Kamis, 13 Oktober 2011

Kisah inspirasi untuk para istri dan suami

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Sumber : TDA

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kamis, 06 Oktober 2011

Bagaimana Kita Memilih Mitra Membangun Usaha

Kutipan Tulisan :
Nukman Lutfie Bisa saja seseorang membangun bisnisnya dari awal sendirian. Tapi, bisa juga memilih bermitra saat membangun usaha dengan berbagai alasan rasional, terutama karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (misalnya modal, pengetahuan, jaringan) serta untuk berbagi risiko. Saya juga termasuk yang lebih nyaman membangun usaha bersama orang lain.
Namun memilih mitra tidaklah mudah. Mendapat mitra yang salah akan memperburuk kinerja bisnis, bahkan bisa membangkrutkan usaha. Saya termasuk yang pernah bangkrut di salah satu usaha (antara lain) karena mitra bisnis keluar dengan membawa seluruh modal dan uang kas yang ada. Untungnya, pengalaman itu hanya sekali, selanjutnya bisa mendapatkan mitra yang lebih bagus.

Pengalaman teman juga mirip. Mendapat mitra yang hanya memasukkan uang sebagai modal, lalu diam saja, namun di saat usaha berhasil, tiba-tiba meminta banyak posisi manajerial, termasuk direktur keuangan, dan perlahan-lahan mengambil alih perusahaan yang sudah jadi tersebut. Namun tak sedikit yang berhasil mendapatkan mitra bisnis bagus, kemudian usahanya berkembang. Dari pengalaman gagal dan berhasil itulah, juga pengalaman pengusaha lain, inilah tips pendek memilih mitra membangun usaha: 1. Pilih mitra bisnis yg punyai value, visi, dan semangat wirausaha yang sejalan dengan kita. Soal value misalnya, saya tidak ingin mengaliri darah karyawan (termasuk anak istrinya) dengan uang haram, maka saya mencari mitra bisnis yang anti korupsi. Mitra ini yang menarik saya keluar saat saya akan terjebak ke tender-tender yang harus dengan uang sogok. Soal visi, jika visi kita ingin menjadi pengusaha kelas nasional, mitra terbaik adalah yg visinya lebih tinggi, sekurang-kurangnya selevel dengan kita. Bukan mitra yang ingin jadi pengusaha kelas daerah.

2. Pilih mitra bisnis yang kompetensi yang berbeda dengan kita dan mengisi kekurangan kita. Audit diri sendiri, apa kekurangan kita untuk membangun usaha. Nah kekurangan itulah yang seharusnya diisi mitra kita. Kalau kita jago di marketing dan lemah di finance, cari mitra bisnis yang jago finance. Mitra yang kompetensinya sama dengan kita hanyalah akan mempersubur pertengkaran dan perbedaan pendapat yang seringkali kurang produktif.

3. Pilih mitra bisnis yg rekam jejak pribadi dan bisnisnya positif. Rekam jejak pribadinya yang tidak positif itu misalnya: suka menindas istri, kurang baik dengan tetangga, sering pinjam uang tak kembali, suka terlambat meeting dengan berbagai alasan, dan lainnya. Rekam jejak bisnis yang kurang positif itu misalnya: ngemplang uang mitra bisnisnya, mengkhianati mitra bisnisnya. Rekam jejak positif itu termasuk memiliki pengalaman bisnis yang baik (bukan hanya pengalaman gagal tapi juga pengalaman berhasil di bisnis). Untuk memulai usaha, sebaiknya hindari yang mitra yang hanya punya pengalaman gagal.

4. Pilih mitra yang kondisi keuangannya sudah stabil. Mitra yang mapan finansial, tidak akan mengganggu keuangan perusahaan. Bisa memisahkan uang perusahaan dan kebutuhan pribadi. Ingat lho, banyak pengusaha pemula yang sulit memisahkan uang pribadi dan bisnis. Selain itu, jika mitra bisnis kita mapan finansial, mereka tidak akan terburu-buru meminta deviden. Dengan demikian, laba usaha bisa lebih maksimal digunakan untuk pengembangan usaha.

Sesuatu Yang Menggetarkan dari Steve Jobs


Tulisan dari Pak Nukman

Kalau suka menonton film animasi seperti Toy Story, a Bugs Life, Finding Nemo, Monster Inc, dan The Incredible, kemungkinan besar Anda tahu Pixar — perusahaan animasi yang membidani film-film animasi tersebut. Kalau suka dengan dunia desain dan pengguna Mac, Anda pasti kenal Steve Jobs, sang perintis Apple Macintosh, yang kini merajalela dengan iPod-nya.

