Malam
melewati pagi lagi, entah berguliran yang keberapa kali. Seakan cahaya
siang tak mampu menembus gelap pekatnya angan. Malam menjadi begitu
panjangnya. Malam melewati pagi lagi, selalu serasa begitu keadaannya.
Ini yang keberapa kali ?. Sudah tidak terhitung. “Hari yang keberapakah sekarang ?.”
Menjadi pertanyaan menyergah, memotong lalu lintas kesibukan didalam
pikiran. Seperti sebuah tanya terbesit dalam kesadarannya namun selintas
gelap lagi. Dan malam terus saja melewati pagi. Entah sudah yang
keberapa kali. Waktu tak terasa, tak berasa, tak membekas apa-apa, hanya
gundah dan rasa iba diri saja.
Dilaluinya
saja perjalanan sang raga, menembus liarnya beton-beton kota dan kancah
hiruk pikuknya manusia. Besok adalah hari ini. Begitulah keyakinan. Maka
dipaksanya saja badan untuk terus merayapi
jalan-jalan ibu kota. Demi membunuh ketakutannya sendiri. Ketakutan
yang terus tersembunyi, “Apakah nanti jika tak begini…?, dan anak istri akan makan apalagi ?.” Tak terbersit dalam ingatannya, jika cahaya matahari telah menumbuhkan padi dan tanaman lainnya untuk menjamin rejeki manusia.
Mengapa
dengan ketakutannya ?. Dan dia bersama manusia-manusia lainnya,
ketakutan atas takdirnya sendiri. Makanya mereka menjadi begitu. Bagai
lebah yang pecah sarangnya, lepas mereka, liar, kemana saja terbang,
menghambur, di sepanjang jalan-jalan, bertebaran menyelusup
lorong-lorong yang kumuh dan bau, mereka jalani itu semua, dalam
romantika anak manusia. Tanpa pernah mengerti, sampai dimanakah nanti.
Sayangnya mereka juga tetap tak megenali cahaya-Nya yang senantiasa
menyapa bersama matahari.
Dalam kesadaran yang semakin menipis, dalam keadaan hidup serasa hanya malam hari saja,
syukurlah ada seberkas cahaya, menyergah hati, “Akankah hidup hanya begini ?.”.
Telah diperjalankan badannya, berjalan rahsa, tanpa iba, berjalan
tidak dengan hati, hilang empaty, hampa dankosong, kering dan mati, “Mestikah hidup tidak perlu dimaknai ?.” Selalu saja dihinggapi perasan itu.
Dan
mata terbuka sudah, tampaklah dunia, begitu luas, mengapa kemudian diri
serasa merasa sendiri saja ?. Bertebaran manusia-manusia yang rela
menyingsingkan lengan baju mereka, melakukan tindakan nyata, menolong
sesama, menampung dan menyekolahkan anak yatim, mengayomi anak-anak
jalanan. Melakukan dengan hati, demi perikemanusiaan itu sendiri. Merek
atelah memeberikan hatinya untuk menolong dan mengangkat harkat
kemanusiaan anak-anak yatim. Tanpa khutbah, tanpa retorika, biasa saja.
sebagaimana matahari yang selalu terbit.
Mereka
(telah) berhenti mempertanyakan tindakan
Tuhannya, mereka berhenti mempertanyakan takdirnya, mereka hanya punya
hati dan itulah yang mereka berikan, hanya itu. Simple dan mudah saja.
Dengan hatinya mereka menyatukan gerak dengan gerak alam semesta.
Bersatu dalam tasbih alam semesta, bersama makhluk lainnya, menggerakkan
alam raya ini dengan satu tindakan nyata. Untuk hidup dan kehidupan itu
sendiri, demi harkat dan martabat manusia dan perikemanusiaan.
Ada
diantara mereka, dengan keterbatasan raganya, keterbatasan dalam
geraknya, keterbatasan dalam penglihatannya, keterbatasan dalam
pendengarannya, dan lain sebagainya. Namun mereka mampu menginspirasi
ribuan manusia lainnya untuk melakukan ‘tasbih’ yaitu gerak nyata
kehidupan. Mereka memberikan hatinya untuk sesama, memberikan hatinya
untuk melindungi makhluk-makhluk lainnya, menyelamatkan tanaman,
binatang, serta lingkungannya, bergerak harmonis bersama alam semesta
yang tengah memperbaiki dirinya terus
menerus. Tasbih mereka begitu nyata.
“Hati
mereka bersama, angin, burung-burung, gunung-gunung, dan seluruh alam
semesta ini. Hati bersama dalam kesatuan tasbih, bersatu dalam kesatuan
gerak-NYA, gerak semesta alam.”
Terlihat
sebagai aktifitas yaitu satu langkah nyata , karenanya, masih perlukah
kita bertanya, “Mampukah kita dalam makom bertasbih bersama angin,
burung-burung, dan gunung-gunung ?.” Jika hati kita tidak bersama
mereka, dan jika raga kita tidak melakukan tindakan nyata, menyatukan
gerak (aktfitas) memperbaiki keadaan ini semua.
