Kamis, 14 Juni 2012

Belajar Bisnis dari Liem Sioe Liong 1

sumber : http://teguhidx.blogspot.com/2012/06/belajar-dari-liem-sioe-liong.html

Liem Sioe Liong alias *Sudono Salim*, seperti yang anda ketahui, telah
wafat pada tanggal 10 Juni 2012 kemarin, pada usia 95 tahun (atau tepatnya
96 tahun kurang 1 bulan). Meski telah tiada, namun Om Liem, demikian beliau
biasa disapa, akan selalu dikenang sebagai pendiri dari salah satu grup
usaha terbesar dalam sejarah Republik Indonesia, Grup Salim. Sebagai
seorang taipan, maka tentu banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Om
Liem. Seorang teman penulis pernah berkata, ‘Semua orang juga tahu
bagaimana Om Liem merangkak susah payah dalam membangun imperium bisnisnya.
Beliau adalah contoh sempurna bagi siapapun yang hendak sukses dalam
merintis usaha dari titik nol.’****


Om Liem (kita singkat saja Liem) lahir di Distrik Fuqing, Provinsi Fujian,
Tiongkok, pada tahun 1916. Pada masa itu negeri Tiongkok sedang dilanda
konflik dan perang berkepanjangan dengan bangsa Jepang, sehingga Liem kecil
dan keluarganya tidak pernah merasa tentram untuk hidup sebagai keluarga
petani. Hal ini mendorong kakak Liem, Liem Sioe Hie, untuk mencari
penghidupan yang lebih baik diluar negeri, dan tujuannya adalah ke arah
selatan, ke sebuah kota bernama Kudus. Pada tahun 1938, pada usia 22 tahun,
Liem kemudian menyusul kakaknya. Kapal layar yang membawa Liem mendarat di
Surabaya, dan empat hari kemudian kakaknya berhasil menemuinya untuk
kemudian membawanya ke Kota Kudus, Jawa Tengah.****

** **

Di Kudus, Liem bekerja di sebuah pabrik tahu dan kerupuk. Tidak seperti
pekerja pabrik lainnya yang hanya bekerja rutin saja seperti biasa, Liem
memperhatikan bahwa di Kota Kudus terdapat banyak industri rokok kretek,
dan industri tersebut membutuhkan tembakau dan cengkeh dalam jumlah besar
setiap tahunnya. Liem menangkap peluang tersebut, dan ia segera mencoba
usaha perdagangan tembakau dan cengkeh, kemungkinan berbekal modal dari
mertuanya yang kebetulan saudagar terpandang (Liem menikah dengan istrinya,
*Liliani*, pada usia 24 tahun). Dan ternyata peruntungannya lebih ke
cengkeh. Pada awal tahun 1940-an, pada usia 25 tahun, Liem sudah menjadi
salah satu bandar cengkeh yang cukup besar di Kudus. Pada usia semuda itu,
koneksinya sudah tersebar hingga ke perkebunan-perkebunan cengkeh di
Sumatera dan Sulawesi.****

** **

Namun kejayaan usahanya hanya seumur jagung. Pada tahun 1942, Jepang
mendarat di Indonesia, dan menghentikan hampir seluruh kegiatan ekonomi
masyarakat. Bisnis perdagangan cengkeh milik Liem seketika bangkrut, dan
seluruh kegiatan usaha Liem berhenti sama sekali selama kurang lebih tiga
tahun. Hingga akhirnya pada tahun 1945, setelah Jepang meninggalkan
Indonesia, Liem melihat peluang bisnis yang lebih besar ketimbang kembali
berdagang cengkeh, yaitu bisnis penyediaan logistik, obat-obatan, hingga
persenjataan bagi para tentara revolusi, yang mempertahankan RI dari upaya
Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Setelah mencari koneksi kesana
kemari, Liem akhirnya bertemu dengan seseorang yang ternyata merupakan ayah
dari *Fatmawati*, istri *Bung Karno*. Bisnis penyediaan logistik tentara
milik Liem pun dimulai. Di ketentaraan, Liem berkenalan dengan banyak
perwira TNI (Tentara Nasional Indonesia), terutama Mayor Kemal Idris,
dan *Letkol
Soeharto.*****

