Minggu, 29 Januari 2012

Cerita Anak Anak Alam Dukuh Kolan


Di suatu kampung yang bernama Kolansari masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani dengan kehidupan yang tenang damai dan penuh kekeluargaan. Tersebutlah ada 5 sobat karib sebut saja namanya Karmono, Narto, Anto, Tejo dan Giman. Mereka berteman sejak kecil, banyak kegiatan yang mereka lakukan setiap hari, selain sekolah mereka juga membantu orang tuanya di sawah. si Karmono misalnya anak yang berotot kuat ini sudah terbiasa mencari rumput untuk makanan sapi dan kambingnya. Pekerjaaan mencari rumput biasanya dilakukan dengan memakai sabit untuk memotong dan mengumpulkannya ke dalam keranjang. Teman-teman yang lain juga sama membantu orang tuanya mengolah sawah dan mengurus ternak.
 Apa sih yang dilakukan seorang anak petani ? Teman-teman mungkin belum pernah membayangkan bagaimana rasanya jadi petani, Tapi bagi anak-anak kampung pekerjaan jadi petani sudah mereka geluti sejak kecil. Si Narto misalnya sejak habis subuh saat libur sekolah dia sudah bangun pagi untuk berangkat kerja membantu menjaga padi di sawah. kenapa padi perlu dijaga ya ??? Biasanya padi itu selalu jadi tempat mencari makan bagi burung burung di alam. Dan pada musim padi menguning, burung-burung akan mengincarnya untuk kebutuhan makanannya. Sebenarnya kalau jumlahnya sedikit tidak jadi masalah tapi saat musim panen jumlah burung banyak banget sehingga petani mungkin bisa tidak kebagian panen maka perlu dihalau. Untuk mengusir burung, pak tani membuat model orang-orangan di sekitar sawah agar burung takut dan juga diperlukan seseorang untuk menjaga dan menunggu sawah biasanya petani mendirikan gubug atau rumah-rumahan guna berteduh. Anak-anak ini biasanya dapat jatah jaga di sawah sehabis sekolah dan waktu libur.
Untuk membantu  mengusir burung mereka menggunakan alat yang terbuat dari batang pohon yang berbentuk huruf Y sering disebut sebagai ketapel. Ada yang ber- ukuran besar dan ada yang kecil. Si Giman lebih suka ketapel dengan ukuran besar katanya sih,  biar nanti  kalau peluru kerikilnya kena burung, burungnya tidak bisa terbang lagi alias mati dan akhirnya burungnya bisa disembelih dan dimakan,  “ Woow lezat sekali daging burung itu, apalagi kalau digoreng dan dikasih bumbu “,katanya. Tapi apa boleh  ya  makan burung hasil berburu gitu teman-teman ? Si Giman biasanya saat mau nembak (istilah lempar peluru ketapel) dia baca basmallah dulu biar kalau burung mati jadi halal untuk dimakan. Apa tidak kasihan ya, bisa bisa kan burungnya jadi punah. Si Giman punya pendapat sendiri tentang hal itu,” Burung di sini kan terlalu banyak malah bisa jadi musuh petani jadi sah-sah aja kalau dibunuh ”. Beda sama si Tejo yang lebih suka burung yang kena ketapelnya, biasanya ia rawat dan dipelihara di rumah hingga wajar saja jika koleksi burung di rumahnya banyak.
Teman-teman bisa membayangkan tidak suasana saat menjaga sawah. Wuah asyiknya kalau sedang ngusir burung  ramai banget  dech suasananya. Orang-orang berteriak nyaring saling bersautan,” hayo … hayooo dar pergi hayooo…, burung pun pergi tapi sebentar kemudian datang lagi. Jika sawahnya luas bisa dibayangkan bagaimana kewalahan dan capeknya Narto, Anto dan kawan kawan untuk menghalau burung. Makanya mereka membawa perbekalan minuman dan makanan. Gimana ya rasanya menikmati makan di tengah-tengah sawah ? Wow… ini yang dinamakan makan dengan sentuhan alam, betapa bahagia dan nikmat sekali di bawah sapuan angin yang sepoi dan perut yang keroncongan maka tak satupun makanan yang tersisa. Biasanya Si Anto sering mengingatkan kepada teman-temanya bahwa semua yang dinikmati ini patut disyukuri karena Allah SWT telah memberikan nikmatnya. Ya meski dengan cucuran keringat dan peluh kebutuhan hidup bisa terpenuhi.
 Bekerja di sawah  memang berat teman-teman, dibanding kalau kerja di kantoran. Di Sawah udaranya panas kena terik matahari bisa-bisa bikin kulit jadi hitam. Makanya kebanyakan dari kaum petani kulitnya kasar dan gelap. Ketika sore menjelang para petani saatnya pulang ke rumahnya masing-masing begitu juga dengan Karmono dan kawan-kawanya. Sehabis maghrib anak-anak ini pergi ke mushola Al-ikhlas, di sana sudah menunggu ustad Ashadi. Ustad inilah yang sehabis maghrib selalu mengajari baca Alqur’an. Wuah menyenangkan sekali bisa belajar Al-qur’an sama teman-teman. Si Anto ternyata lebih jago membaca Qur’an dibanding yang lain. Dia bahkan sudah hafal juz 30. Walaupun usianya paling muda diantara yang lain. Si Giman paling malas bahkan dia masih belajar mengeja huruf hijaiyah (arab).  Sementara Karmono, Tejo dan  Narto lebih suka belajar dengan materi yang sama. Suasana sehabis maghrib di kampung Kolansari memang banyak diisi anak-anak untuk belajar mengaji di masjid. Suasana seperti itu sudah tercipta sejak jaman kakek-nenek mereka. Tidak ada yang nonton TV antara waktu maghrib sampai Isya. Dan itu mereka pahami betul karena mereka meyakini bahwa saat petang dan pagi hari adalah saat yang tepat untuk berdzikir dan mengingat Allah SWT. Hampir satu jam waktu telah berlalu saatnya sholat isya dan waktunya pulang ke rumah untuk belajar dan istirahat malam. Saat jam belajar anak-anak biasanya belajar berkelompok dengan bergantian tempat. Sungguh kekompakan yang tak tergoyahkan. Dengan belajar kelompok mereka saling membantu dalam memahami materi pelajaran dan tentunya diskusi dalam mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Asyik kan. Suasana seru santai dan diselingi canda tawa mengiringi diskusi. Tak terasa waktu berlalu cepat hingga waktu belajar jam 9 malam selesai. Mereka pun pulang ke rumah masing-masing ada yang nonton TV dulu dan ada juga yang langsung tidur di kamar. Saat tidur lamunan mereka menerawang ke masa depan tentang cita-cita si Karmono yang pengin jadi pedagang sukses, Si Narto yang pengin jadi pengusaha garmen, Si Anto yang pengin jadi ustad yang punya banyak usaha, si Tejo yang pengin jadi Insinyur  pertanian dan si Giman yang pengin jadi lurah di kampungnya. Oh indahnya semoga mimpi mereka bisa terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.