Masihkah
kita bertanya, jika tangan kita aniaya membunuhi mereka, mengambili
hak-hak mereka, jika ucapan dan hati kita tidak sama dengan tindakan
kita, kita selalu mengumpat, dan kita juga tidak pernah melakukan
perbuatan apa-apa. Sungguh karena ini, kita tidak mampu melihat
keindahan didalam itu semua
maka bagaimanakah kita akan mampu bertasbih bersama angin, gunung dan burung-burung sebagaimana nabi Daud as ?.
…
Malam
kemudian sunyi, sepi sekali, kajian ini entah berapa lama diam di
tempat, diam begitu saja. Ada rasa bersalah yang hebat, mengapalah diri
ini juga begitu adanya. Satu langkah kecil saja tidak bisa ?. Merubah,
ya merubah arah jiwa kita untuk menjadi seperti itu. Tidaklah berat,
namun kenapa tidak bisa ?. Maka kajian ini ditulis saja apa adanya.
Dalam tangisan yang begitu dalam, mengerti, memahami namun tidak mampu
berbuat apa-apa. Diri tidak mampu bertasbih bersama mereka, angin,
burung dan gunung-gunung. Melakukan gerak bersama mereka, dalam
gerak-NYA, yang maha sempurna. Karena diri belum berbuat apa-apa. Maka
diri hanya berbisik lirih dengan malu, “Maafkanlah !.”
…
Entah
sebab apa, kajian ‘Bertasbih Bersama Angin dan Burung’, berhenti
mengendap
dalam kesadaran dan tidak mampu dihantarkan. Sudah sekian lama.
Sepertinya tidak ada daya untuk menuliskannya, tidak ada keinginan
untuk menggerakkan jari-jari, ada rasa enggan yang membekukan rahsa.
Hanya mampu diam mengamati sambil menunggu pergerakan dan lintasan
hati. Berdoa memohon pengajaran-Nya. Memohon ampunannya, bertasbih,
bertahmid, bertakbir dalam alunan nafas. Jika pun harus dihantarkan
semoga kajiannya, menjadi bermakna dan ada manfaatnya. Dan semoga saja
daya ini terus bergerak menstimulasi, dengan pengharapan senantiasa
dalam lindungan dan hidayah-Nya.
…
Berangkat
dari sebuah pertanyaan, mungkinkah manusia urban mampu bertasbih
bersama gunung, angin dan juga burung-burung ?. Lihatlah keadaannya,
berangkat di subuh pagi hari dan pulang ketika bulan sudah menanjak
tingi. Mungkinkah ?. Kalau tidak mungkin. Akankah berita dari Al qur an
hanya menjadi
sepenggal berita, sekedar sebuah bacaan saja tanpa mampu kita maknai
lebih dari itu ?. Jikalau mungkin. Bagaimanakah keadaan hal, yaitu
keadaan realitas suasana saat sedang mengalami keadaan bertasbih
tersebut. Adakah manusia selain nabi Daud as, yang mampu menjadi saksi
keadaan ini ?.
Lihatlah sekali lagi, bagaimana keadaan kita, yang bergelut dengan romansa dan dinamika kota. “Dan lihat saja, Ibu akan menangis demi dan atas anak-anaknya ini.”
Sungguh
sulit sekali merangkai kejadiannya ?. Bahkan nyaris berita (ayat) ini
kita anggap sebagai dongengan saja. Dongengan tentang raja dan nabi yang
gagah perkasa dengan kesaktiannya. Sebagaimana kisah-kisah para dewa.
Semisal itulah keadaan kita sekarang dalam menanggapi berita (ayat) yang
dihantarkan Al qur an perihal ini. Manusia telah terdikotomi dalam
sebuah persepsi dan anggapan, tanpa mau membuktikan sendiri setiap
kebenaran berita (ayat) dengan melakukan eksplorasi. Sehingga keadaannya, keyakinan kita dibangun diatas keraguan yang tersembunyi.
Cobalah eksplorasi pernyataan ini. Carilah referensi di dalam kesadaran
kita. Nanti akan kita temukan sendiri, bagaimana keadaan kita
sesungguhnya. Dan semoga saja tidak begitu.
Sejalan
karena sebab itu , (menjadi pemikiran saya) bahwasanya kita manusia
sekarang ini, kenyataannya belum berani menjadikan dirinya sebagai
saksi kebenaran atas ayat Al qur an, khusunya perihal ayat yang menjadi
kajian kita ini. Kebenaran bahwasanya ada pada suatu masa manusia (Daud
as) senantiasa bertasbih bersama angin, burung dan gunung ?. Semua
terkooptasi dalam kesadaran kolektif. Bahwa makom tersebut tidak
mungkin akan dicapai oleh kita manusia biasa, apalagi kita sebagai
manusia urban yang berangkat pagi dan pulangnya malam. Dan hikmah ayat
inipun
terlupa.
