Di suatu
kampung yang bernama Kolansari masyarakatnya bermatapencaharian
sebagai petani dengan kehidupan yang tenang damai dan penuh kekeluargaan.
Tersebutlah ada 5 sobat karib sebut saja namanya Karmono, Narto, Anto,
Tejo dan Giman. Mereka berteman sejak kecil, banyak
kegiatan yang mereka lakukan setiap hari, selain sekolah mereka juga membantu
orang tuanya di sawah. si Karmono misalnya anak yang berotot kuat ini sudah
terbiasa mencari rumput untuk makanan sapi dan kambingnya. Pekerjaaan mencari
rumput biasanya dilakukan dengan memakai sabit untuk memotong dan
mengumpulkannya ke dalam keranjang. Teman-teman yang lain juga sama membantu
orang tuanya mengolah sawah dan mengurus ternak.
Apa sih yang dilakukan seorang anak petani ?
Teman-teman mungkin belum pernah membayangkan bagaimana rasanya jadi petani,
Tapi bagi anak-anak kampung pekerjaan jadi petani sudah mereka geluti sejak
kecil. Si Narto misalnya sejak habis subuh saat libur sekolah dia sudah bangun
pagi untuk berangkat kerja membantu menjaga padi di sawah. kenapa padi perlu
dijaga ya ??? Biasanya padi itu selalu jadi tempat mencari makan bagi burung
burung di alam. Dan pada musim padi menguning, burung-burung akan mengincarnya
untuk kebutuhan makanannya. Sebenarnya kalau jumlahnya sedikit tidak jadi
masalah tapi saat musim panen jumlah burung banyak banget sehingga petani
mungkin bisa tidak kebagian panen maka perlu dihalau. Untuk mengusir burung,
pak tani membuat model orang-orangan di sekitar sawah agar burung takut dan
juga diperlukan seseorang untuk menjaga dan menunggu sawah biasanya petani
mendirikan gubug atau rumah-rumahan guna berteduh. Anak-anak ini biasanya dapat
jatah jaga di sawah sehabis sekolah dan waktu libur.
Untuk
membantu mengusir burung mereka menggunakan
alat yang terbuat dari batang pohon yang berbentuk huruf Y sering disebut
sebagai ketapel. Ada
yang ber- ukuran besar dan ada yang kecil. Si Giman lebih suka ketapel dengan
ukuran besar katanya sih, biar
nanti kalau peluru kerikilnya kena
burung, burungnya tidak bisa terbang lagi alias mati dan akhirnya burungnya
bisa disembelih dan dimakan, “ Woow
lezat sekali daging burung itu, apalagi kalau digoreng dan dikasih bumbu
“,katanya. Tapi apa boleh ya makan burung hasil berburu gitu teman-teman ?
Si Giman biasanya saat mau nembak (istilah lempar peluru ketapel) dia
baca basmallah dulu biar kalau burung mati jadi halal untuk
dimakan. Apa tidak kasihan ya, bisa bisa kan
burungnya jadi punah. Si Giman punya pendapat sendiri tentang hal itu,” Burung
di sini kan
terlalu banyak malah bisa jadi musuh petani jadi sah-sah aja kalau dibunuh ”.
Beda sama si Tejo yang lebih suka burung yang kena ketapelnya, biasanya ia
rawat dan dipelihara di rumah hingga wajar saja jika koleksi burung di rumahnya
banyak.
Teman-teman
bisa membayangkan tidak suasana saat menjaga sawah. Wuah asyiknya kalau sedang
ngusir burung ramai banget dech suasananya. Orang-orang berteriak
nyaring saling bersautan,” hayo … hayooo dar pergi hayooo…, burung pun pergi
tapi sebentar kemudian datang lagi. Jika sawahnya luas bisa dibayangkan
bagaimana kewalahan dan capeknya Narto, Anto dan kawan kawan untuk menghalau
burung. Makanya mereka membawa perbekalan minuman dan makanan. Gimana ya
rasanya menikmati makan di tengah-tengah sawah ? Wow… ini yang dinamakan makan
dengan sentuhan alam, betapa bahagia dan nikmat sekali di bawah sapuan angin
yang sepoi dan perut yang keroncongan maka tak satupun makanan yang tersisa.
Biasanya Si Anto sering mengingatkan kepada teman-temanya bahwa semua yang
dinikmati ini patut disyukuri karena Allah SWT telah memberikan nikmatnya. Ya
meski dengan cucuran keringat dan peluh kebutuhan hidup bisa terpenuhi.
Bekerja di sawah
memang berat teman-teman, dibanding kalau kerja di kantoran. Di Sawah
udaranya panas kena terik matahari bisa-bisa bikin kulit jadi hitam. Makanya
kebanyakan dari kaum petani kulitnya kasar dan gelap. Ketika sore menjelang
para petani saatnya pulang ke rumahnya masing-masing begitu juga dengan Karmono
dan kawan-kawanya. Sehabis maghrib anak-anak ini pergi ke mushola Al-ikhlas, di
sana sudah
menunggu ustad Ashadi. Ustad inilah yang sehabis maghrib selalu mengajari baca
Alqur’an. Wuah menyenangkan sekali bisa belajar Al-qur’an sama teman-teman. Si
Anto ternyata lebih jago membaca Qur’an dibanding yang lain. Dia bahkan sudah
hafal juz 30. Walaupun usianya paling muda diantara yang lain. Si Giman paling
malas bahkan dia masih belajar mengeja huruf hijaiyah (arab). Sementara Karmono, Tejo dan Narto lebih suka belajar dengan materi yang
sama. Suasana sehabis maghrib di kampung Kolansari memang banyak diisi
anak-anak untuk belajar mengaji di masjid. Suasana seperti itu sudah tercipta
sejak jaman kakek-nenek mereka. Tidak ada yang nonton TV antara waktu maghrib
sampai Isya. Dan itu mereka pahami betul karena mereka meyakini bahwa saat
petang dan pagi hari adalah saat yang tepat untuk berdzikir dan mengingat Allah
SWT. Hampir satu jam waktu telah berlalu saatnya sholat isya dan waktunya
pulang ke rumah untuk belajar dan istirahat malam. Saat jam belajar anak-anak
biasanya belajar berkelompok dengan bergantian tempat. Sungguh kekompakan yang
tak tergoyahkan. Dengan belajar kelompok mereka saling membantu dalam memahami
materi pelajaran dan tentunya diskusi dalam mengerjakan PR (pekerjaan rumah).
Asyik kan.
Suasana seru santai dan diselingi canda tawa mengiringi diskusi. Tak terasa
waktu berlalu cepat hingga waktu belajar jam 9 malam selesai. Mereka pun pulang
ke rumah masing-masing ada yang nonton TV dulu dan ada juga yang langsung tidur
di kamar. Saat tidur lamunan mereka menerawang ke masa depan tentang cita-cita
si Karmono yang pengin jadi pedagang sukses, Si Narto yang pengin jadi
pengusaha garmen, Si Anto yang pengin jadi ustad yang punya banyak usaha, si
Tejo yang pengin jadi Insinyur pertanian
dan si Giman yang pengin jadi lurah di kampungnya. Oh indahnya semoga mimpi
mereka bisa terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.