Stop trying to turn your weakness into your strength. Begitu bunyi kolom
UltimateU, Rene Suhardono @reneCC, saya baca di Kompas tadi pagi. Ide
yg sudah sering saya dengar, cuma pagi tadi jadi sesuatu yang baru.
Iya, kenapa ya kita kadang suka memaksakan diri menutup
kelemahan kita dengan mati-matian belajar, ikut workshop, baca buku dan
artikel, bahkan ambil kuliah sampai S3. Padahal bidang itu bidang
kelemahan kita dan parahnya bidang yang tidak dia sukai.
Kita
mati-matian secara sadar maupun tidak, berfokus memoles kelemahan kita
agar orang lain tidak tahu itu kelemahan kita. Padahal orang-orang juga
tidak peduli sebenarnya.
Coba bayangkan kalau effort kita, waktu, tenaga, biaya kita fokuskan pada passion kita. Pada bidang
yang kita cintai. Kita mungkin akan menemukan dan membangun kekuatan
sejati kita. Mungkin sekali kita akan jadi master di bidang tersebut.
Kebalikannya, jika kita mengerjakan kelemahan kita, kita akan menjalani aktivitas
yang membosankan, meletihkan, dan membuat frustrasi. Dan kemungkinan
besar outputnya akan buruk juga. Ironisnya, dalam realita kehidupan ini,
kita terpaksa menjalani kelemahan kita ketimbang passion kita. Entah
karena tuntutan hidup, mencari nafkah, permintaan orang tua atau
lingkungan dan lain-lain.
Saya jadi ingat film Perahu Kertas yang
saya tonton minggu lalu. Salah satu isu dalam film yang diangkat dari
novel karya Dee Lestari ini adalah benturan antara following your
passion dan realita tuntutan hidup ini. Buat yang belum nonton, tonton
deh. Film yang inspiring!
Diceritakan seorang Kugy, pemeran utama, yang sangat passionate dengan
penulisan dongeng. Tapi setelah lulus kuliah, dia menjalani
realita bekerja di perusahaan advertising sebagai seorang copywriter.
Sambil memendam cita-cita, satu hari nanti dia bisa mewujudkan impiannya menjadi penulis dongeng.
Teman dekat sekaligus "calon" kekasih
Kugy, Keenan, sempat menyindir, "Jadi kamu menjadi orang lain dulu
beberapa waktu, lalu baru balik lagi menjadi diri kamu yang sejati?".
Sementara itu Keenan, pemuda gondrong tipe pemberontak, memutuskan kabur dari
rumah dan keluar dari kuliah ekonomi yang dipaksakan orang tuanya dan
melukis di sebuah sanggar di Ubud Bali.
Tapi di akhir cerita, dia
harus kembali ke Jakarta dan menjalani realita mengelola perusahaan
ayahnya karena sang ayah terkena stroke, disebabkan depresi sepeninggal
Keenan.
Selain Perahu Kertas, ada dua film lawas favorit saya yang membahas
tentang passion, Dead Poets Society dan 3 Idiots. Buat Anda yang belum
menonton film tersebut silakan tonton. Di dua film itu bahkan lebih
ironis lagi. Orang rela bunuh diri, dari pada harus
hidup dalam realita hidup tuntutan orang lain.
Film baru Step Up Revolution, yang sekarang masih tayang di bioskop,
juga mengangkat isu passion ini. Padahal film ini dibuat di Amerika yang
notabene negara maju. Ternyata di sana pun isu passion versus realita
hidup ini masih asik untuk dibahas dan laku dijual.
Masih banyak sekali orang yang mengeluh dengan realita pekerjaan dan
aktivitas yang sekarang di jalani. Yang tidak sesuai dengan keinginan
hati atau passion-nya. Kita melakukan aktivitas hanya sebagai rutinitas
untuk menghidupi hidup kita. We just living not make a life. Lebih parah
lagi jika aktifitas yang dijalaninya itu merupakan bidang kelemahan
kita.
Mau bukti? Coba cek Senin pagi, cek timeline Twitter atau Facebook atau
status Blackberry, lebih banyak mana orang yang semangat atau orang yang malas-malasan berangkat ke kantor atau ke aktivitasnya?
“I don't like Monday” yang dulu dinyanyikan Bob Geldof, selalu berkumandang setiap Senin di dalam hati banyak dari kita.
Pertanyaan untuk diri kita masing-masing: Sudahkah kita bekerja dalam
passion kita? Atau mungkin pertanyaan yang lebih mendasar lagi: Sudahkan
kita tahu apa passion kita?
.
sumber
Muadzin F Jihad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.