Mengapa kita cenderung untuk
mengabaikan saja hikmah atas ayat ini ?. Ya karena, sebab manusia
sudah menganggap remeh dirinya sendiri, mengabaikan argumentasi apapun,
kita seperti sudah menghukum diri kita tidak akan pernah mampu mencapai
keadaan tersebut. Semua itu berawal dari munculnya keraguan dalam diri
kita, selalu mempertanyakan mungkinkah itu ?.
Adakah
manusia yang mau berusaha mencapai keadaan itu, dan mengkhabarkannya
kepada kita ?. Penulis yakin sekali, jika manusia tersebut ada,
sayangnya memang bagi orang yang mencapai keadaan ini hanya akan
menyimpan rahasia ini rapat-rapat, hanya untuk dirinya dan Tuhannya.
Maka kenapakah kita menafikan kemungkinan ini ?. Dan karenanya kenapakah
kita tidak mencoba membuktikan sendiri, menjadi saksi atas kebenaran
ayat ini ?.
Sebab dikarenakan keraguan itulah,
manusia sekarang sangat jarang sekali
mampu bertasbih. Meskipun lelah sudah kita bertasbih, dengan ribuan
kali tasbih kita dawamkan, nyatanya tasbih kita sangat jarang berefek
dibadan. Jangankan untuk mampu mencapai makom bertasbih bersama alam
semesta. Untuk mencapai jiwa yang tenang saja masih merupakan kesulitan
tersendiri. Sungguh sayang sekali, jika bertasbih telah kehilangan
ruhnya. Marilah kita uji diri kita, benarkah tasbih kita hanya sebatas
kerongkongan saja, bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Tidak
berefek dibadan. Tidak ada ketenangan dan kepuasan yang mampu diraih
jiwa ?. Layaknya memang perlu kita kaji. Bersiapkah kita untuk menguji
?. Maka teruslah ikuti kajian ini.
Namun
ada pertanyaan, kalaulah kita ingin mencapai keadaan tersebut. Lantas
pemahaman (ilmu) apakah yang harus kita dapatkan ?. Banyak sekali
pertanyaan kita,
sayangnya dengan semakin banyak pertanyaan justru akan semakin
mengarahkan diri kita kepada satu kata ‘keraguan’. Inilah hijab yang
mesti kita singkapkan. Bukan bagaimana, tapi sanggupkah kita menjalani
laku (syariat-tharekat) agar kita mampu menyaksikan keadaan makom
bertasbih itu. Mungkin kekhawatiran kita adalah, akankah nanti benar
keadaannya, sama dengan yang dimaksudkan, atau mungkin hanya sebatas
keyakinan, dan bagaimanakah kalau hanya sebatas dalam tataran kesadaran
saja ?.
Entahlah itu, biarkanlah Allah saja yang mengajarkan kepada diri kita perihal ini.
Mungkin saja pengetahuan kita hanya sedikit, tak apa, yang penting
kita mampu memahami, merahsakan, bagaimana keadaan hakekat, bagaimana
respon angin, gunung dan burung-burung. Yaitu saat tasbih kita selaras
dengan tasbihnya alam semesta. Jikalaupun
hanya dalam tataran kesadaran saja. Tak apa juga , yang penting
(rahsa) yang sedikit itu sudah cukup untuk menghantarkan diri kita
kepada keyakinan yang utuh atas kebenaran ayat ini.
Sebab
jelas sekali, Al qur an telah meyakinkan kepada seluruh manusia bahwa
Al qur an bukanlah dongengan penghantar tidur. Berita setiap ayat dari
Al qur an adalah realitas. Ini adalah suatu kepastian dan suatu
kebenaran. Hanya manusia saja yang belum mampu mendapatkan keadaan hal
atas realitas yang ingin disampaikan. Sehingga kita tidak mampu
mengambil hikmah atas ayat ini. Inilah keyakinan penulis. Dan semoga
dengan mengkajinya, diantara kita ada yang diberikan anugrah untuk
menjadi saksi perihal kebenaran ayat yang dimaksud ini. Kita berdoa
agar diberikan anugrah sebagai saksi-Nya.
Sayangnya,
kita tak ada akan mampu merubah arah jiwa kita. Jika kita tidak ada
kemauan diri untuk merubah. Kita
selalu merasa berat sekali ketika akan merubah itu. Jiwa akan selalu
dalam keadaan lembamnya. Maka kajian ini akan mengkaji dari sisi
bagaimanakah agar kita mampu merubah arah jiwa kita terlebih dahulu,
sebelum memasuki kajian ‘tasbih’ itu sendiri. Sebab kajian ‘tasbih’ ini
banyak melibatkan hati, dalam makom rahsa (dzauk) sehingga sangat sulit
untuk diuraikan, jika tidak dengan laku (syariat-tharikat). Mungkin
lebih baik begitu saja dulu. Wolohualam
salam
arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.