Kamis, 29 November 2012

Bertasbih Bersama Angin dan Burung

Malam melewati pagi lagi, entah berguliran yang keberapa kali. Seakan cahaya siang  tak mampu menembus gelap pekatnya angan. Malam menjadi begitu panjangnya. Malam melewati pagi lagi, selalu serasa begitu keadaannya. Ini yang keberapa kali ?. Sudah tidak terhitung. “Hari yang keberapakah sekarang ?.” Menjadi pertanyaan menyergah, memotong lalu lintas kesibukan didalam pikiran. Seperti sebuah tanya terbesit dalam kesadarannya namun selintas gelap lagi. Dan malam terus saja melewati pagi. Entah sudah yang keberapa kali. Waktu tak terasa, tak berasa, tak membekas apa-apa, hanya gundah dan rasa iba diri saja. 

Dilaluinya saja perjalanan sang raga, menembus liarnya beton-beton kota dan kancah hiruk pikuknya manusia. Besok adalah hari ini. Begitulah keyakinan. Maka dipaksanya saja badan untuk terus merayapi jalan-jalan ibu kota. Demi membunuh ketakutannya sendiri. Ketakutan yang terus tersembunyi, “Apakah nanti jika tak begini…?, dan anak istri akan makan apalagi ?.”  Tak terbersit dalam ingatannya, jika cahaya matahari telah menumbuhkan padi dan tanaman lainnya untuk menjamin rejeki manusia.

Mengapa dengan ketakutannya ?. Dan dia bersama manusia-manusia lainnya, ketakutan atas takdirnya sendiri. Makanya mereka menjadi begitu. Bagai lebah yang pecah sarangnya, lepas mereka, liar, kemana saja terbang, menghambur, di sepanjang jalan-jalan, bertebaran menyelusup lorong-lorong yang kumuh dan bau, mereka jalani itu semua, dalam romantika anak manusia. Tanpa pernah mengerti, sampai dimanakah nanti. Sayangnya  mereka juga tetap tak megenali cahaya-Nya yang senantiasa menyapa bersama matahari.  

Dalam kesadaran yang semakin menipis, dalam keadaan hidup serasa hanya malam hari saja, syukurlah ada seberkas cahaya, menyergah hati, “Akankah hidup hanya begini ?.”. Telah diperjalankan badannya, berjalan rahsa,  tanpa iba, berjalan tidak dengan hati, hilang empaty, hampa dankosong, kering dan mati, “Mestikah hidup tidak perlu dimaknai ?.”   Selalu saja dihinggapi perasan itu. 

Dan mata terbuka sudah, tampaklah dunia, begitu luas, mengapa kemudian diri serasa merasa sendiri saja ?. Bertebaran manusia-manusia yang rela menyingsingkan lengan baju mereka, melakukan tindakan nyata, menolong sesama, menampung dan menyekolahkan anak yatim, mengayomi anak-anak jalanan. Melakukan dengan hati, demi perikemanusiaan itu sendiri. Merek atelah memeberikan hatinya untuk menolong dan mengangkat harkat kemanusiaan anak-anak yatim. Tanpa khutbah, tanpa retorika, biasa saja. sebagaimana matahari yang selalu terbit.

Mereka (telah) berhenti mempertanyakan tindakan Tuhannya, mereka berhenti mempertanyakan takdirnya, mereka hanya punya hati dan itulah yang mereka berikan, hanya itu. Simple dan mudah saja.  Dengan hatinya mereka menyatukan gerak dengan gerak alam semesta. Bersatu dalam tasbih alam semesta, bersama makhluk lainnya, menggerakkan alam raya ini dengan satu tindakan nyata. Untuk hidup dan kehidupan itu sendiri, demi harkat dan martabat manusia dan perikemanusiaan.

Ada diantara mereka, dengan keterbatasan raganya, keterbatasan dalam geraknya, keterbatasan dalam penglihatannya, keterbatasan dalam pendengarannya, dan lain sebagainya. Namun mereka mampu menginspirasi ribuan manusia lainnya untuk melakukan ‘tasbih’ yaitu gerak nyata kehidupan. Mereka memberikan hatinya untuk sesama, memberikan hatinya untuk melindungi makhluk-makhluk lainnya, menyelamatkan tanaman, binatang, serta lingkungannya, bergerak harmonis bersama alam semesta yang tengah memperbaiki dirinya terus menerus. Tasbih mereka begitu nyata.

“Hati mereka bersama, angin, burung-burung, gunung-gunung, dan seluruh alam semesta ini. Hati bersama dalam kesatuan tasbih, bersatu dalam kesatuan gerak-NYA, gerak semesta alam.”

Terlihat sebagai aktifitas yaitu satu langkah nyata , karenanya, masih perlukah kita bertanya, “Mampukah kita dalam makom bertasbih bersama angin, burung-burung, dan gunung-gunung ?.” Jika hati kita tidak bersama mereka, dan jika raga kita tidak melakukan tindakan nyata, menyatukan gerak (aktfitas) memperbaiki keadaan ini semua. 

