Rhoma
Irama hanyalah satu dari ribuan pemuka agama, apapun agamanya, yang
berbicara seperti itu -berdakwah berdasarkan ayat kitab suci yang
diyakininya benar- di ruang tertutup, di komunitas homogen dan terbatas.
Bukan di depan publik dan tidak untuk disiarkan di media massa.
Saya
percaya banyak ulama dan pendeta juga kalau berdakwah lebih tendensius
daripada itu, dan itu tidak apa-apa, bukankah kita seharusnya tidak
tahu?
Yang amat salah
adalah pihak yang sengaja merekam, sengaja melapor, dan sengaja
menyebarluaskan. Ada maksud apa? Ini harus juga diselidiki. Dialah yang
tengah dan telah berhasil menimbulkan keresahan
antar umat beragama dan berpotensi konflik di ranah pilkada Jakarta
yang amat panas itu.
Saya
mengerti mengapa Rhoma menangis. Bayangkan kalau berdakwah saja sudah
dimata-matai, lalu dilarang. Jadi ingat jaman Sudomo dan Benny Murdani.
Kitab
suci, kalau mau jujur, juga penuh dengan SARA. Bayangkan: "halal
darahnya", "jihad atas nama agama", "tanah yang dijanjikan", "bangsa
pilihan", "bangsa terkutuk selamanya", dll, dst .... . Itu sebabnya,
tidak baik mendiskusikan agama di ranah publik. Dakwah untuk mengajak
umat masuk agama tertentu (missionaries) itu sudah lewat masanya -masa
dimana manusia masih primitif dan harus diajari norma-norma. Saat ini
kalau ada yang begitu -pendeta mendakwah di perkampungan yg sudah Islam,
atau kyai mendakwah di perkampungan yang sudah Hindu, dst- justru
menciptakan persoalan bagi kedamaian
dunia.
Semoga kasus
ini tidak membuat dakwah dan ceramah agama di rumah-rumah ibadah
dimata-matai atau dilarang. Semoga ini juga bukan pembungkaman atas
kebebasan berpendapat, sekalipun berpendapat tentang calon-calon
pemimpin kita (malah perlu ya kita dapat perspetif dari yang dianggap
panutan ttg sosok calon-calon pemimpin). Meskipun Rhoma bukan panutan
saya, saya anggap yang dilakukannya tidak salah. Sekali lagi, yang salah
adalah perekam dan penyebarnya. (Bayangkan, kita bicara di pengajian
dan ngomongin Aburizal Bakri, misalnya, lalu pembicaraan kita ada yang
merekam dan melaporkan sebagai penghinaan).
Akan
halnya 7 menit rekaman, yang hanya diizinkan untuk disiarkan menit ke
1-3 di media massa, ada pertanyaan media (Indiarto, TV One tadi malam,
misalnya): "Mengapa menit ke 4-7 tak boleh disiarkan? Berarti lebih seru
muatannya daripada menit 1-3?",
tanggapan saya: Panwaslu yang membocorkan perbedaan muatan antara menit
ke menit itu tidak etis, malah menimbulkan keingintahuan dan
menimbulkan kebencian -sebelum menontonnya (karena prasangka). Menurut
saya juga, jawaban atas pertanyaan itu: "Katakanlah memang menit ke 4-7
itu lebih seru dari yg sudah beredar, itu justru tak seharusnya
ditayangkan, karena tidak semua fakta layak terbit/tayang."
Sumber : Sirikit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.