Steve Jobs merupakan fenomena entrepenuer dunia, yang mengalami perjalanan bisnis dan hidup yang luar biasa. Ia mendirikan Apple Computer, namun kemudian ditendang dari kursi CEO oleh Dewan Direksi. Sungguh pahit rasanya jika kita melahirkan sesuatu kemudian kita dipisahkan darinya. Namun ia bangkit dan membalikkan situasi. Ia membangun NEXT, yang kemudian disusul dengan perusahaan lain yakni Pixar yang melahirkan film animasi komputer pertama di dunia. Ia akhirnya berhasil kembali ke Apple melalui melalui proses akuisisi Apple terhadap Next. Kini, di tangannya kembali, Apple menggegerkan dunia dengan inovasi iPod yang mengalahkan kepoluleran Walkman Sony.

Ketika lahir, ibunya memutuskan untuk menyerahkannya ke orang lain. Ia tak pernah lulus kuliah. Ia pun pernah divonis mati karena kanker pankreas. Namun ia bisa melewati semua itu dengan baik.

(update Kamis, 6 Oktober 2011: kemarin, 5 Oktober 2011, Steve Jobs, kelahiran 24 Februari 1955, akhirnya meninggal karena kanker)

Ketika diundang ke Universitas Stanford, Steve Jobs memberikan pidato yang sangat luar biasa mengenai tiga hal. Dengan bahasa yang indah, lembut, terstruktur, penuh dengan kedalaman filosofi namun mencuatkan semangat hidup, ia menginspirasi banyak mahasiswa di sana.

Saya takut menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia karena sangat berpotensi mengerdilkan suasana batin Steve Jobs saat menulis ini.

Berikut ini saya kutipkan penuh pidatonya dua setengah tahun lalu.

Semoga bermanfaat.

Steve Jobs’ Convocation Speech (Stanford)
This is the text of the Commencement address by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, delivered on June 12, 2005.

I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I’ve ever gotten to a college graduation.

Today I want to tell you three stories from my life.

That’s it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots.

I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?

It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: “We have an unexpected baby boy; do you want him?” They said: “Of course.” My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.

And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents’ savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn’t see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn’t interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.

It wasn’t all romantic. I didn’t have a dorm room, so I slept on the floor in friends’ rooms, I returned coke bottles for the 5? deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:

Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn’t have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can’t capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, its likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.

Again, you can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something – your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss.

I was lucky ? I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation – the Macintosh – a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn’t know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down – that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me ? I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.

I didn’t see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.

During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I retuned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple’s current renaissance.

And Laurene and I have a wonderful family together.

I’m pretty sure none of this would have happened if I hadn’t been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don’t lose faith. I’m convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You’ve got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking. Don’t settle. As with all matters of the heart, you’ll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don’t settle.

My third story is about death.

When I was 17, I read a quote that went something like: “If you live each day as if it was your last, someday you’ll most certainly be right.” It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: “If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?” And whenever the answer has been “No” for too many days in a row, I know I need to change something.

Remembering that I’ll be dead soon is the most important tool I’ve ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure – these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn’t even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor’s code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you’d have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I’m fine now.

This was the closest I’ve been to facing death, and I hope its the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don’t want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life’s change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.

Your time is limited, so don’t waste it living someone else’s life. Don’t be trapped by dogma – which is living with the results of other people’s thinking. Don’t let the noise of other’s opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960′s, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.

Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: “Stay Hungry. Stay Foolish.” It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.

Stay Hungry – Stay Foolish.

Thank you all very much.

Jika ingin menyaksikan pidatonya, silahkan mainkan video Youtube di bawah ini:

[youtube:http://www.youtube.com/watch?v=D1R-jKKp3NA]

Selasa, 04 Oktober 2011

Alamat Palsu Fahri Hamzah

Ayu Ting Ting/
Sumber (Kompas.com)
Sebuah media online menyebutkan bahwa trending topics untuk hari ini adalah Ayu Ting Ting , penyanyi dangdut yang melantunkan dendang “Alamat Palsu†dan Fahri Hamzah, anggota dewan dari PKS, penghuni Komisi III DPR , yang menghendaki pembubaran KPK. Apakah ada hubungan antara si Ayu yang penyanyi dangdut dengan Fahri yang anggota dewan terhormat. Tetapi bukan berarti menjadi penyanyi dangdut itu kurang terhormat, demikian juga sebaliknya bukan berarti setiap anggota dewan layak untuk mendapat penghormatan dari rakyat yang diwakilinya. Beberapa waktu yang lalu ada anggota dewan yang menikah dengan penyanyi dangdut Kristina walau pada akhirnya rumah tangga itu kandas di tengah jalan, dan si anggota dewan yang terhormat itu tertangkap oleh KPK karena diduga menerima suap.