Masihkah kita bertanya, jika tangan kita aniaya membunuhi mereka, mengambili hak-hak mereka, jika ucapan dan hati kita tidak sama dengan tindakan kita, kita selalu mengumpat, dan kita juga  tidak pernah melakukan perbuatan apa-apa. Sungguh karena ini, kita tidak mampu melihat keindahan didalam  itu semua maka bagaimanakah kita akan mampu bertasbih bersama angin, gunung dan burung-burung sebagaimana nabi Daud as ?.
Malam kemudian sunyi, sepi sekali, kajian ini entah berapa lama diam di tempat, diam begitu saja. Ada rasa bersalah yang hebat, mengapalah diri ini juga begitu adanya. Satu langkah kecil saja tidak bisa ?. Merubah, ya merubah arah jiwa kita untuk menjadi seperti itu. Tidaklah berat, namun kenapa tidak bisa ?. Maka kajian ini ditulis saja apa adanya. Dalam tangisan yang begitu dalam, mengerti, memahami namun tidak mampu berbuat apa-apa. Diri tidak mampu bertasbih bersama mereka, angin, burung dan gunung-gunung. Melakukan gerak bersama mereka, dalam gerak-NYA, yang maha sempurna. Karena diri belum berbuat apa-apa. Maka diri hanya berbisik lirih dengan malu, “Maafkanlah !.” 

Entah sebab apa, kajian ‘Bertasbih Bersama Angin dan Burung’, berhenti mengendap dalam kesadaran dan tidak mampu dihantarkan. Sudah sekian lama. Sepertinya tidak ada daya untuk  menuliskannya,  tidak ada keinginan untuk menggerakkan jari-jari, ada rasa enggan yang  membekukan rahsa. Hanya mampu diam mengamati  sambil menunggu pergerakan dan lintasan hati. Berdoa memohon pengajaran-Nya.  Memohon ampunannya, bertasbih, bertahmid, bertakbir dalam alunan nafas. Jika pun  harus dihantarkan semoga kajiannya, menjadi bermakna dan ada manfaatnya. Dan semoga saja daya ini terus bergerak menstimulasi,  dengan pengharapan senantiasa dalam lindungan dan hidayah-Nya. 

Berangkat dari sebuah pertanyaan, mungkinkah manusia urban mampu bertasbih bersama gunung, angin dan juga burung-burung ?. Lihatlah keadaannya, berangkat di subuh pagi hari dan pulang ketika bulan sudah menanjak tingi. Mungkinkah ?. Kalau tidak mungkin. Akankah berita dari Al qur an hanya menjadi sepenggal berita, sekedar sebuah  bacaan saja tanpa mampu kita maknai lebih dari itu ?. Jikalau mungkin. Bagaimanakah keadaan hal, yaitu keadaan realitas suasana saat sedang mengalami keadaan  bertasbih tersebut. Adakah manusia selain nabi Daud as, yang mampu menjadi saksi keadaan ini ?. 
Lihatlah sekali lagi, bagaimana keadaan kita, yang bergelut dengan romansa dan dinamika kota. “Dan lihat saja, Ibu akan  menangis demi dan atas anak-anaknya ini.” 

Sungguh sulit sekali merangkai kejadiannya ?. Bahkan nyaris berita (ayat) ini kita anggap sebagai dongengan saja. Dongengan tentang raja dan nabi yang gagah perkasa dengan kesaktiannya. Sebagaimana kisah-kisah para dewa. Semisal itulah keadaan kita sekarang dalam menanggapi berita (ayat) yang dihantarkan Al qur an perihal ini.  Manusia telah terdikotomi dalam sebuah persepsi dan anggapan, tanpa mau membuktikan sendiri setiap kebenaran berita (ayat) dengan melakukan eksplorasi. Sehingga keadaannya, keyakinan kita dibangun diatas keraguan yang tersembunyi. Cobalah eksplorasi pernyataan ini. Carilah referensi di dalam kesadaran kita. Nanti akan kita temukan sendiri, bagaimana keadaan kita sesungguhnya. Dan semoga saja tidak begitu. 

Sejalan karena sebab itu , (menjadi pemikiran saya)  bahwasanya kita manusia sekarang ini, kenyataannya  belum berani  menjadikan dirinya  sebagai saksi kebenaran atas ayat Al qur an, khusunya perihal ayat yang menjadi kajian kita ini. Kebenaran  bahwasanya ada pada suatu masa manusia (Daud as) senantiasa bertasbih bersama angin, burung  dan gunung  ?. Semua terkooptasi dalam kesadaran kolektif.  Bahwa makom tersebut tidak mungkin akan dicapai oleh kita manusia biasa, apalagi kita sebagai manusia urban yang berangkat pagi dan pulangnya malam. Dan hikmah ayat inipun terlupa.