** **

Pada tahun 1950, Liem pindah ke Jakarta karena diajak mitra bisnisnya,
Soeharto, yang dipindahkan ke Jakarta karena diangkat menjadi Perwira Kodam
Diponegoro. Pada tahun-tahun ini Liem masih setia dengan bisnis penyediaan
logistik untuk tentara, terutama Angkatan Darat. Pada awal tahun 1950-an
pula, Liem mendirikan pabrik sabun untuk memenuhi kebutuhan tentara, dan
juga pabrik-pabrik lainnya. Bisnisnya semakin maju seiring dengan
menanjaknya karier Soeharto di ketentaraan.****

** **

Cerita bisnis Liem terus berlanjut. Pada pertengahan 50-an, Liem melihat
peluang di bisnis perbankan, setelah melihat banyak pelanggan usahanya yang
tidak mampu membayar tunai dalam membeli barang yang ia jual, kecuali
dengan cara kredit. Alhasil pada tahun 1957, Liem bersama pegawai
kepercayaannya, *Mochtar Riady, *mendirikan Central Bank Asia, yang di
tahun 1960 berubah nama menjadi *Bank Central Asia (Bank BCA). *Lalu, Liem
juga melihat bahwa orang Indonesia sangat tergantung kepada nasi sebagai
bahan pangan, padahal sumber pangan tidak hanya nasi. Visinya yang
mengatakan bahwa rakyat Indonesia membutuhkan alternatif sumber pangan,
mengantarkannya pada pendirian perusahaan perdagangan tepung terigu, *PT
Bogasari*, pada tahun 1968.****

** **

Pada tahun yang sama ketika Bogasari berdiri, yaitu tahun 1968, Liem
diperkenalkan oleh Pak Harto dengan sesama pengusaha asal Fujian, *Djuhar
Sutanto*. Ketika itu Pak Harto sudah menjadi Presiden. Kedua pengusaha ini
ternyata cocok, terlebih Djuhar juga pernah tinggal cukup lama di Kudus.
Setahun kemudian, duet Liem-Djuhar mendirikan *CV Waringin Kentjana (WK)*,
perusahaan yang bergerak dalam bisnis ekspor impor komoditas, termasuk
komoditas gandum (bahan baku tepung terigu). Melalui WK, Liem kemudian
memperoleh izin impor gandum dari luar negeri untuk kemudian diolah menjadi
tepung terigu di Indonesia. Bogasari kemudian berubah dari perusahaan
perdagangan menjadi perusahaan produsen tepung terigu, dan berhasil
mendirikan pabrik tepung terigu pertamanya pada tahun 1972, berlokasi di
Tanjung Priok, Jakarta.****

** **

Di WK, Liem yang menempati posisi sebagai *chairman, *menemukan anak muda
berbakat yang sebelumnya hanya merupakan karyawan dari mitra bisnis Djuhar,
Lim Chin Song, bernama *Ibrahim Risjad*. Risjad kemudian diangkat sebagai
direktur keuangan. Belakangan, sepupu Pak Harto yang bernama *Sudwikatmono*,
juga bergabung sebagai direktur perizininan ekspor impor. Kwartet
Liem-Djuhar-Risjad-Sudwi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal *Grup
Salim.* Setelah sukses membangun pabrik tepung terigu untuk Bogasari, pada
tahun 1974, Grup Salim mendirikan perusahaan semen, *PT Indocement. *Pada
tahun 70-an ini, diluar trio BCA-Bogasari-Indocement, Grup Salim juga
mendirikan banyak perusahaan dengan ukuran yang lebih kecil, yang bergerak
di berbagai bidang. Diluar mengembangkan usaha milik sendiri, Grup Salim
juga membantu seorang insinyur muda nan brilian, *Ciputra*, untuk
mendirikan PT Metropolitan Kentjana, sebuah perusahaan properti.****

** **

Lalu dimana posisi *Indofood*? Indofood sebenarnya baru didirikan
belakangan. Jadi ceritanya, setelah sukses dengan Bogasari, pada awal tahun
1980-an Liem mulai berpikir untuk membuat produk turunan dari tepung
terigu, tentunya untuk menghasilkan nilai tambah yang pada akhirnya
meningkatkan keuntungan perusahaan. Setelah mencoba membuat berbagai jenis
produk, akhirnya pada tahun 1982, Liem menciptakan produk mie instan dengan
merk *Indomie. *Tidak ada keterangan soal apakah ketika itu produk Indomie
diletakkan dibawah Bogasari atau tidak, tapi yang jelas, nama ‘Indofood’
ketika itu belum ada. Selain Indomie, Grup Salim juga memproduksi berbagai
jenis makanan lainnya.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.