Gran Melia, 14 September 2012. Debat pilkada DKI 2012 yang ditayangkan
langsung oleh JakTV ini mempertemukan duel pasangan calon yang sebenarnya
kurang seimbang, sederhananya karena adanya perbedaan karakter yang jomplang
gitulah. Maaf, subyek imelnya mungkin tergolong bombastis, tapi berikut
penjelasannya.
1 – 0. Ketika Jokowi mempresentasikan moda angkutan dan kawasan rusun
pinggiran sungai, wah saya pikir ini orang setidaknya nggak asal janji, tapi
sudah punya bayangan Jakarta bakal dibenahi seperti apa. Orangnya santun,
berbicara dengan bahasa yang dimengerti kalangan menengah ke bawah.
2 – 0. Entah karena sudah dari sononya, gaya bicaranya yang arogan tidak
bisa disembunyikan. Pernyataan “this is my show” karena tidak mau ucapannya
dipotong menandakan dia tidak menghargai lawan debatnya. Lalu dengan mudah
emosinya tersulut saat pemprov DKI dituding daerah terkorup versi PPATK. Tambah
blunder lagi bahwa di Jakarta tidak ada yang namanya konflik horisontal, yang
ada sebatas “singgungan”.
3 – 0. Prasetya Mulia pastinya bangga banget bisa meluluskan orang seperti Basuki
Tjahja Purnama a.k.a Ahok. Ceplas ceplos, to the point, dan punya kalimat kunci
di akhir pidatonya ala motivator gitu. Ungkapan “kalau yang atasnya lurus,
bawahnya pasti lurus” masih terngiang.
4 – 0. Sebaliknya, Universitas Borobodur kayaknya berasa gimana gitu punya
alumni kayak bang Nara ini. Ditanya apa, jawabannya kemana. Bilang orang
bermobil di Jakarta artinya udah pada sejahtera, lha kata panelisnya aja itu
khan karena kepaksa sebab moda angkutan umumnya bobrok. Malah ngejelasin cara
bikin jalan, timbunin batu, pasir, terus diaspal. Sepertinya jatah 2 – 3 menit
yang diberikan buat menjawab pertanyaan pun dianggap terlalu lama, lha wong
jadinya malah mirip stand up comedy. Ngakak banget pas beliau nyapa berulang
kali : pak ahoooookkk pak ahooookkk... ( mirip gaya Jojon kalau manggil Cahyono
)
5 – 0. Dari segi kekompakan, terlihat Foke mendominasi pidato, sedangkan
bang Nara cuman kebagian berapa detik gitu pas awal acara. Menyadari bahwa ini
nggak bagus kesannya, mulai deh di beberapa segmen akhir om Nara ini dikasih
jatah ngomong. Lha, yang ada malah blunder terus ngomongnya nggak nyambung
kemana mana. Kalau melihat gejala begini, bisa dipahami kenapa wagub Prijanto
minta mundur aja.
Beda ama Jokowi yang kelihatan fine2 aja tuch kalau Ahok ngambil alih pas
ditanya soal teknis. Malah kalau diibaratkan, Jokowi kepalanya, Ahok badannya.
Melihat gelagat begini, pantas saja Foke-Nara sering ogah kalau diminta
ikutan debat di layar kaca, lha wong undangan buat tampil di Mata Najwa aja
ditolak, mungkin maunya di acara semacam Mario Teguh Golden Ways aja. Takut
terbuka kelemahan komunikasi publiknya secara terang benderang ( apalagi kalau
pas kepancing emosinya ), padahal di berbagai media massa sudah sering dibahas,
ini contohnya.
Ke wartawan, bilangnya : “mata lo dimana”
Ke korban kebakaran, bilangnya : “kalo lo nyolok Jokowi, bangunnya di Solo
aja sana”.
Ke komunitas etnis, bilangnya : “yang nggak milih betawi, ntar KTP-nya
dicabut”.
Ke presenter acara debat, bilangnya : “this is my show”.
Haduh...
Sumber : Media care
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.