Rabu, 19 September 2012

Jokowi Ahok Lebih Unggul dari Foke Nara

Gran Melia, 14 September 2012. Debat pilkada DKI 2012 yang ditayangkan langsung oleh JakTV ini mempertemukan duel pasangan calon yang sebenarnya kurang seimbang, sederhananya karena adanya perbedaan karakter yang jomplang gitulah. Maaf, subyek imelnya mungkin tergolong bombastis, tapi berikut penjelasannya.
 
1 – 0. Ketika Jokowi mempresentasikan moda angkutan dan kawasan rusun pinggiran sungai, wah saya pikir ini orang setidaknya nggak asal janji, tapi sudah punya bayangan Jakarta bakal dibenahi seperti apa. Orangnya santun, berbicara dengan bahasa yang dimengerti kalangan menengah ke bawah.
 
2 – 0. Entah karena sudah dari sononya, gaya bicaranya yang arogan tidak bisa disembunyikan. Pernyataan “this is my show” karena tidak mau ucapannya dipotong menandakan dia tidak menghargai lawan debatnya. Lalu dengan mudah emosinya tersulut saat pemprov DKI dituding daerah terkorup versi PPATK. Tambah blunder lagi bahwa di Jakarta tidak ada yang namanya konflik horisontal, yang ada sebatas “singgungan”.
 
3 – 0. Prasetya Mulia pastinya bangga banget bisa meluluskan orang seperti Basuki Tjahja Purnama a.k.a Ahok. Ceplas ceplos, to the point, dan punya kalimat kunci di akhir pidatonya ala motivator gitu. Ungkapan “kalau yang atasnya lurus, bawahnya pasti lurus” masih terngiang.
 
4 – 0. Sebaliknya, Universitas Borobodur kayaknya berasa gimana gitu punya alumni kayak bang Nara ini. Ditanya apa, jawabannya kemana. Bilang orang bermobil di Jakarta artinya udah pada sejahtera, lha kata panelisnya aja itu khan karena kepaksa sebab moda angkutan umumnya bobrok. Malah ngejelasin cara bikin jalan, timbunin batu, pasir, terus diaspal. Sepertinya jatah 2 – 3 menit yang diberikan buat menjawab pertanyaan pun dianggap terlalu lama, lha wong jadinya malah mirip stand up comedy. Ngakak banget pas beliau nyapa berulang kali : pak ahoooookkk pak ahooookkk... ( mirip gaya Jojon kalau manggil Cahyono )
 
5 – 0. Dari segi kekompakan, terlihat Foke mendominasi pidato, sedangkan bang Nara cuman kebagian berapa detik gitu pas awal acara. Menyadari bahwa ini nggak bagus kesannya, mulai deh di beberapa segmen akhir om Nara ini dikasih jatah ngomong. Lha, yang ada malah blunder terus ngomongnya nggak nyambung kemana mana. Kalau melihat gejala begini, bisa dipahami kenapa wagub Prijanto minta mundur aja.
Beda ama Jokowi yang kelihatan fine2 aja tuch kalau Ahok ngambil alih pas ditanya soal teknis. Malah kalau diibaratkan, Jokowi kepalanya, Ahok badannya.
 
Melihat gelagat begini, pantas saja Foke-Nara sering ogah kalau diminta ikutan debat di layar kaca, lha wong undangan buat tampil di Mata Najwa aja ditolak, mungkin maunya di acara semacam Mario Teguh Golden Ways aja. Takut terbuka kelemahan komunikasi publiknya secara terang benderang ( apalagi kalau pas kepancing emosinya ), padahal di berbagai media massa sudah sering dibahas, ini contohnya.
Ke wartawan, bilangnya : “mata lo dimana”
Ke korban kebakaran, bilangnya : “kalo lo nyolok Jokowi, bangunnya di Solo aja sana”.
Ke komunitas etnis, bilangnya : “yang nggak milih betawi, ntar KTP-nya dicabut”.
Ke presenter acara debat, bilangnya : “this is my show”.
Haduh...
  
Sumber : Media care

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.