka. Saya tahu, mereka sudah grogi, sehingga saya paksakan menatap
mata mereka, meskipun sebenarnya saya takut. Posisi saya tidak
memungkinkan menghindar, seandainya dikeroyok.

Beberapa saat
kemudian, bapak tuan rumah buka suara: “Sudah... sudah. Pokoknya saya
tidak mau difoto. Kalau kamu sudah selesai, sudah... pulang saja. Tapi
saya tidak mengusir, ya,” katanya.

Saya pamit diiringi
pandangan mata tidak suka semua orang yang bergerombol. Motor saya
tuntun. Tapi, lagi-lagi ada ibu yang menyuruh saya menjalankan motor.
Saya starter, meninggalkan rumah itu.

Di atas motor, di ujung
gang, saya potret suasana gang. Harus ada foto. Kilatan lampu membuat
orang berteriak-teriak marah. Tapi saya sudah tancap gas, kabur.

Di kantor 21.00, Dirman marah-marah. "Kamu makan di Sidoarjo, ya?”
Gelagatnya benar-benar marah, meskipun perkataannya kedengaran guyon.
Pak Dis lebih marah lagi. Dia menggebrak-gebrak meja. “Beritanya memang
ada atau tidak?” bentaknya.

Saya jawab: “Ada Pak. Ini segera
saya ketik,” sambil memasang kertas di mesin ketik. Anehnya, saya sudah
tidak takut seperti saat terjebak di dalam toilet. Padahal, kini Pak
Dis lebih marah dibanding tadi. Saya lebih takut saat berada di rumah
narasumber. Mungkin, kini saya kekenyangan rasa takut. Akhirnya jadi
kebal.

Berita saya hajar tulisannya di mesin ketik, sampai
kertas melompat. Sebab ketikan sudah sampai lembar paling bawah, handel
mesin ketik kuno merek Olivetti itu masih saya kokang. Ganti kertas,
lembar kedua...

Pak Dis jalan mondar-mandir gelisah. Deadline
sudah lewat. Dalam kondisi begini biasanya dia mengedit sendiri berita
wartawan, tidak dilakukan Redaktur. Tapi kali ini lain, “Dwo, kalau
sudah selesai, langsung ke layout,” ujarnya. Nada suaranya sudah tidak
marah. Artinya, berita langsung ke layouter untuk dipasang, tanpa
editing lagi. Waktu mestinya sudah habis.

PASRAH, DIHABISI PAK DAHLAN
Cak Lan, juru cetak foto, nggrundel (menggerutu). Dia baru selesai
mencetak foto di ruang cetak. Katanya, foto terlalu gelap. Mendengar
itu Pak Dis menghampiri Cak Lan, melihat fotonya.

Disinilah
hati saya berdebar-debar. Pak Dis pasti tahu bahwa berita ini baru saya
dapatkan (malam), melihat fotonya gelap. Bukan siang tadi, seperti saya
katakan ke dia waktu di depan toilet. Kali ini saya pasrah. Terserah,
mau dihabisi pun, saya pasrah. Aduh biyung.... malangnya nasibku...

Belum sempat Pak Dis bergerak, ketikan berita selesai. Saya lari masuk
ruang layouter menyerahkan berita ini, sekaligus menghindari dia.
Ternyata dia tidak mengikuti saya ke ruang layouter. Buktinya, foto
dibawa Cak Lan (bukan Pak Dis) ke ruang layouter untuk diserahkan ke
petugas layout.

Di ruang layouter, berita diketik lagi di
komputer. Hasilnya diserahkan ke petugas pra-cetak. Saya mengawalnya
terus sampai berita dipasang, jangan sampai saya bertemu Pak Dis.
Sebenarnya saya hanya menunda-nunda ‘diadili’.

Usai semua proses, saya keluar dengan lutut gemetar. Bagaimanapun saya harus keluar. Pasrah saja, Bung.

Pak Dis ternyata tidak kelihatan. Kata seorang teman, dia sudah turun
ke percetakan di lantai 1. Saya bersyukur, hati rasanya plong.

Muncul rasa hormat saya yang luar biasa besar terhadap Pak Dis. Sebagai
wartawan senior, dia tahu saya berbohong. Tapi rupanya dia lebih
memperhatikan hasil daripada proses. Hebatnya, dia sengaja turun ke
percetakan di lantai 1, supaya saya bisa pulang tanpa takut bertemu dia
lagi.

Pulang, sambil nyetir motor, saya menyanyi. Lagunya Rhoma: “Ya, nasib... ya nasib.... mengapa begini....” (Depok, 12 Sept 2011)

Sumber:
http://www.facebook.com/groups/dahlaniskangroup/doc/422604064424674/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.