Mengapa kita cenderung untuk mengabaikan saja hikmah atas ayat ini  ?.  Ya karena, sebab manusia sudah menganggap remeh  dirinya sendiri, mengabaikan argumentasi apapun, kita seperti sudah menghukum diri kita tidak akan pernah mampu mencapai keadaan tersebut. Semua itu berawal dari munculnya keraguan dalam diri kita, selalu mempertanyakan mungkinkah itu ?. 

Adakah manusia yang mau berusaha mencapai keadaan itu, dan mengkhabarkannya kepada kita ?. Penulis yakin sekali, jika manusia tersebut ada, sayangnya memang bagi orang yang mencapai keadaan ini hanya akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat, hanya untuk dirinya dan Tuhannya. Maka kenapakah kita menafikan kemungkinan ini ?. Dan karenanya kenapakah kita tidak mencoba membuktikan sendiri, menjadi saksi atas kebenaran ayat ini ?.

Sebab dikarenakan keraguan itulah, manusia sekarang sangat jarang sekali mampu bertasbih. Meskipun lelah sudah kita bertasbih, dengan ribuan  kali tasbih kita dawamkan, nyatanya tasbih kita  sangat jarang  berefek dibadan. Jangankan untuk mampu mencapai makom  bertasbih bersama alam semesta. Untuk mencapai jiwa yang tenang saja masih merupakan kesulitan tersendiri.  Sungguh sayang sekali, jika bertasbih  telah kehilangan ruhnya.   Marilah kita uji diri kita, benarkah tasbih kita hanya sebatas kerongkongan saja, bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Tidak berefek dibadan. Tidak ada ketenangan dan kepuasan yang mampu diraih jiwa ?. Layaknya memang perlu kita kaji. Bersiapkah kita untuk menguji ?. Maka teruslah ikuti kajian ini.

Namun ada pertanyaan, kalaulah  kita ingin mencapai keadaan tersebut. Lantas pemahaman (ilmu)  apakah yang harus kita dapatkan ?. Banyak sekali pertanyaan kita, sayangnya dengan   semakin banyak pertanyaan justru akan semakin  mengarahkan diri kita kepada satu kata ‘keraguan’. Inilah hijab yang mesti kita singkapkan. Bukan bagaimana, tapi sanggupkah kita menjalani laku (syariat-tharekat) agar kita mampu menyaksikan keadaan makom bertasbih itu. Mungkin kekhawatiran kita adalah, akankah nanti benar keadaannya, sama dengan yang dimaksudkan, atau mungkin hanya sebatas keyakinan, dan bagaimanakah kalau hanya sebatas dalam tataran kesadaran saja ?.

Entahlah itu, biarkanlah Allah saja yang mengajarkan kepada diri kita perihal ini. Mungkin saja  pengetahuan kita hanya  sedikit, tak apa, yang penting kita mampu memahami, merahsakan, bagaimana keadaan hakekat, bagaimana   respon angin, gunung dan burung-burung. Yaitu saat tasbih kita selaras dengan tasbihnya alam semesta. Jikalaupun hanya dalam tataran kesadaran saja.  Tak apa juga , yang penting (rahsa) yang sedikit itu sudah cukup untuk menghantarkan diri kita kepada keyakinan yang utuh atas kebenaran ayat ini.

Sebab jelas sekali, Al qur an telah meyakinkan kepada seluruh manusia bahwa Al qur an bukanlah dongengan penghantar tidur. Berita setiap ayat dari Al qur an adalah realitas. Ini adalah suatu kepastian dan suatu kebenaran. Hanya manusia saja yang belum mampu mendapatkan keadaan hal atas realitas yang ingin disampaikan. Sehingga kita tidak mampu mengambil hikmah atas ayat ini. Inilah keyakinan penulis. Dan semoga dengan mengkajinya, diantara kita ada yang diberikan anugrah untuk menjadi saksi perihal kebenaran ayat yang dimaksud  ini. Kita berdoa agar diberikan anugrah sebagai saksi-Nya.

Sayangnya, kita tak ada akan mampu merubah arah jiwa kita. Jika kita tidak ada kemauan diri untuk merubah.  Kita selalu merasa berat sekali ketika akan merubah itu. Jiwa akan selalu dalam keadaan lembamnya. Maka kajian ini akan mengkaji dari sisi bagaimanakah agar kita mampu merubah arah jiwa kita terlebih dahulu, sebelum memasuki kajian ‘tasbih’ itu sendiri. Sebab kajian ‘tasbih’ ini banyak melibatkan hati, dalam makom rahsa (dzauk) sehingga sangat sulit untuk diuraikan, jika tidak dengan laku (syariat-tharikat).  Mungkin lebih baik begitu saja dulu. Wolohualam

salam
arif
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.