KEMANA KEMANA KEMANA
KUHARUS MENCARI KEMANA
KEKASIH TERCINTA TAK TAHU RIMBANYA
LAMA TAK DATANG KE RUMAH

hot.detik.comSebagai anggota dewan dari PKS harus diakui Fahri paling pintar mencuri perhatian. Maka dengan penuh kesengajaan dia melemparkan bom “news†dengan ucapan “Bubarkan KPKâ€, ketika semua mata dan telinga masyarakat dan media sedang mengarah ke pertemuan konsultasi DPR-KPK. Maka ia dengan penuh perencanaan membuat kegaduhan dengan tujuan namanya terpampang di media secara nasional. Dalam benaknya sebentar lagi saya pasti diundang tampil di televisi, lumayan disamping menerima uang saku sebagai nara sumber, namanya kembali diperbincangkan lagi oleh publik secara luas. Cerdas sekaligus licin.

DIMANA DIMANA DIMANA
TINGGALNYA SEKARANG
DIMANA

Gugatan pembubaran KPK itu dapat dibaca cuma sebagai gertakan, agar KPK tidak menyentuh koleganya, Tamsil Linrung, yang sedang dipanggil dan diperiksa. Bisa juga ketakutan yang sangat, suatu saat ia akan dipanggil dan diperiksa KPK untuk suatu kasus yang menyeret namanya. Maka sebelum itu terjadi ia harus melontarkan gagasan pembubaran KPK. Karena KPK mempunyai kewenangan untuk menyadap, bukan tidak mungkin suatu saat KPK menyadap pembicaraanya yang bisa dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk menelanjangi dirinya. Karena menjadi sesuatu yang ganjil dan suatu keanehan, jika seseorang yang tidak pernah dan tidak mau melakukan praktek korupsi, justru menghendaki pembubaran sebuah lembaga negara yang dibentuk untuk memberantas praktek-praktek korupsi.

KESANA KEMARI MEMBAWA ALAMAT
NAMUN YANG KUTEMUI BUKAN DIRINYA
SAYANG YANG KUTERIMA ALAMAT PALSU

Seorang Fahri Hamzah berangkat ke dunia politik berbekal sebagai mantan aktifis mahasiswa yang getol menghajar dan menggulingkan kekuasaan pak Harto yang dianggap korup dan penuh Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Kemudian ia bergabung dengan sebuah partai Islam yang mempunyai jargon “Bersih dan Peduliâ€. Sebuah partai Islam, partai da’wah yang digadang-gadang oleh banyak pihak untuk membawa perubahan Indonesia ke arah negeri yang bersih dari korupsi dan peduli dengan nasib rakyat yang selama ini kurang diperhatikan oleh pemerintah. Sebagian besar kadernya ketika berunjuk rasa menggunakan baju warna putih, seakan sebagai simbol bahwa PKS merupakan partai yang bersih dari KKN. Dan jangan lupa PKS banyak mendapatkan simpati dari rakyat, dikarenakan citra partai yang mengusung kejujuran, amanah dan kesederhanaan.

KU TANYA SAMA TEMAN-TEMAN SEMUA
TETAPI MEREKA BILANG TIDAK TAHU
SAYANG MUNGKIN DIRIKU SUDAH TERTIPU
MEMBUAT AKU FRUSTASI DIBUATNYA

Kalau boleh berterus terang, saya merupakan salah satu dari jutaan rakyat yang memilih partainya, PKS, karena melihat kader dan sepak terjang para tokohnya yang relatif bersih dan amanah. Itu duluuu. Sebuah partai yang menampilkan kesederhanaan dan kejujuran para pemimpinnya. Ditambah sedemikian banyak kader-kader partainya yang menjadi khatib-khatib di mesjid-mesjid perkantoran yang senantiasa mendengungkan perjuangan akan kejujuran, amanah dan ketaatan di jalan Tuhan. Tetapi rupanya jalan politik lebih banyak mengotori jalan da’wah. Jalan politik tak selurus jalan da’wah. Sehingga jati diri sebagai partai da’wah kian terkikis, maka tak mengejutkan jika pada akhirnya PKS-pun tak berbeda dengan partai sekuler yang lain. Ditambah lagi dengan ucapan kader mudanya, sdr. Fahri Hamzah, yang ingin membubarkan KPK. Habis sudah harapan saya akan partai da’wah yang diharapkan menjadi lokomotif perubahan dan perbaikan negeri ini.

Kini nasib saya tak beda jauh dengan Ayu Ting Ting yang merasa tertipu oleh kekasih hatinya, karena alamat palsu. Saya juga merasa tertipu oleh partai yang pernah saya dukung dan saya pilih dalam dua kali masa pemilu, karena partai itu kini banyak dihuni kader palsu, memalsukan perjuangan dan tujuan partai itu sendiri.
Jakarta, 04 Oktober 2011