Ia merasa heran mengapa tanda bahaya Emergency Locator Beacon Aircraft (ELBA) atau Emergency Locator Transmitter (ELT) yang seharusnya secara otomatis langsung berfungsi ketika ada kecelakaan tidak bisa dimonitor di Singapura, Australia, bahkan Indonesia.
Menurut dia, apa pun yang terjadi di atas tekanan 5G, kedua ELT/ELBA yang dipasang di pesawat seharusnya secara otomatis menyala. "Kedua tanda bahaya yang berada di hidung dan roof rack pesawat seharusnya terdeteksi selama 3 kali 24 jam dari Singapura, Indonesia, dan Australia," kata Roy melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Kamis, 10 Mei 2012.
Roy juga menanyakan keganjilan turunnya pesawat hingga ketinggian 6.000 kaki. Padahal, ketinggian pegunungan itu sekitar 7.000 kaki.
Roy mengatakan hal yang paling penting untuk segera diinvestigasi terkait tragedi Sukhoi adalah isi rekaman terakhir pilot pesawat Sukhoi Superjet 100 itu. Selain itu, Pemandu Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller) Bandara Soekarno Hatta juga perlu dicek. “Apakah ada 'sesuatu' sebelum akhirnya lost contact,” kata Roy.
Sebelumnya, pesawat komersial Sukhoi Superjet 100 hilang dari pantauan radar Rabu siang, 9 Mei 2012. Pesawat itu lepas landas dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma pukul 14.00 dan hilang kontak pukul 14.33.
Pagi ini Sukhoi Superjet 100 itu telah ditemukan. Kepala Badan SAR Nasional Laksamana Madya Daryatmo mengatakan meski lokasi jatuhnya pesawat sudah ditemukan, tetapi kondisi pesawat belum bisa dipastikan karena belum dilakukan evakuasi ke lokasi.
MITRA TARIGAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.