Senin, 06 Agustus 2012

Kasus Rhoma Irama " SARA PILKADA Jakarta "


Rhoma Irama hanyalah satu dari ribuan pemuka agama, apapun agamanya, yang berbicara seperti itu -berdakwah berdasarkan ayat kitab suci yang diyakininya benar- di ruang tertutup, di komunitas homogen dan terbatas. Bukan di depan publik dan tidak untuk disiarkan di media massa.

Saya percaya banyak ulama dan pendeta juga kalau berdakwah lebih tendensius daripada itu, dan itu tidak apa-apa, bukankah kita seharusnya tidak tahu?

Yang amat salah adalah pihak yang sengaja merekam, sengaja melapor, dan sengaja menyebarluaskan. Ada maksud apa? Ini harus juga diselidiki. Dialah yang tengah dan telah berhasil menimbulkan keresahan antar umat beragama dan berpotensi konflik di ranah pilkada Jakarta yang amat panas itu.

Saya mengerti mengapa Rhoma menangis. Bayangkan kalau berdakwah saja sudah dimata-matai, lalu dilarang. Jadi ingat jaman Sudomo dan Benny Murdani.

Kitab suci, kalau mau jujur, juga penuh dengan SARA. Bayangkan: "halal darahnya", "jihad atas nama agama", "tanah yang dijanjikan", "bangsa pilihan", "bangsa terkutuk selamanya", dll, dst .... . Itu sebabnya, tidak baik mendiskusikan agama di ranah publik. Dakwah untuk mengajak umat masuk agama tertentu (missionaries) itu sudah lewat masanya -masa dimana manusia masih primitif dan harus diajari norma-norma. Saat ini kalau ada yang begitu -pendeta mendakwah di perkampungan yg sudah Islam, atau kyai mendakwah di perkampungan yang sudah Hindu, dst- justru menciptakan persoalan bagi kedamaian dunia.

Semoga kasus ini tidak membuat dakwah dan ceramah agama di rumah-rumah ibadah dimata-matai atau dilarang. Semoga ini juga bukan pembungkaman atas kebebasan berpendapat, sekalipun berpendapat tentang calon-calon pemimpin kita (malah perlu ya kita dapat perspetif dari yang dianggap panutan ttg sosok calon-calon pemimpin). Meskipun Rhoma bukan panutan saya, saya anggap yang dilakukannya tidak salah. Sekali lagi, yang salah adalah perekam dan penyebarnya. (Bayangkan, kita bicara di pengajian dan ngomongin Aburizal Bakri, misalnya, lalu pembicaraan kita ada yang merekam dan melaporkan sebagai penghinaan).

Akan halnya 7 menit rekaman, yang hanya diizinkan untuk disiarkan menit ke 1-3 di media massa, ada pertanyaan media (Indiarto, TV One tadi malam, misalnya): "Mengapa menit ke 4-7 tak boleh disiarkan? Berarti lebih seru muatannya daripada menit 1-3?", tanggapan saya: Panwaslu yang membocorkan perbedaan muatan antara menit ke menit itu tidak etis, malah menimbulkan keingintahuan dan menimbulkan kebencian -sebelum menontonnya (karena prasangka). Menurut saya juga, jawaban atas pertanyaan itu: "Katakanlah memang menit ke 4-7 itu lebih seru dari yg sudah beredar, itu justru tak seharusnya ditayangkan, karena tidak semua fakta layak terbit/tayang."


Sumber : Sirikit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.